Saturday, August 16, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelBelasungkawaPetani yang Selalu Risaukan Generasi itu, Kini Telah Pergi

Petani yang Selalu Risaukan Generasi itu, Kini Telah Pergi

LUWU TIMUR (HidayatullahSulsel.or.id) – Senin pagi (11/08/2025), selepas syuruq, suasana Kampus Pesantren Hidayatullah Lambara terasa berbeda. Di udara yang biasanya diwarnai kicau burung dan dengungan santri menghafal di masjid, kabar duka menyusup pelan namun pasti. Tak lama sebuah pesan di grup Pea Lambara mengabarkan: Papa Ramma telah berpulang.

Bagi sebagian orang di luar Lambara, nama itu mungkin asing. Namun bagi warga kampung Islami Hidayatullah Lambara, sosok yang bernama asli Amrullah itu adalah potret ketulusan yang tenang.

Beliau bukan pemegang jabatan struktural di pesantren, bukan pula tokoh yang sering tampil di mimbar. Namun, kepeduliannya pada masa depan generasi di Lambara, khususnya anak-anak “biologis” lembaga, menjadi cerita yang sering diceritakan ulang oleh mereka yang pernah duduk berbincang dengannya.

“Kalau bukan kita yang pikirkan anak-anak ini, siapa lagi?” begitu kalimat yang kerap meluncur dari bibirnya, diucapkan dengan nada penuh kekhawatiran namun juga harapan.

Hijrah Demi Generasi

Perjalanan hidup Papa Ramma di Lambara dimulai pada 2003. Bersama istri dan anak-anaknya, lelaki kelahiran 30/11/1969 tersebut meninggalkan Angkona, mengikuti jejak sang kakak, Ustadz Yusuf Gatti, yang lebih dulu merintis kampung Islami tersebut.

Langkah itu bukan tanpa dilema. Beliau meninggalkan usaha perkebunan yang menjadi sandaran hidup, demi membesarkan keluarga dalam lingkungan berkonsep imamah-jamaah.

“Saya ingat betul, beliau bilang: lebih baik kita susah bersama di jalan yang benar, daripada nyaman di jalan yang membuat kita jauh dari Allah,” kenang salah satu anaknya.

Sejak awal, Papa Ramma memilih tetap menjadi petani. Bagi dirinya, bertani bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga bagian dari menjaga fitrah, mendidik diri dan keluarga untuk hidup sederhana, bersih, dan dekat dengan alam.

Kegelisahan yang Menjadi Warisan

Meski hidup sederhana, pikirannya selalu tertuju pada keberlangsungan pendidikan dan pembinaan anak-anak di Lambara. Ia sering berbincang panjang dengan siapa pun yang bersedia mendengarkan, menyampaikan kegelisahan akan masa depan generasi.

“Anak-anak kita di sini ini (kalau dikumpulkan semua) jumlahnya (mungkin) lebih banyak daripada santri akademisnya. Jangan sampai mereka kehilangan arah,” katanya sebagaimana diceritakan Abu Ayman.

Kegelisahan itu tak berhenti pada kata-kata. Anak-anaknya sendiri dibesarkan dengan semangat belajar agama yang kuat. Putri sulungnya kini menjadi istri seorang pimpinan pesantren di Wotu, sementara putra sulungnya mengelola Rumah Qur’an yang membuka pintu bagi santri dari anak-anak hingga dewasa.

Anak-anak lainnya beliau kirim untuk belajar di berbagai pesantren. Ada yang di Solo. Ada yang ke Pinrang. Sebelumnya ada juga yang pernah ke Balikpapan dan Bogor. Bahkan, si bungsu baru saja dikirim menimba ilmu di SQUBA Al-Jazi, Lampuawa, Luwu Utara.

Kepergian yang Meninggalkan Teladan

Setelah beberapa bulan diuji sakit, Papa Ramma menghembuskan napas terakhir di rumahnya di Lambara, pada hari Senin, hari yang dianjurkan Nabi ﷺ untuk berpuasa. Rumah itu adalah tempat ia membesarkan 12 anak, melihat tumbuhnya 10 cucu, dan menyaksikan Lambara berkembang dari lahan perintisan menjadi kampung Islami yang ramai.

“Beliau pergi dengan meninggalkan generasi yang siap melanjutkan perjuangan. Itu yang membuat kami tenang meski berat melepasnya,” ujar salah seorang warga Hidayatullah Lambara.

Kini, suara canda dan keluh-kesah pria kelahiran Parombean Enrekang tersebut tak lagi akan terdengar. Namun jejaknya tetap hidup: pada anak-anaknya yang shalih dan shalihah, pada harapan yang selalu ia pupuk, pada semangat yang terus ia jaga, dan pada bangunan-bangunan pesantren yang turut ia bantu pendiriannya, serta pada generasi Lambara yang akan terus menjadi bagian dari amal jariyahnya.

Rahimahullah rahmatan waasi‘atan, wa askanahullaahu fasiihah jannatih.

*) Abdul Aziz, Santri Awal Hidayatullah Lambara.

1 COMMENT

Leave a Reply to Cakdul Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments