Oleh: Ustadz H. Sholih Hasyim
DALAM konsep tarbiyah ruhiyah Hidayatullah, terdapat dua fondasi utama yang menopang kekuatan spiritual seorang mukmin: mafahim ruhiyah (pemahaman ruhani) dan a’mal ta’abbudiyah (amalan penghambaan). Keduanya harus berjalan seimbang untuk membentuk karakter ruhani yang kokoh.
Melalui perpaduan keduanya, hubungan seorang hamba dengan Allah Subhanahu Wata’ala akan senantiasa terjaga, dibangun di atas kesadaran akan limpahan karunia-Nya, sekaligus pengakuan atas keterbatasan dan kelemahan diri sendiri.
Pemahaman ruhiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, mencakup dua sisi penting: mushahadatul minnah (menyadari karunia Allah) dan i’tiraf bil qushur (mengakui kekurangan amal dan kelalaian diri).
Kesadaran ini membawa seorang mukmin berada pada posisi al-khauf war-raja’, yaitu perasaan takut akan murka Allah dan harapan atas rahmat-Nya. Inilah yang menjadi pilar kestabilan spiritual, menjadikan hidup dijalani dengan penuh keinsafan dan sikap tunduk terhadap kebesaran Ilahi.
Kesadaran tersebut kemudian memerlukan wadah praktis untuk ditumbuhkan dan diperkuat, yakni melalui amalan-amalan penghambaan (ta’abbudiyah). Dalam kerangka ini, ada tiga bentuk utama yang menjadi fokus pembinaan ruhani: membaca Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan memperbanyak dzikir.
Tilawah Al-Qur’an memiliki dua dimensi, yaitu sebagai ibadah ritual (ta’abbudiyah) dan sebagai ruang perenungan makna (ta’ammuliyah). Membaca Al-Qur’an secara mendalam mengajak seorang mukmin untuk menelusuri tema-tema besar dalam ayat-ayat-Nya dan menggali pelajaran berharga, sebagaimana dilakukan oleh para ulama dan orang-orang shalih.
Ayat-ayat Al-Qur’an memberikan petunjuk yang bersifat lintas zaman, mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang kokoh. Tema jihad dalam surat Al-Anfal, misalnya, atau makna makar dalam kaitannya dengan kekuasaan Allah, adalah contoh bagaimana Al-Qur’an memberi kedalaman makna dan keteguhan dalam menghadapi syubhat maupun tekanan zaman.
Sementara itu, shalat merupakan tiang agama yang membentuk ritme spiritual harian. Jumlah rakaat dalam sehari mencapai 42 rakaat: terdiri atas 17 rakaat fardhu, 10 rakaat rawatib, 4 rakaat dhuha, dan 11 rakaat tahajud. Keberhasilan membangun kekuatan dari shalat sangat bergantung pada konsistensi.
Pelaksanaan shalat wajib secara berjamaah tidak hanya menggandakan pahala, tetapi juga menguatkan ikatan ruhiyah dan sosial. Bacaan yang sederhana dalam shalat pun, bila dilakukan secara ajeg, dapat membangun karakter ruhani yang kuat secara bertahap.
Dalam kehidupan harian, dzikir juga memiliki posisi sentral. Bacaan seperti istighfar atau la ilaha illallah yang diulang secara terus-menerus membantu menjaga kesadaran seorang mukmin akan hakikat hidup dan tujuan akhirnya.
Dzikir harian seperti yang terangkum dalam At-Tawajjuhat—panduan dzikir pagi dan petang yang diterbitkan DPP Hidayatullah—menjadi energi ruhiyah yang menghidupkan jiwa di tengah hiruk-pikuk urusan dunia.
Semua praktik ibadah ini kemudian dikemas secara sistematis dalam Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH), yang merupakan metodologi pembiasaan amalan ruhani secara konsisten. Program ini meliputi: mengkhatamkan Al-Qur’an sebulan sekali, menegakkan shalat fardhu berjamaah dan rawatib, membiasakan tahajud, menjaga dzikir pagi dan sore, berinfak harian, serta berdakwah secara personal.
Dalam perkembangannya, GNH telah menyebar hingga ke mancanegara dan menciptakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan spiritual yang bersih dari kepentingan duniawi.
Para aktivis GNH menjalani irama hidup yang khas, menjadikan aktivitas ruhani sebagai budaya harian. Mereka menikmati kebiasaan orang-orang shalih (daabus shalihin), dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang nyata dalam setiap langkah keseharian.
Namun demikian, tidak sedikit yang mengkritik GNH karena dianggap menampakkan amal dan berpotensi riya’. Padahal, Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 274 menegaskan bahwa amal shalih yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi, keduanya memiliki nilai kebaikan. Pelaporan amal, seperti mencatat bacaan Al-Qur’an dalam GNH, bukan untuk pamer, melainkan sebagai bentuk kontrol diri dan motivasi kolektif.
Rasulullah ﷺ dan para sahabat, termasuk Abu Bakar ash-Shiddiq, pun pernah mengungkapkan amal mereka, bukan untuk sombong, tetapi sebagai teladan. Dalam hadits riwayat Muslim, disebutkan bagaimana Abu Bakar melaporkan puasa, mengantar jenazah, dan memberi makan orang miskin dalam satu hari yang sama.
Mengejek amal orang lain justru menjadi ciri kaum munafik, sebagaimana dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 79. Menuduh niat seseorang tanpa dasar dapat memadamkan semangat beramal. Sebab niat adalah urusan hati, yang hanya bisa dihakimi oleh Allah.
Seorang muslim dituntut untuk bersikap husnuzhan dan membedakan antara kritik terhadap kemaksiatan dengan celaan terhadap pelaku kebaikan.
Fudhail bin ‘Iyadh pernah menasihatkan bahwa keikhlasan adalah ketika Allah menjaga seorang hamba dari riya’ dan syirik. Maka GNH, lebih dari sekadar program rutin, sejatinya adalah kultur ruhiyah yang telah menjadi ciri khas Hidayatullah dalam menggapai keberkahan dakwah dan pendidikan.
Karena itu, mari kita terus menghidupkan semangat GNH sebagai sunnah hasanah—sebuah warisan kebaikan yang menyala di tengah meredupnya nilai-nilai agama. Biarlah amal shalih menjadi cahaya yang menuntun dan menginspirasi, selama hati tetap terikat pada Allah semata.*/
*) Ust. H. Sholih Hasyim, adalah pemetik hikmah kehidupan dan anggota Dewan Murabbi Pusat (DMP) Hidayatullah