Oleh: Masykur Suyuthi*
Tak semua orang punya visi dan tujuan hidup yang sama. Kadang ia berbeda sesuai dengan kecenderungan yang memang beragam dalam orientasinya. Tak kecuali dengan petinggi Kerajaan Mesir (al-Aziz) yang bersama istrinya baru saja membeli Yusuf (muda) untuk dibawa pulang ke rumah.
Hal itu terungkap dalam dialog di al-Qur’an. Rincinya, Allah berfirman: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: ‘Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak’.
Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (Yusuf [12]: 21)
Lalu apa kira-kira tujuan pasangan suami istri ini menebus Nabi Yusuf dan menghadirkannya ke kediaman mereka di lingkungan istana? “Asa an yanfa’ana au nattakhidzahu waladan” Demikian keterangan yang diberikan oleh sang suami.
Rupanya ia berharap agar perbuatannya ini bisa mendatangkan manfaat yang luas. Bukan hanya buat mereka yang telah menyelamatkan dan yang merawat Yusuf. Lalu tujuan minimalnya apa? Yup, Yusuf nanti secara kekeluargaan menjadi anak (angkat) buat mereka berdua.
Kira-kira, paling tidak Yusuf akan memanggil “Bapak” atau “Ibu” sebagai sapaan baru buat mereka. Dan keduanya dengan penuh cinta akan merawat Yusuf layaknya hubungan orang tua dengan anaknya.
Terkesan cuma harapan biasa atau cita-cita sederhana saja. Tetapi sesungguhnya ada pelajaran dari tadabbur percakapan tersebut. Bahwa, setiap kebaikan yang dikerjakan harus memiliki visi-misi serta tujuan yang jelas.
Bagi orang beriman, Akhirat adalah orientasi paling utama. Bukan hanya sebagai tujuan yang ideal, tetapi fokus memikirkan Akhirat berarti jaminan keselamatan hidupnya, dunia dan Akhirat.
Rumusnya, jika kegemilangan dan keberuntungan Akhirat dikejar, maka dengan sendirinya keberhasilan hidup di dunia niscaya berada dalam genggaman.
Sebaliknya, kalau hanya sibuk mengejar kepentingan dunia yang nyaris tak ada habisnya, maka sulit membayangkan ia bisa menyempatkan diri memikirkan Akhirat pula.
Untuk itu, hendaknya setiap orang tua dan pendidik agar menyadari peran strategis sekaligus misi besar dalam menyiapkan generasi emas anak bangsa saat ini. Yakinkan diri bahwa ini adalah pekerjaan mulia sekaligus bagian dari risalah dan warisan nubuwah sebagai pendidik.
So, tak mudah menjadi orang tua atau guru di tengah gempuran berbagai macam budaya Barat saat ini. Ia akan berhadapan dengan dua pilihan, memperjuangkan visi yang ideal atau sebaliknya cukup berpikir pragmatis sesaat.
Bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa pendidikan telah berubah menjadi industri atau perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan materi saja. Pekerjaan guru menjadi sesuatu yang bersifat transaksional semata.
Dalam satu riwayat, kata Nabi Muhammad, “innama bu’itstu mualliman”. Aku ini diutus semata-mata sebagai seorang muallim (pendidik).
Di tengah berbagai tantangan dalam kehidupan modern sekarang, setidaknya semua pihak harus mengambil peran dan berkotribusi sebaik-baiknya.
Sekali lagi, yakinkan diri bahwa jihad besar akhir zaman sekarang tak lain bagaimana melahirkan “Generasi Qur’ani dan Beradab”. Visi Indonesia Emas tak bisa hadir begitu saja, jika tak disiapkan sejak dini dengan kolaborasi dari semua pihak.
Di akhir ayat, Allah memberi garansi dengan janji-Nya yang pasti lagi menggembirakan. “… Dan Allah berkuasa terhadap setiap urusan-Nya…” Yakni, tak ada yang sia-sia untuk setiap niat baik dan karya yang tulus di jalan tarbiyah dan dakwah ini.
*Masykur Suyuthi, Lc., M.Pd., pengasuh santri Al-Bayan Bawakaraeng 111.



