Oleh: Sarmadani Karani*
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
QS. Al-Hujurat : 10
Dalam bentang sejarah peradaban manusia, tidak ada imperium atau gerakan yang runtuh murni karena serangan eksternal sebelum ia mengalami pembusukan dari dalam.
Bagi kita sebagai penggerak dakwah, kenyataan ini adalah sebuah peringatan keras. Tatkala kita sibuk memukul genderang kemajuan dan merancang strategi besar untuk menembus cakrawala masa depan, sering kali kita melupakan satu elemen mikroskopis namun menentukan, yaitu kualitas hubungan antar-manusia di dalamnya.
Ayat yang mengawali tulisan ini telah memberikan garis batas yang tegas. Bukan sekadar jargon teologis, melainkan sebuah SOP Ilahiyah dalam membangun kohesi sosial. Namun, dalam realitas organisasi, ukhuwah sering kali hanya diletakkan sebagai aksesori, bukan sebagai inti energi.
Secara teknis, banyak organisasi Islam saat ini telah mencapai level kematangan yang luar biasa. Agenda-agenda strategis disusun dengan metodologi modern, program kerja dirancang dengan ambisius, dan struktur kepengurusan diisi oleh individu-individu dengan kompetensi mumpuni.
Namun, di balik kemegahan struktur tersebut, terdapat sebuah paradoks. Bahwa semakin besar sebuah organisasi, semakin besar pula ruang bagi ego untuk bisa menyusup.
Dalam tinjauan sosiologis, sebuah gerakan dakwah rentan mengalami “infiltrasi halus” berupa penyakit hati. Iri dengki, hubbud-dunya (cinta dunia), hingga egoisme sektoral sering kali bersembunyi di balik argumentasi-argumentasi organisasi yang tampak logis.
Ketika seorang pengurus merasa opininya paling benar, atau ketika terjadi persaingan terselubung demi eksistensi diri, pada titik itulah ukhuwah mulai retak.
Inilah yang sering kita sebut sebagai fenomena “sikut dan sikat”. Padahal, kita selalu bilng bahwa ridha Ilahi adalah tujuan kolektif.
Tetapi ironisnya, kita sering kali fasih meneriakkan kebesaran Allah di podium, namun gagap dalam memaafkan kesalahan kecil saudara se-perjuangan di ruang rapat.
Kita perlu menyadari bahwa ukhuwah adalah “mata uang” termahal dalam perjuangan. Peradaban tidak akan pernah tegak di atas hati yang saling menjauh.
Apa artinya sistem yang canggih jika di dalamnya dipenuhi oleh kecurigaan? Apa gunanya gedung dakwah yang megah jika di dalamnya berdiri individu-individu yang saling mengisolasi diri secara emosional?
Perjuangan tanpa ukhuwah hanyalah sebuah fatamorgana. Ia tampak seperti gerakan dari jauh, namun tidak memiliki cahaya (nur) di dalamnya.
Tanpa persaudaraan yang tulus, sebuah organisasi hanyalah sekumpulan orang yang berkumpul, bukan sebuah jamaah yang bersatu. Persatuan (jamaah) membutuhkan ketundukan ego, sementara perkumpulan (perhimpunan) hanya membutuhkan kehadiran fisik.
Inilah yang patut menjadi renungan kita. Jika hari ini perjuangan kita terasa berat dan jalan di depan tampak buntu, mungkinkah itu karena Allah sedang menahan rahmat-Nya akibat hati kita yang tak lagi bertaut?
Menata masa depan perjuangan harus dimulai dari titik nol, yaitu Purifikasi Nia. Mengikhlaskan dan meluruskan nawaitu. Kita perlu kembali ke meja muhasabah, bukan untuk mengevaluasi laporan keuangan atau capaian program, melainkan untuk mengevaluasi “kesehatan” hati kita satu sama lain.
Sudahkah kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri? Ataukah kita menganggap saudara kita sebagai kompetitor dalam memperebutkan panggung?
Masa depan Hidayatullah ini bukan ditentukan oleh seberapa banyak aset yang kita miliki, melainkan oleh seberapa kuat tali persaudaraan yang kita jalin. Setiap napas perjuangan harus menjadi zikir kebersamaan, di mana perbedaan pendapat menjadi rahmat, dan persamaan tujuan menjadi pengikat kuat.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali kompas abadi yang diletakkan Allah dalam Surah Ali ‘Imran ayat 103:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…”
Perintah untuk “berpegang pada tali Allah” disandingkan langsung dengan larangan untuk “bercerai-berai”. Ini menunjukkan bahwa integritas spiritual seseorang tidak bisa dipisahkan dari integritas sosialnya. Seorang pengurus ormas yang hebat bukanlah dia yang paling vokal, melainkan dia yang paling mampu merangkul dan menjahit kembali ukhuwah yang sempat terkoyak.
Mari kita bangun peradaban ini dengan batu bata ukhuwah yang kokoh. Sebab, di atas fondasi kasih sayang itulah, rahmat Allah akan turun secara sempurna.
KM. Lambelu, 17 Desember 2025
*Sarmadani Karani, S.E., adalah ketua DPW Hidayatullah Sulawesi Tengah 2025-2030.



