Oleh: Sarmadani Karani*
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
QS. At-Taubah : 128
Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Hidup selalu bergerak. Ia tidak memberi jeda panjang kepada siapa pun. Dari satu amanah ke amanah lain, dari satu ujian ke ujian berikutnya, manusia terus dituntun untuk berjalan. Langkah itu baru benar-benar berhenti ketika kematian akhirnya datang menutup perjalanan.
Saya merasakan hal itu dengan sangat kuat setelah bermalam di Pulau Kabetan, Toli-Toli. Di pulau kecil yang dikelilingi angin asin dan debur ombak itu, saya bertemu seorang dai muda bernama Agus. Ia tinggal bersama istri dan dua anak balitanya di sebuah rumah sederhana berukuran hanya 3 × 3 meter. Tidak ada fasilitas berarti. Tidak ada sandaran duniawi yang bisa menjanjikan kenyamanan. Yang tersisa hanyalah ketabahan, keyakinan, dan hati yang kuat memegang amanah dakwah.
Melihat kehidupannya, saya sempat terdiam. Bagaimana mungkin ia mampu bertahan berbulan-bulan di tempat seperti itu? Tanpa sokongan dana yang jelas, tanpa gelar mentereng, tanpa keramaian manusia yang sering menjadi sumber motivasi banyak orang. Yang menopangnya hanyalah cahaya iman, panggilan akhirat, dan cinta kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ.
Pertemuan itu mengajarkan saya sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang tampak. Sebagai Ketua DPW Hidayatullah Sulawesi Tengah, wilayah pengabdian yang terbentang seluas 61.841 km² sering kali tampak seperti kumpulan angka dan peta.
Namun perjalanan ke pulau terpencil itu mengubah sudut pandang saya. Di balik angka luas wilayah, ada wajah-wajah para dai yang hidup dalam sunyi. Mereka bukan sekadar pelaksana program. Mereka adalah amanah ruhani yang mesti dihayati, bukan hanya dicatat.
Pada saat itulah ayat di atas terasa begitu hidup. Allah menggambarkan karakter Rasulullah ﷺ dengan bahasa yang menyentuh hati.
“Berat terasa penderitaanmu.” Beliau tidak hanya menyimak keluhan umatnya. Beliau merasakan sakit mereka di dadanya sendiri.
“Ia sangat menginginkan keselamatan bagimu.” Setiap langkah dakwah Rasulullah lahir dari kerinduan agar umat ini selamat, di dunia maupun akhirat.
“Penyantun dan penyayang.” Kasih sayang beliau bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan nyata yang terus berlangsung sepanjang hidupnya.
Sifat-sifat ini seharusnya tumbuh dalam diri setiap pemimpin, terutama pemimpin umat. Kepemimpinan tidak cukup berdiri di atas strategi dan angka. Ia membutuhkan hati yang peka terhadap penderitaan orang-orang yang dipimpin. Ia menuntut kesadaran untuk tidak hanya menggerakkan program, tetapi juga menggerakkan jiwa. Tanggung jawab bukan hanya soal target, tetapi juga tentang kelembutan hati dalam memikulnya.
Di Pulau Kabetan, saya merasa Rasulullah ﷺ seperti mengingatkan kita kembali, bahwa kepemimpinan bukan diukur dari luasnya wilayah atau besarnya organisasi, tetapi dari seberapa kuat kita merasakan derita mereka yang berada di bawah tanggung jawab kita.
Palu, 12 Desember 2025
*Sarmadani Karani, ketua DPD Hidayatullah Sidrap 2021-2025, yang kini diberi amanah sebagai ketua DPW Hidayatullah Sulawesi Tengah 2025-2030.



