Oleh: Sarmadani Karani*
“Setiap yang bernyawa, pasti akan mengalami kematian.”
(QS. Ali ‘Imran: 185)
Ada kalimat dalam Al-Qur’an yang begitu singkat, namun mengguncang dasar kesadaran kita. Yaitu, “Setiap yang bernyawa pasti akan mati.”
Ayat itu tidak hanya memberikan informasi teologis, tetapi juga menuntun kita untuk melihat hidup secara lebih utuh. Bahwa seluruh perjalanan, seluruh ambisi, dan seluruh rencana pada akhirnya mengarah pada satu titik kepulangan yang tidak pernah meleset dari waktunya.
Kematian adalah kepastian yang menyimpan misterinya sendiri. Ia tidak memberi isyarat yang gamblang, tidak pula pernah berkompromi. Ia datang ketika saatnya tiba, tanpa bisa dimajukan walau sedetik atau ditangguhkan sekejap pun.
Karena itu, dalam rentang hidup manusia yang panjang sekaligus rapuh, kematian menjadi guru yang paling setia. Dia hadir untuk mengingatkan, bukan untuk menakut-nakuti.
Dalam sepekan terakhir ini, saya kembali ditegur oleh sunyi yang dibawa kabar duka. Dua sosok berkesan berpulang hampir beriringan, meninggalkan jejak kebaikan yang tidak mudah dilupakan.
Pertama, wafatnya H. Susilo, seorang dermawan yang hatinya begitu lapang. Pemilik nama lengkap H. Tahiti Eko Budi Susilo itu adalah tipe manusia yang memberi tanpa bicara panjang, menolong tanpa menunggu diminta, dan bekerja tanpa berharap dikenang.
Banyak amalnya mengalir diam-diam untuk Hidayatullah maupun Yayasan Sulaimaniah, dan di tempat-tempat lainnya. Dalam hidupnya, ia seperti mata air yang memancarkan kebaikan tanpa henti dan tanpa ingin terlihat sebagai sumbernya.
Disusul kemudian oleh kepergian Patta Amang, ayah mertua tercinta, pada Senin, 1 Desember, di RS Toli-Toli. Beliau adalah bagian dari generasi awal santri Hidayatullah Toli-toli, Sulawesi Tengah. Sosok yang dikenal dan dikenang sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai poros kehidupan.
Hingga akhir hayatnya, ia mengabdi sebagai muadzdzin di Masjid Rahmatullah, di kompleks Pesantren Hidayatullah Toli-Toli. Dua bulan terakhir, sakit membuat suaranya tak lagi menghiasi subuh-subuh jamaah. Masjid Rahmatullah kehilangan gema yang selama bertahun-tahun membangunkan malam yang hening.
Keduanya pergi dengan cara yang berbeda, namun meninggalkan pelajaran yang sama. Bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang panjang, melainkan hidup yang bermakna.
Kematian selalu menggugah kesadaran kita tentang keterbatasan diri. Ketika ruh dipanggil pulang, tertutuplah pintu-pintu amalan. Langkah tak dapat dilanjutkan. Rencana tak bisa diteruskan. Dan ikhtiar duniawi berhenti pada titik terakhir.
Yang tersisa hanyalah jejak-jejak. Kebaikan yang pernah ditebar, doa anak-anak saleh yang ditinggalkan, dan ilmu yang dahulu dibagi lalu terus diamalkan.
Dalam perspektif wahyu, momen wafat bukan sekadar peristiwa biologis, tetapi juga momentum spiritual. Ia mengingatkan bahwa dunia hanyalah persinggahan singkat, sementara akhirat adalah negeri pulang yang sebenarnya.
Kesadaran inilah yang seharusnya menuntun kita untuk tidak menunda niat-niat berbuat kebaikan. Karena sesungguhnya waktu tidak pernah menunggu.
Allah Ta’ala menegaskan, “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Ayat ini seolah menegaskan bahwa kerinduan kepada Tuhan membutuhkan pembuktian. Harapan bertemu dengan-Nya harus diterjemahkan melalui amal. Dengan memperbaiki diri, menguatkan ibadah, memperbanyak kebaikan, dan mengurangi cela dan meninggalkan dosa.
Sebab kita tidak pernah tahu berapa helai sisa usia yang masih diberikan, namun kita selalu diberi kesempatan untuk mengisinya dengan cahaya.
Terakhir, saya ingin mengajak pembaca sejenak mendoakan. Ya Allah, ampunilah kedua hamba-Mu, H. Susilo dan Patta Amang. Luaskan dan terangkan tempat peristirahatan mereka. Tempatkan mereka di kalangan hamba-hamba-Mu yang Engkau cintai dan ridai. Kuatkan keluarga yang ditinggalkan, mantapkan hati mereka dengan kesabaran dan keteguhan. Jadikan wafatnya kedua saudara kami ini sebagai cermin bagi kami: untuk lebih ikhlas dalam beramal, lebih sadar akan kefanaan, dan lebih siap menyambut perjumpaan dengan-Mu. Aamiin.
*Sarmadani Karani, S.E. adalah ketua DPD Hidayatullah Sidrap, dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.



