Dalam lembaran suci Al-Quran, ada satu pertanyaan fundamental yang mengajak kita berpikir: Apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu? Jawabannya sudah jelas terpampang nyata: Tentu tidak sama.
Untuk memudahkan kita memahami esensi perbedaan ini, mari kita gunakan istilah yang lebih familiar dalam keseharian kita: sekolah.
Apakah sama orang yang pernah mengenyam bangku sekolah dengan yang tidak pernah? Secara umum, kita pasti sepakat bahwa keduanya memiliki perbedaan mendasar.
Mari kita bedah sedikit tentang kata ‘sekolah’. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ‘school’ dan dalam bahasa Belanda ‘schoul’. Keduanya merujuk pada lembaga tempat para siswa mendapatkan pengajaran di bawah bimbingan guru. Menariknya, akar kata ‘sekolah’ juga berasal dari Bahasa Latin, yaitu ‘skhole’, ‘scola’, atau ‘skhola’, yang artinya ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’.
Ini menunjukkan bahwa pada awalnya, sekolah adalah sebuah kegiatan yang dilakukan anak-anak di waktu luang mereka, di sela-sela aktivitas utama seperti bermain dan menikmati masa kanak-kanak serta remaja. Waktu luang ini dimanfaatkan untuk mempelajari hal-hal penting seperti berhitung, membaca huruf, memahami moral (budi pekerti), dan mengenal estetika (seni).
Kegiatan ‘scola’ ini didampingi oleh orang-orang ahli yang mengerti psikologi anak, sehingga mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menciptakan dunianya sendiri melalui berbagai pelajaran yang menyenangkan. Intinya, sekolah adalah tempat untuk belajar, untuk menuntut ilmu.
Dengan demikian, kembali ke pertanyaan awal: apakah sama orang yang sekolah dengan tidak sekolah? Jawabannya tetap sama: tentu tidak sama.
Sekolah, dalam konteks modern, menjadi sebuah kewajiban, dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi, semuanya demi satu tujuan: belajar, agar kita bisa berilmu.
Allah SWT sendiri menegaskan perbedaan ini dalam Surah Az-Zumar ayat 9, yang artinya: “Apakah orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?’ Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.”
Ironisnya, kita kadang salah kaprah. Kita menganggap sekolah hanya untuk menjadi pintar, mudah dapat kerja, meraih jabatan, atau mencari uang semata. Padahal, tujuan luhur yang disampaikan dalam ayat di atas adalah agar kita menjadi ‘ulul albab’, orang yang berakal sehat.
Lantas, apa itu ‘ulul albab’? Mereka adalah orang-orang yang memiliki akal murni dan hati yang sadar, sehingga senantiasa berzikir kepada Allah dan berpikir mendalam tentang ciptaan-Nya, baik alam semesta maupun fenomena sosial.
Mereka mampu mengintegrasikan kekuatan akal dan wahyu untuk memahami kehidupan, serta mengamalkan kebaikan dalam bentuk amal saleh, yang disertai rasa takut kepada Allah dan harapan akan rida-Nya.
Jadi, tujuan sejati dari sekolah itu bukan sekadar mendapatkan gelar SE, MM, atau Doktor. Bukan pula sekadar pintar dalam arti sempit, atau agar cara jalannya berbeda antara lulusan S1 dan S3. Bukan itu intinya.
Sesungguhnya, semakin tinggi ilmu dan jenjang sekolah seseorang, seharusnya hatinya semakin taat kepada Allah. Dzikirnya makin kuat, ibadahnya makin kencang, dan etos kerjanya pun makin terarah.
Kalau di Hidayatullah, ya GNH-nya semakin oke lah, semakin solid dengan nilai-nilai luhur dan tujuan mulia yang diajarkan.