“Saya seperti bayi yang lahir kembali.”
Kalimat itu dilontarkan Ustadz Husain Kalado di hadapan peserta Halaqah Kubro Hidayatullah Sulsel di Kampus Hidayatullah Menro Pinrang pada Sabtu kemarin, 12 Juli 2025. Bukan dalam konteks kelahiran biologis, tapi tentang kebangkitan jiwa yang ia alami saat memutuskan untuk berhijrah penuh ke jalan dakwah Hidayatullah empat dekade silam.
Dalam suasana yang hening dan khusyuk, beliau memulai dengan sebuah pengantar sederhana, “Saya ingin berbagi kisah perjalanan saya dalam barisan perjuangan ini. Sebuah kisah yang saya rasakan sendiri, yang membakar hati dan mengguncang jiwa hingga hari ini.” Dan benar adanya, kisah itu menggugah hati siapa pun yang mendengarnya.
Perkenalan awalnya dengan Hidayatullah terjadi di penghujung tahun 1982. Saat itu, beliau sudah mengajar sebagai guru agama. Namun, titik balik spiritual terjadi setelah diajak oleh mertua Ustadz Ahmad Nurdin untuk menghadiri ceramah Ustadz Abdullah Said selama tiga malam Jumat berturut-turut di Karang Bugis, Balikpapan.
Menurutnya, pengalaman tersebut sangat mengguncang. Ia menggambarkannya seperti seseorang yang kelaparan lalu disuguhkan makanan terlezat, atau seorang yang kehausan kemudian mendapatkan minuman paling menyegarkan. Padahal ia sendiri adalah guru agama, namun apa yang disampaikan Ustadz Abdullah Said terasa memurnikan, membersihkan, dan menyadarkannya. Sejak saat itulah, benih hijrah mulai tumbuh dalam dirinya.
Setahun setelahnya, pada 1983, ia mulai mencoba mengikuti suasana shalat berjamaah di Gunung Tembak. Ia masih mengingat dengan jelas momen pertamanya: shalat Zuhur yang rukuk dan sujudnya begitu panjang, penuh kekhusyukan. Seusai shalat, ia duduk bersandar di tembok, sementara anak-anak, remaja, dan para santri langsung melanjutkan dengan shalat sunnah.
Saat itu ia merasa sangat tersentuh. Dalam hatinya ia berkata, “Saya ini lebih rendah dari anak-anak itu.” Ia merasa seolah ditampar oleh kenyataan, bahwa anak-anak itu telah lebih dahulu tunduk dan taat kepada Allah, sementara dirinya masih tertinggal.
Pada tahun berikutnya, meskipun masih mengajar di tiga sekolah negeri di Balikpapan (SMPN 1, SMPN 4, dan SMAN 3), gejolak batinnya terus bergolak. Ia mulai membuka diskusi dengan sang istri mengenai niatnya untuk berhijrah total. Ketika tak kunjung mendapat jawaban, ia pun berkata, “Kalau begitu, mungkin kita tidak bisa lama-lama bersama.”
Kalimat itu bukan sekadar ancaman, tapi ungkapan kejujuran yang mencerminkan keteguhan niat. Pada akhirnya, sang istri menerima. Maka pada 4 Februari 1985, Ustadz Husain resmi berhijrah ke Gunung Tembak. Sebuah keputusan yang mengubah hidupnya untuk selamanya.
Baginya, Gunung Tembak bukan tempat biasa. Ia menyebutnya sebagai tempat yang “ajaib bahkan luar biasa.” Semua orang dari latar belakang apa pun tampak cocok di sana. Sistem yang diterapkan tidak hanya membentuk pikiran, tetapi membentuk jiwa. Ia sendiri mengaku ditempa habis-habisan. Berat, melelahkan, bahkan menyakitkan. Namun di situlah ruh perjuangan mulai benar-benar masuk dan membentuk karakternya.
Dengan rendah hati ia berkata bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Tidak seperti Ustadz Ahmad MS (dan ustadz-ustadz lainnya) yang dikenal mobilitasnya tinggi, beliau lebih banyak menetap di Gunung Tebak. Tetapi semangat perjuangan yang tumbuh di Gunung Tembak menurutnya tidak bisa diukur dengan logika, melainkan hanya bisa dirasakan dengan iman.
Memasuki tahun 2000, beliau berpindah ke Sumatera dan kemudian sempat ke Sulawesi Tenggara. Arus dakwah kembali menariknya masuk, mula-mula perlahan, lalu deras. Beliau menggambarkan Hidayatullah sebagai air yang meresap dalam tanah, yang tak tampak di permukaan, tapi menghidupkan apa pun yang disentuhnya.
Setelah pensiun pada 2017, semangat itu tak juga padam. Ia bahkan meminta izin kepala sekolah untuk kembali berdakwah. Saat dikirim ke Sidrap selama satu semester, baru dua bulan berjalan, datanglah Ustadz Abdul Somad dan beberapa pengurus. Dalam silaturahim yang akrab, beliau ditanya, “Ustadz, kapan balik ke Gunung Tembak?” Dan tanpa ragu ia menjawab, “Saya mau balik. Saya mau mengabdi lagi.”
Tak lama setelah kembali, Pak Ghaffar menemuinya dan langsung menugaskannya kembali mengajar. Soal gaji? Hanya Rp 1 juta, dari dulu hingga kini. Tapi beliau menegaskan, “Keberkahan yang saya rasakan tak terhitung nilainya.”
Menurutnya, perasaan ketika menerima tugas memang sulit diukur. Tapi jika tidak dilawan, bisa menjadi penghalang pengabdian. Maka ia memilih menghadapinya dengan akal dan iman. “Tugas adalah obat. Dan pengabdian adalah jalan penyembuhan terbaik,” ujarnya tegas.
Ia juga menegaskan bahwa yang meninggikan seseorang bukanlah jabatan atau gelar, melainkan niat dan keteguhan dalam perjuangan. Bukan tubuh besar atau prestise, tetapi kesungguhan dan istiqamah.
Empat puluh tahun sejak 4 Februari 1985, ia merenung. “Seperti bayi yang lahir, hari ini dia sudah dewasa. Sudah berdiri. Sudah berlari.”
Dan kini, Hidayatullah telah menjangkau seluruh penjuru negeri. Bahkan, mimpi untuk menyentuh dunia Islam mulai dirintis. Ia mendengar bahwa ada 57 negara Islam yang menjadi target dakwah ke depan. Gunung Tembak dan Balikpapan pun telah menjadi titik penting dalam peta peradaban dakwah.
Bahkan Monas di Jakarta pernah menjadi saksi. Dan meskipun ia tak tahu di mana akan berada lima tahun mendatang, ia yakin satu hal: Hidayatullah akan terus melangkah.
Di akhir tausiyahnya, Ustadz Husain Kalado menyampaikan pesan penting kepada para santri, kader, dan pejuang: “Jadilah orang yang selalu belajar. Jangan pernah berhenti menjadi murid, sekaligus guru.”
Ia lalu mengutip kata-kata seorang ulama Salaf: “Kalau orang tua melihat anaknya, ia harus berkata, ‘Anak ini lebih baik dariku.’
Kalau anak melihat orang tuanya, ia harus berkata, ‘Orang tua ini lebih bertakwa dariku.’”
Dan akhirnya, ia menutup dengan ajakan penuh ketulusan: “Teruslah berjuang. Teruslah menanam. Jangan pedulikan besar kecilnya hasil. Yang penting kita ikhlas dalam menunaikan tugas. Insya Allah, tugas-tugas ini akan mengangkat kita, bukan hanya di dunia, tapi di akhirat kelak.”
(Ahmad Ansor, Pengajar di Hidayatullah Pucak maros/hidayatullahsulsel.or.id)