MAKASSAR (HidayatullahSulsel.or.id) — Sejarah Indonesia disebut menyimpan jejak kuat peran ulama dalam merumuskan dasar negara, namun warisan itu dinilai belum sepenuhnya terwujud dalam perjalanan bangsa hingga hari ini.
Seruan agar santri dan tokoh-tokoh Islam mengambil peran strategis demi menjaga warisan tersebut kembali mengemuka. Hal itu sebagaimana disampaikan KH. Dr. Ir. Abdul Aziz Qahhar Muzakkar, M.S.I., Pimpinan Majelis Syura Hidayatullah pada Sabtu lalu (06/12/2025).
Pemaparan itu disampaikan Dr. Abdul Aziz Qahhar dalam kapasitasnya sebagai Keynote Speaker pada Dialog Kebangsaan dan Keummatan bertema “Sinergi Anak Bangsa Menyongsong Indonesia Emas 2045”.
Dialog ini merupakan bagian dari rangkaian Musyawarah Wilayah VI Hidayatullah Sulawesi Selatan yang digelar DPW Hidayatullah Sulsel pada 5–7 Desember 2025 di Asrama Haji Sudiang Makassar, menghadirkan pembicara lintas sektor sebagai panel pembanding.
Dalam forum tersebut, Dr. Abdul Aziz Qahhar menyoroti bahwa konsep negara-bangsa yang kita kenal hari ini memang produk Barat. Namun, ia menekankan bahwa akar keislaman telah tertanam kuat di Nusantara jauh sebelum proklamasi, terlihat dari hubungan berbagai kesultanan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Menjelang kemerdekaan, ia menjelaskan, di masyarakat Indonesia hidup tiga ideologi yang saling tarik menarik. Yaitu nasionalisme (yang dibawa kalangan terpelajar seperti Soekarno-Hatta), komunisme (yang dibawa tokoh seperti Tan Malaka), dan Islam sebagai ideologi asli yang sudah mengakar (yang digaungkan Kasman Singgodimejo, Hasyim Asyari, Agus Salim, dll).
Soekarno, sebagai pemikir sinkretis, sejak 1927 telah menggagas penyatuan ketiganya, yang kelak dipraktikkan dalam konsep Nasakom.
Menurut Dr. Aziz Qahhar, titik krusial perjuangan nilai-nilai Islam terjadi pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari sekitar 62 anggotanya, sekitar seperempat merupakan ulama dan representasi ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Uniknya, Jepang tidak memasukkan satu pun tokoh komunis radikal seperti Tan Malaka ke dalam BPUPKI.
“Alhamdulillah, pertarungan ideologinya tinggal dua: nasionalisme sekuler dan Islam,” ujarnya, menggambarkan ketegangan intelektual yang akhirnya melahirkan kompromi besar bernama Pancasila, sebuah formula yang disebutnya selaras dengan maqashid syariah.
Dalam ruang inilah Dr. Aziz Qahhar menyoroti peran vital Agus Salim, seorang ulama-intelektual. Soekarno sebagai Ketua Tim Sembilan menugaskan Agus Salim untuk menyusun naskah konsep Pembukaan UUD 1945.
“Itu sebabnya di Pembukaan UUD 1945 ada kalimat ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’. Kalau bukan santri, kalau orang sekuler apalagi komunis, tidak mungkin mau bilang begitu,” papar Aziz.
Lebih dari itu, dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menurutnya, Agus Salim telah memasukkan maqashid syariah secara elegan.
Ia menjelaskan, menurutnya, perlindungan bangsa sepadan dengan hifdzun nafs; kesejahteraan umum mencerminkan hifdzul mal; mencerdaskan kehidupan bangsa sejalan dengan hifdzul ‘aql; sedangkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan manifestasi hifdzud din.
“Inilah jasa yang sangat luar biasa dari ulama kita. Bagaimana mereka memasukkan hakikat beragama, hakikat berislam, di Pembukaan dan dasar 1945,” ungkapnya dengan penuh penghargaan.
Namun, Dr. Aziz Qahhar menyayangkan bahwa warisan luhur tersebut belum sepenuhnya membahagiakan umat Islam. Menurut analisisnya, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, negara ini belum pernah benar-benar dikuasai secara memadai oleh tokoh-tokoh Islam yang konsisten pada nilai-nilai tersebut.
Orde Lama dikuasai kelompok sekuler (Nasakom), Orde Baru oleh militeristik, dan Orde Reformasi justru hampir sempurna dikuasai oligarki.
“Ini tantangan kita. Santri harus ada yang jadi politisi, harus berpartai, harus masuk ke segala lini. Karena bangsa ini adalah warisan para ulama,” serunya.
Ia juga menyoroti fenomena politik terkini, khususnya figur Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, Prabowo mewarisi ideologi sosialis dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo (tokoh Partai Sosialias Indonesia), yang dahulu bersekutu dengan tokoh-tokoh Masyumi.
“Sikap dasarnya bersahabat kepada Islam… dan anti-oligarki,” komentarnya.
Paparannya ditutup dengan refleksi bahwa Pancasila bukanlah antitesis dari Islam, melainkan payung besar yang mengakomodasi nilai-nilai maqashid syariah yang diperjuangkan para ulama sejak awal kemerdekaan.
Tantangan terbesar hari ini, menurut Dr. Aziz, adalah memastikan generasi santri dan anak bangsa lainnya mampu meneruskan warisan tersebut melalui peran nyata dalam politik, kebijakan publik, dan pembangunan nasional. Dengan begitu, cita-cita keadilan, kesejahteraan, dan kemerdekaan yang berdaulat dapat benar-benar diwujudkan.
Reporter: Basori Shobirin



