Monday, September 22, 2025
HomeArtikelNgopi Manhaji: Membaca Ulang Gerakan Hidayatullah

Ngopi Manhaji: Membaca Ulang Gerakan Hidayatullah

Oleh: Irfan Yahya*

Alhamdulillah, pasca catatan pinggir acara sosialisasi BP Munas VI saya dipublikasikan menyapa semesta digital di laman Hidayatullah Sulsel, berbagai tanggapan pun berdatangan. Ada yang lewat japri WA, ada apresiasi langsung selepas shalat berjamaah, bahkan ada juga yang khusus menelpon.  

Namun yang paling berkesan tentu saja ajakan Pak Yai, Sekwil DPW Sulsel, untuk nimbrung ngopi bersama beberapa tamu penting dari DPP maupun Kampus Ummul Quro Gutem.  

Dari serangkaian momen itu—yang kemudian saya labeli dengan istilah Ngopi Manhaji—saya menangkap fragmen-fragmen pikiran yang jika dirangkai bisa memberi gambaran lebih utuh tentang wajah gerakan Hidayatullah hari ini.  

Saya sebut Ngopi Manhaji karena obrolannya tetap berputar seputar manhaj, meski diselingi canda tawa, dan kadang muncul “gerakan” tambahan saat salaman, jari telunjuk kobbi-kobbi  telapak tangan orang yang disalami. 

Dari memori obrolan itu, semakin jelas peta jalan yang sesungguhnya sudah kita miliki. Apalagi setelah guru besar kehidupan kita, Ustaz Dr. Abd. Aziz Qahhar, telah memberi tauji manhaji  perihal tsawabit dan mutagayyirat.  

Bagi saya pesan itu sederhana, tetapi fundamental: bahwa setiap kader harus mampu membedakan mana yang substansial dan mana sekadar “casing,” mana das Sollen (idealitas) dan mana das Sein (realitas). Hanya dengan cara itu setiap celah GAP bisa dipersempit, sehingga energi perjuangan lebih efektif mengarah pada tujuan besar lembaga perjuangan ini. 

Saat pagi menjelang siang, sebelum berangkat mengajar menikmati racikan barista dengan teknik V-60 di sebuah kedai di pinggir Jalan Perintis, saya sempat nimbrung kongkow diskusi. Di situ muncul ide menarik dari sang arsitek kawakan, Kak Muaz Yahya, yang memantik kesadaran kita tentang pentingnya konstruksi teritorial dakwah berbasis “kawasan satelit.”  

Baginya, akselerasi gerakan dakwah tidak bisa lagi berjalan parsial, melainkan harus dibangun melalui sinergi kawasan. Beliau mencontohkan bagaimana kawasan Tamalanrea bisa disinergikan dengan Tanralili dan Arra, Tompobulu, membentuk semacam “segitiga emas” gerakan.  

Dalam skala lebih luas, Sulawesi Selatan sendiri sebenarnya telah memiliki pola zonasi yang cukup mapan, apalagi ditopang pengalaman tiga kali Ustaz AQM bertandang ke gelanggang politik praktis. Semua ini tentu menuntut basis data yang rapi, pemetaan potensi SDI dan potensi kawasan yang akurat, serta kajian dan riset standar sebagai landasan strategis. 

Pun beberapa momen lainnya, saya kembali diajak nimbrung di sebuah kedai kopi dalam kawasan BTP. Kali ini bukan V-60, melainkan kopi racikan tradisional yang disajikan bersama telur setengah matang dan aneka kue khas Makassar—pawa, doko-doko unti, barongko, hingga sokko lotong.  

Di sana, saya merekam fragmen-fragmen pikiran anak-anak muda yang bergairah membicarakan isu pengkaderan: mulai dari pola rekrutmen dan regenerasi, personifikasi tokoh, kanalisasi potensi, distribusi kader, sistem bonding, hingga keterbatasan SDI dan daya adaptif di era digital. 

Dari percikan percakapan itu, muncul satu pertanyaan kritis yang sederhana dalam hati saya : kira-kira, apa sebenarnya yang masih kurang dari lembaga ini? Dalam perspektif teori perubahan sosial, saya melihat semua prasyarat perubahan sosial sudah tersedia. Basis nilai sudah sangat jelas, basis komando terjaga, basis teritorial dan demarkasi kokoh, basis jamaah terbangun, investasi pendidikan berkesinambungan, bahkan basis politik (bukan politik praktis) juga telah terbentuk.  

Soal kanalisasi potensi dan distribusi peran kader pun relatif tidak sulit, sebab sistem pendidikan kita bersifat boarding. Sejak SMP, SMA, hingga mahasiswa, calon kader hidup bersama dalam sistem pondok, sehingga proses pengkaderan berlangsung alami baik secara indoor maupun outdoor. Kurikulumnya jelas, tersedia, dan berjalan. Sistem bonding pun efektif, sebab setiap kader wajib berhalaqah, dan pola inilah yang menjadi wasilah murabbi untuk benar-benar membangun keterikatan dengan mutarabbinya. 

Dari sini, kesimpulan sementara yang lahir dari Ngopi Manhaji cukup terang: Hidayatullah bukan kekurangan modal dasar, tetapi sering kali lengah dalam menutup “atap bocor” yang muncul di sana-sini. Celah kecil itu kadang berupa lemahnya koordinasi, kurang tajamnya riset, atau kelengahan dalam mengelola regenerasi.  

Padahal, sebagai aktivis kader (bukan sekadar karyawan lembaga), setiap dari kita sepatutnya terpanggil untuk mengambil peran sesuai kapasitas masing-masing. Karena sesungguhnya manusia terbaik adalah mukmin yang berilmu: bila diperlukan, ia bermanfaat bagi lingkungannya; dan bila tidak diperlukan, ia tetap mampu mengurus dirinya sendiri dengan baik. 

Wallahu a‘lam. 

*Dr. Irfan Yahya, Sosiolog dan Aktivis Hidayatullah 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments