Oleh: Irfan Yahya*
MENJELANG Musyawarah Nasional (Munas) Hidayatullah ke-VI, dinamika pemikiran di lingkungan internal jamaah kembali menghangat. Dalam sejumlah grup WhatsApp diskusi kader beragam gagasan dan refleksi bermunculan terkait arah gerakan, posisi kelembagaan, dan penguatan manhaj walaupun terselip juga ragam candaan dan guyonan.
Dua di antara yang menarik perhatian penulis adalah tulisan ustad Fuad Fahruddin yang berjudul “Sanad dan Aplikasi Sistematika Wahyu” yang tayang di laman Hidayatullah Sulsel dan bahan presentasi yang ditulis oleh ustad Alimin Mukhtar yang diberi judul “Melestarikan dan Mengembangkan Manhaj Sistematika Wahyu.”
Keduanya merefleksikan kegelisahan intelektual sekaligus optimisme tentang masa depan Paradigma Sistematika Wahyu (SW) sebagai fondasi epistemologis dan ideologis gerakan. Dari dinamika inilah lahir refleksi ini—sebuah upaya membaca kembali Paradigma SW dalam kerangka sosiologi pengetahuan untuk mempertegas posisi Hidayatullah sebagai sistem sosial yang berakar pada wahyu.
Hidayatullah sejak awal berdirinya dengan segenap kesadaran telah mengusung gagasan besar untuk menjadikan wahyu sebagai sumber inspirasi dan metodologi gerakan.
Paradigma Sistematika Wahyu (SW) bukan sekadar cara membaca Al-Qur’an berdasarkan urutan turunnya (tartib nuzuli), tetapi juga merupakan sistem berpikir yang menyatukan aspek spiritual, intelektual, dan sosial. Ia menggambarkan tahapan tarbiyah nubuwwah yang dimulai dari pembentukan basis pundamental kesadaran tauhid (Al-‘Alaq), penguatan akhlak dan rasionalitas (Al-Qalam), peneguhan spiritualitas (Al-Muzzammil), transformasi sosial (Al-Muddatsir), hingga integrasi Islam kaffah (Al-Fatihah). Rentang kendali proses ini mencerminkan bahwa wahyu tidak hanya memberi pedoman moral, tetapi juga membentuk struktur pengetahuan dan sistem sosial.
Dari perspektif sosiologi pengetahuan (Berger & Luckmann, 1966), setiap sistem pengetahuan lahir, tumbuh, dan berfungsi dalam konteks sosial tertentu. Pengetahuan tidak hadir di ruang hampa, melainkan dihasilkan melalui desain dialektika antara manusia dan lingkungannya: eksternalisasi (penciptaan makna), obyektivasi (pembentukan lembaga dan simbol), dan internalisasi (penanaman nilai menjadi kesadaran).
Paradigma SW sejalan dengan proses ini. Ia mentransmisi nilai-nilai wahyu menjadi tindakan sosial melalui tarbiyah dan dakwah, melembagakannya dalam sistem pendidikan dan organisasi, lalu menanamkannya kembali dalam kesadaran spiritual para kader. Dengan cara ini, Paradigma SW bekerja sebagai mekanisme reproduksi pengetahuan ilahiah di tengah sistem sosial jamaah.
Kuntowijoyo (1991) dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi menegaskan perlunya menjadikan Islam bukan sekadar doktrin normatif, melainkan paradigma aksi sosial yang profetik: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Hidayatullah sesungguhnya telah mempraktikkan prinsip-prinsip ini secara sadar dan sistematis dalam rentang sejarah yang panjang berbasis kampus melalui sistem tarbiyah dan dakwah yang menumbuhkan manusia beriman, merdeka, dan beradab.
Paradigma SW menegaskan fondasi epistemologisnya: bahwa setiap tindakan sosial dalam Islam harus berakar pada tauhid dan berujung pada peradaban. Dengan demikian, penguatan manhaj SW tidak semata bersifat ideologis, tetapi juga sosiologis—ia membentuk kesadaran kolektif yang menuntun arah gerakan.
Masri Muadz (2002) menambahkan dimensi sistemik dalam Paradigma Al-Fatihah dengan memperkenalkan konsep berpikir sistem (system thinking). Berpikir sistem berarti melihat keterkaitan antara bagian dan keseluruhan dalam satu kerangka nilai yang koheren. Paradigma SW hadir dengan melihat setiap fase kenabian sebagai subsistem dari keseluruhan rancangan peradaban Islam. Tauhid tanpa akhlak kehilangan pijakan moral; akhlak tanpa spiritualitas menjadi kering; dakwah tanpa sistem sosial yang adil kehilangan arah praksisnya. Inilah mengapa penguatan manhaj tidak dapat dipisahkan dari penguatan kelembagaan, sumber daya manusia, dan arah kebijakan organisasi. Paradigma SW adalah rancangan sistemik yang menghubungkan nilai, ilmu, dan amal dalam satu ekosistem jamaah.
Dinamika pemikiran menjelang Munas juga mengungkap kesadaran baru tentang pentingnya menjaga sanad manhaj. Pelajaran dari sejarah Islam menunjukkan bahwa banyak mazhab besar seperti al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, dan Ibnu Jarir ath-Thabari tidak bertahan lama bukan karena lemah dalam argumentasi, tetapi karena tidak diwariskan secara sistematis. Hidayatullah belajar dari sejarah itu: keberlanjutan manhaj sangat bergantung pada kekuatan transmisi ilmiah dan dokumentasi pengetahuan. Proyek penguatan Paradigma SW karenanya harus disertai pengembangan literasi, dokumentasi, dan penulisan ilmiah kader. Setiap karya tulis, riset, dan refleksi internal adalah bagian dari upaya menyambung sanad pengetahuan jamaah.
Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, keberlangsungan manhaj ditentukan oleh dua hal: legitimasi sosial dan reaktualisasi kontekstual. Legitimasi sosial berarti manhaj diterima dan dihidupi oleh entittasnya; reaktualisasi kontekstual berarti ia terus menyesuaikan diri dengan tantangan zaman tanpa kehilangan esensinya.
Paradigma SW memiliki legitimasi sosial yang kuat karena ia lahir dari kesadaran kolektif jamaah dan menjadi fondasi sistem tarbiyah. Namun, agar tetap relevan, ia harus terus diperbarui melalui dialog ilmiah dan praksis sosial. Tantangan ke depan bukan hanya mempertahankan kesatuan ideologis, tetapi juga memperluas pengaruh epistemiknya agar mampu bersaing di ruang publik keilmuan.
Momentum Munas Hidayatullah ke-VI adalah kesempatan strategis untuk mempertegas kembali arah pengembangan manhaj dan pengetahuan jamaah. Penguatan Paradigma SW bukan semata tugas para murabbi atau pengurus, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh kader.
Dalam bahasa Berger (1967), setiap sistem pengetahuan harus “diinstitusionalisasi” agar menjadi realitas sosial yang objektif. Artinya, SW harus diwujudkan dalam kebijakan, kurikulum, pola kaderisasi, dan budaya organisasi. Hanya dengan cara itu ia akan menjadi sistem sosial yang hidup, bukan sekadar warisan konseptual.
Demikianlah, dengan segenap kesadaran refleksi ini hadir untuk menegaskan bahwa menyambung sanad dan meneguhkan manhaj adalah dua sisi dari satu kesadaran. Sanad menjaga kesinambungan ilmu; manhaj memastikan arah perjuangan. Paradigma SW memberikan kerangka bagi keduanya—menyatukan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial dalam satu tarikan napas perjuangan.
Menjelang Munas Hidayatullah ke-VI, semoga refleksi dan diskusi ini menjadi bagian dari ikhtiar bersama untuk memperkuat fondasi ilmiah gerakan, memperdalam kesadaran dan pemahaman terhadap jati diri lembaga, dan meneguhkan komitmen kita membangun peradaban Islam melalui ilmu, amal, dan sistem sosial yang berkeadaban dan memanifestasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari setiap kader. Wallahualam./*
*Dr. Irfan Yahya adalah Sosiolog, Aktivis Hidayatullah, Akademisi dan Peneliti pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas.



