Tuesday, September 23, 2025
HomeArtikelMenjaga Marwah Dakwah: Antara Keikhlasan Kader dan Kepekaan Pemimpin

Menjaga Marwah Dakwah: Antara Keikhlasan Kader dan Kepekaan Pemimpin

Oleh: Ahmad Firdaus

PADA awal dakwah, banyak kader yang berjuang tanpa mengenal lelah. Mereka bergerak tanpa batas ruang dan waktu, tanpa menimbang sulitnya medan, dan tanpa mengharap imbalan materi.

Segala keterbatasan finansial, bahkan keluhan pasangan karena minimnya perhatian untuk keluarga, mereka hadapi dengan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah adalah modal terbesar dalam perjuangan.

Hingga hari ini, masih ada kader yang bertahan dalam kondisi serupa. Meski sebagian saudara mereka sudah mapan, bahkan hidup berlebihan, para pejuang sejati tetap menahan diri. Mereka juga enggan bergantung pada dana politik, apalagi meminta-minta kepada pejabat atau tokoh yang memiliki kekuasaan. Prinsip menjaga marwah diri, hanya berharap kepada Sang Khaliq, menjadi pegangan mereka.

Namun, menjaga keikhlasan para pejuang ini bukan hanya urusan pribadi. Ia juga (seharusnya) menjadi tanggung jawab kolektif, terutama bagi pemegang amanah qiyadah, para pemimpin, atau pelopor dakwah, yang sudah mapan dan menempati jabatan.

Teladan Kepekaan Rasulullah

Diriwayatkan Imam Muslim, ada sebuah kisah yang memberi kita cermin berharga. Suatu ketika, Abu Hurairah radhiyallahu anhu merasakan lapar yang amat sangat. Biasanya, ia menahan lapar dengan menghimpit perutnya atau melilitkan batu di sana. Tapi hari itu, ia tak lagi sanggup.

Dengan harapan ada yang mengajaknya makan, Abu Hurairah duduk di jalan yang dilalui para sahabat. Ia mencoba memberi isyarat kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma dengan bertanya tentang persoalan agama. Namun, keduanya tak menangkap maksud dari kode halus itu.

Hingga akhirnya Rasulullah shallallahu alayhi wasallam yang lewat, langsung menyapanya dengan penuh perhatian, “Abu Hurairah!”

“Labbaik ya Rasulullah!” jawab Abu Hurairah senang.

Tanpa banyak basa-basi, Rasulullah langsung berseru kepada sahabatnya itu, “Ikutlah denganku!”

Setiba di rumah, tampaklah ada wadah berisi susu hadiah dari seseorang. Rasulullah meminta Abu Hurairah memanggil Ahlus Shuffah untuk bersama-sama menikmatinya. Abu Hurairah sempat ragu karena jumlah susu hanya cukup untuk berdua, sementara jumlah tamu cukup banyak. Tetapi ia tetap patuh.

Ajaibnya, wadah susu itu tak pernah habis sampai semua sahabat Ahlus Shuffah minum. Bahkan, Rasulullah memintanya minum berkali-kali hingga puas.

Dari kisah ini kita melihat kepekaan Rasulullah. Beliau segera memahami kondisi sahabatnya hanya dengan sekali tatap. Bukan sekadar memahami, tapi juga bertindak untuk menguatkan, bahkan dengan cara yang penuh kasih.

Kader, Pemimpin, dan Gerakan Peduli

Hikmah ini relevan untuk kondisi kita hari ini. Ada jarak yang kian terasa antara kader yang bertahan dengan serba kekurangan dan mereka yang sudah mapan karena hasil kerja jamaah. Jika kepekaan dan kepedulian tidak hadir, kesenjangan ini bisa melahirkan kekecewaan. Pelan tapi pasti, ada kader yang mundur dari barisan.

Di sinilah pentingnya gerakan peduli kader. Sebuah kesadaran kolektif untuk saling menjaga, khususnya bagi mereka yang sudah diberi kelebihan rezeki maupun jabatan. Keikhlasan para kader adalah ruh dakwah. Menjaganya berarti menjaga marwah perjuangan.

Rasulullah saw bersabda, “Amalan yang paling Allah cintai adalah membuat seorang muslim lain bahagia, membantu kesulitannya, melunasi utangnya, atau membebaskannya dari kelaparan.” (HR. Thabrani)

Maka, setiap pelopor dakwah semestinya terus “meneropong” keadaan kader-kadernya. Jangan sampai ada yang melemah karena merasa berjalan sendiri. Seperti Rasulullah yang peka dan peduli, kita pun dituntut menghadirkan kasih sayang nyata dalam barisan dakwah ini.

*Ahmad Firdaus, pemerhati dakwah, tinggal di Bulukumba.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments