Oleh: Abdul Aziz Dara*
Musyawarah Daerah (Musda) Hidayatullah untuk 24 kota/kabupaten se-Sulawesi Selatan yang akan digelar mulai besok, Sabtu, (20/12/2025) hingga Jumat (26/12/2025) semestinya tidak dibaca semata sebagai agenda rutin pergantian kepengurusan.
Dalam perspektif sosiologi organisasi, Musda adalah momentum reflektif untuk menilai kapasitas adaptif organisasi terhadap medan dakwah yang dihadapi, sekaligus menata ulang orientasi kebijakan agar lebih selaras dengan realitas sosial di tingkat lokal.
Musda, dengan demikian, menjadi ruang jeda strategis untuk membaca ulang capaian masa lalu dan merumuskan kebutuhan dakwah dan tarbiyah periode 2025–2030 secara lebih jernih dan kontekstual.
Dalam kerangka tersebut, posisi Tana Toraja (yang akan mengikuti Musda Gabungan Zona Ajatappareng pada Jumat (26/12/202) di Parepare) memiliki signifikansi tersendiri. Bagi Toraja, Musda bukan sekadar soal siapa yang ditugaskan, melainkan bagaimana wajah, arah, dan kualitas kehadiran Hidayatullah lima tahun ke depan.
Musda merupakan sebuah critical juncture, titik persimpangan krusial yang akan menentukan apakah dakwah (dan tarbiyah) Hidayatullah di Bumi Lakipadada ini bergerak maju secara bermakna atau tetap terjebak pada stagnasi menggunakan pola lama, atau bahkan ditinggal tanpa nama.
Toraja Raya tidak dapat diperlakukan sebagai wilayah dakwah yang netral dan homogen. Ia adalah ruang budaya yang hidup, berlapis, dan telah terbentuk melalui proses sejarah yang panjang berusia ratusan tahun. Struktur sosial, sistem nilai, serta simbol-simbol adat membangun mekanisme seleksi sosial yang ketat terhadap kehadiran pihak luar, termasuk lembaga dakwah.
Dalam konteks ini, kehadiran organisasi tidak cukup diukur dari aspek administratif semata. Bahwa yang penting petugas sudah ada. Tetapi ukurannya adalah sejauh mana Hidayatullah diterima sebagai bagian dari lanskap sosial masyarakat.
Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa tanpa kesadaran sosiokultural yang memadai, dakwah berisiko berhenti pada level simbolik. Pendekatan dakwah yang lazim diterapkan di wilayah mayoritas Muslim tidak dapat ditransplantasikan secara linear ke Toraja. Tempo dakwah, cara membangun relasi, dan indikator keberhasilan harus dibaca dengan parameter yang berbeda.
Keberhasilan dakwah di Toraja tidak harus tampil dalam bentuk pertumbuhan kuantitatif yang cepat, melainkan hadir melalui kualitas hubungan, tingkat penerimaan kultural, dan keberlanjutan kehadiran dai dalam jangka panjang.
Karena itu, dakwah di Toraja sejatinya adalah kerja peradaban yang menuntut kesabaran terukur, konsistensi kebijakan, dan kesinambungan kaderisasi.
Sebagai salah satu pelaksana amanah pada periode 2020–2025 (sebagai PAW pada 2023), catatan reflektif ini disusun bukan untuk mengevaluasi personal. Atau untuk menghakimi kerja-kerja sebelumnya. Melainkan untuk membedah realitas lapangan secara objektif.
Jika ditarik ke belakang, dakwah Hidayatullah di Toraja telah dimulai lebih dari dua dekade lalu, di bawah kepemimpinan Ustadz Abdul Majid, M.A sebagai Ketua DPW Hidayatullah Sulsel ketika itu. Dengan Ustadz Burhanuddin sebagai petugas Hidayatullah pertama yang dikirim, yang masih bolak-balik Palopo – Toraja karena alasan rumah tinggal.
Namun hingga akhir periode 2020–2025 ini, capaian paling nyata yang dapat dicatat adalah keberadaan petugas dakwah yang definitif serta diperolehnya rumah pinjaman sebagai basis aktivitas.
Dalam konteks Toraja, capaian ini tidak bisa dipandang remeh. Ia menandakan adanya penerimaan awal masyarakat dan terbukanya ruang interaksi berkelanjutan. Akan tetapi, dalam kacamata organisasi, capaian tersebut juga menyimpan kerentanan struktural.
Rumah pinjaman, dalam budaya Toraja yang sangat simbolik, merepresentasikan keberadaan yang belum sepenuhnya mapan. Ketiadaan aset permanen, baik tanah atau bangunan milik sendiri, bukan sekadar persoalan teknis. Tetapi ia juga akan berimplikasi pada legitimasi sosial, posisi tawar organisasi, dan persepsi keberlanjutan dakwah di mata masyarakat.
Bahkan hingga periode 2020–2025, gagasan untuk memiliki aset sendiri masih terasa tabu untuk diperbincangkan. Kita hanya berani berharap, semoga ada orang baik yang memberikan wakaf dan hibah aset, yang tentu saja harapan ini sudah ada sejak Hidayatullah pertama kali mengirim petugas ke Bumi Lakipadada ini.
Hal ini menunjukkan adanya hambatan psikologis dan strategis yang belum terpecahkan. Jika Hidayatullah ingin melangkah lebih mantap pada periode 2025–2030, maka pola bertahan di zona aman tidak lagi memadai. Toraja membutuhkan keberanian organisasi untuk keluar dari logika minimalis dan mulai membangun fondasi jangka panjang secara lebih visioner.
Realitas lain yang tak kalah penting adalah posisi dai dalam struktur sosial Toraja. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Toraja memiliki penghormatan tinggi terhadap strata sosial dan kemandirian ekonomi. Dalam budaya yang sangat memperhatikan status seperti itu, seorang dai tidak hanya dinilai dari kedalaman ilmunya, tetapi juga dari kemandirian dan martabat hidupnya.
Di sinilah kita perlu melakukan otokritik terhadap model penugasan kita selama ini. Pola yang diterapkan oleh lembaga seperti Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) patut menjadi bahan komparasi.
Mereka tidak sekadar mengirim orang, tetapi memastikan bahwa dai tersebut “selesai” dengan urusan dasarnya. Dengan dukungan finansial yang terukur dan jaminan hidup yang layak, seorang dai dapat berdiri tegak sebagai pembawa risalah, bukan sebagai peminta-minta yang menggantungkan hidupnya kepada amplop yang juga tidak seberapa.
Ketika seorang dai memiliki kemandirian ekonomi, ia memiliki modal sosial yang lebih besar untuk melakukan penetrasi ke lapisan masyarakat yang lebih luas. Ia akan dipandang sebagai sosok yang berdaya, bukan beban sosial.
Menjamin kesejahteraan petugas dakwah di daerah minoritas bukan bentuk pemanjaan, melainkan strategi untuk menjaga marwah dakwah itu sendiri.
Jika Tana Toraja masih ditempatkan sebagai wilayah garapan dakwah dan tarbiyah Hidayatullah pada periode 2025–2030, maka keseriusan DPW Hidayatullah Sulawesi Selatan tidak dapat lagi bersifat simbolik. Keseriusan itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret, terukur, dan berpihak pada realitas lapangan. Setidaknya, terdapat tiga prasyarat strategis yang tidak bisa ditawar.
Pertama, ketepatan kader. Kader yang ditugaskan ke Toraja harus dipilih bukan semata karena ketersediaan personel, tetapi karena kesesuaian kompetensi. Ia harus memiliki kapasitas sebagai dai dan imam yang mumpuni, sekaligus kemampuan sosial untuk membaur secara alami di tengah masyarakat Toraja, sebagaimana praktik baik yang selama ini telah berjalan.
Kecerdasan budaya, kelenturan komunikasi, serta ketahanan mental menjadi prasyarat mutlak. Tanpa itu, petugas dakwah berisiko terasing secara sosial, meskipun secara struktural ia “hadir”.
Kedua, jaminan kebutuhan dasar sebagai bentuk tanggung jawab organisasi.
Realitas Toraja menunjukkan bahwa hingga kini tidak terdapat amal usaha yang mampu menopang pembiayaan dakwah secara mandiri. Bahkan, untuk membiayai kebutuhan dasar rumah tangga kader seperti pangan, pendidikan anak, dan/atau kebutuhan operasional minimal, sering kali masih tertatih-tatih.
Dalam kondisi seperti ini, menuntut kader untuk membiayai program dakwah secara swadaya bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berpotensi melemahkan marwah dakwah itu sendiri.
Karena itu, DPW perlu menegaskan komitmen untuk menjamin kebutuhan dasar kader secara layak dan berkelanjutan. Jaminan ini bukan bentuk ketergantungan, melainkan prasyarat agar kader dapat fokus menjalankan fungsi dakwah dan tarbiyah tanpa dibebani kecemasan ekonomi yang berkepanjangan.
Ketiga, visi aset sebagai indikator keseriusan jangka panjang. Rumah pinjaman yang selama ini digunakan, dan masih dipinjamkan untuk waktu yang tidak ditentukan, perlu tetap dipertahankan sebagai basis aktivitas dakwah yang bermuatan historis.
Namun, untuk periode 2025–2030, keberadaan rumah pinjaman saja tidak lagi cukup. Harus ada ikhtiar serius dan terencana untuk menghadirkan aset milik organisasi, baik berupa tanah maupun bangunan.
Disadari bahwa memperoleh aset di Toraja bukan perkara ringan. Hambatan kultural, psikologis, dan finansial membuatnya membutuhkan strategi ekstra dan pendekatan yang tidak biasa. Oleh karena itu, upaya pengadaan aset perlu ditempatkan sebagai proyek kolektif organisasi, bukan beban personal kader di lapangan.
Beberapa skema realistis dapat dipertimbangkan. Di antaranya adalah pola patungan strategis antara DPW dengan DPD-DPD lain yang sudah relatif berdaya, sehingga Toraja tidak dibiarkan berjuang sendiri.
Selain itu, menggandeng lembaga filantropi seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH) untuk menjadikan pengadaan aset Toraja sebagai program khusus dan berkelanjutan juga layak dipertimbangkan.
Bahkan, membuka peluang kerja sama dengan platform penggalangan dana publik seperti Kitabisa dapat menjadi opsi alternatif, selama dikemas dengan narasi dakwah yang kuat dan akuntabel.
Memiliki aset bukan semata soal kepemilikan fisik, tetapi tentang pesan simbolik kepada masyarakat Toraja bahwa Hidayatullah hadir dengan niat jangka panjang, serius, dan bertanggung jawab. Aset adalah penanda keberlanjutan, sekaligus fondasi psikologis bagi kader untuk bekerja dengan lebih mantap.
Menatap dakwah Hidayatullah di Toraja periode 2025–2030 berarti menyadari bahwa wilayah ini bukan medan kerja singkat, melainkan proyek peradaban jangka panjang. Kesalahan dalam menempatkan personel dan kebijakan akan berdampak panjang, sementara ketepatan asesmen dan keberanian mengambil keputusan strategis akan melahirkan fondasi dakwah yang kokoh.
Sudah saatnya kehadiran Hidayatullah di Toraja tidak sekadar tercatat secara administratif, tetapi benar-benar hadir sebagai kekuatan moral dan sosial yang memberi warna bagi peradaban lokal.
*Abdul Aziz Dara, S.H.I. Ketua PAW DPD Hidayatullah Tana Toraja periode 2023-2025.



