Hari ini resmi, dan sah. Aku menyandang gelar sarjana. Sarmadani, Sarjana Ekonomi. SE, katanya.
Di Swiss-Belhotel Makassar, lantai 2, dekat Mall Panakukang, Sabtu kemarin (10/5/2025), prosesi wisuda itu digelar. Ada 95 wisudawan dan wisudawati hadir. Kami adalah angkatan pertama, alumni perdana dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Bayan.
Menjelang masuk ke Grand Ballroom Swiss-Bel, di dalam lift, seorang anak kecil berucap polos, “Eh, kenapa ada bapak-bapak baru wisuda? Sudah tua.”
Tak lama, menjelang sesi foto, seorang Ibu dari Pinrang juga ikut berkomentar, “Engka pale, maputeni janggo’na, nappa wisuda,” katanya sambil tersenyum geli. Artinya, “Sudah putih jenggotnya, baru ikut wisuda.”
Lain lagi komentar Doktor Amaluddin dari Pangkep. Dengan gaya khasnya, ia berbisik sambil tersenyum, “Ini sarjana tempe, bukan sarjana kerupuk.” Kalimat itu hanya dia dan saya yang paham maksud sebenarnya. Katanya, itu rahasia.
Hari ini memang istimewa. Di usia 45 tahun, dengan 9 anak dan sudah tiga kali menikah, baru kali ini aku resmi memakai toga dan ikut diwisuda. Ironisnya, di kampus tempat aku dulu ikut menandatangani borangnya sebagai bagian dari syarat pendirian STAI.
Tatapan mata, senyuman manis, rasa haru yang menyesak, semua seperti menyatu mengarah padaku. Riuh panggung terasa semakin bergemuruh saat namaku dipanggil dan aku berjalan naik, satu per satu menyalami para anggota senat.
Ustaz AQM bahkan berdiri spontan, “Kita foto dulu,” katanya sambil menyodorkan tangan untuk salam komando.
Bagi saya, ini adalah momen sejarah dalam siklus hidup. Dan entah kenapa, rasanya adrenalin saya tak pernah lelah untuk memulai hal-hal baru.
Gelar SE ini, buat saya, hanyalah formalitas. Tak ada kaitannya dengan kualitas.
Saya sebut gelar ini sebagai “tuntutan negara”—mengambil istilah dari Bapak Pemimpin Umum. Karena sejujurnya, pengalaman dan amanah yang saya jalani di Hidayatullah, sudah lebih dari cukup untuk jadi ribuan SKS dalam universitas kehidupan ini.
Saya teringat saat hendak ujian meja, ketika mengantar undangan ke Ibu Imaniar, Kaprodi Ekonomi Syariah. Sambil senyum saya bilang, “Bu, jangan berat ya ujiannya, karena ujian di universitas kehidupan ini sudah cukup berat.”
Perjalanan saya di Hidayatullah Makassar dimulai dari titik nol. Tahun 1999, sebagai office boy saat perintisan SMP Al Bayan. Kerjaan saya waktu itu hanya buat teh dan antar ke meja para guru.
Tahun 2000, saya naik jadi petugas lapangan: menarik donatur dan jualan majalah. Sebelumnya sempat juga jadi pengasuh anak-anak SMA Al Bayan angkatan pertama di Tanralili, Maros.
Tahun 2001, sambil kuliah di LP3I, saya tetap jalan dengan majalah dan donatur. Di saat yang sama, mulai menekuni dunia jurnalistik. Waktu itu saya sudah punya kamera Yashica FX100—bekal sederhana tapi bermakna untuk jadi jurnalis lapangan.
Tahun 2004, BMH lahir dari metamorfosis lembaga donatur Al Bayan. Saya ditunjuk jadi ketuanya, sampai 2009. Waktu itu, masih belum ketuaan. Hehe.
Juli 2009, saya ikut merintis BMH di Luwu Timur, Wawondula. Ustaz Rusdin Muis (alm.) yang mengajak saya pindah ke sana. Hingga 2011 saya bertugas di sana.
Awal 2011, lewat rapat Dewan Pembina Al Bayan, saya mulai terlibat di Pucak, merintis Tahridz Ummul Quro. Ustaz Muhsin jadi ketua, Pak Doktor Irfan sekretaris, saya bendaharanya.
Tahun 2014, Ustaz AQM menunjuk saya sebagai Ketua Yayasan Al Bayan, hingga 2019. Di masa inilah, STAI Al Bayan mulai dirintis. Setelah itu, saya jadi staf BPU hingga 2021. Kemudian dapat amanah sebagai staf ekonomi DPP, sempat menjajaki pengembangan sawah di Lutim, bagian dari agenda ketahanan pangan nasional.
Pertengahan 2021, SK baru turun: saya ditugaskan di Sidrap, sebagai Ketua DPD Hidayatullah hingga kini. Di Sidrap pula, saya mulai usaha ekonomi baru: telur asin Pak Dani.
Dari perjalanan panjang itulah, baru hari ini saya resmi mendapatkan gelar SE. Sebuah formalitas, untuk menunjukkan bahwa saya pernah sekolah. Bukan ijazah palsu.
Lebih dari itu, ini jadi motivasi buat anak-anak saya nanti. Buat generasi muda selanjutnya. Bahwa Pak Dani yang sudah tua, jenggot putih, tetap serius sekolah. Lalu kenapa yang muda, apalagi masih bujang, malah malas belajar?
Saya ingin menyampaikan pesan—tanpa harus mendoktrin—bahwa belajar itu bukan soal usia. Belajar itu dari lahir, hingga liang lahat.
Sarmadani, SE
Makassar, 10 Mei 2025