KEMERDEKAAN sering dipandang sebagai pintu gerbang menuju keberhasilan. Namun, untuk benar-benar mencapai kemajuan yang dicita-citakan, seseorang memerlukan fokus.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah mungkin seseorang bisa fokus tanpa kemerdekaan? Ataukah sebaliknya, setelah merdeka otomatis ia bisa fokus?
Jawabannya bergantung pada bagaimana kita memaknai kemerdekaan. Sebab kemerdekaan sejati bukanlah kebebasan tanpa aturan dan ikatan.
Dalam pandangan Islam, seseorang baru disebut merdeka ketika ia mampu melepaskan belenggu dalam dirinya, mulai dari belenggu hawa nafsu, syahwat, hingga bisikan setan, sehingga ia bisa berbuat dan bertindak dengan arah yang jelas menuju tujuan hidupnya.
Dalam perspektif Islam, tujuan hidup manusia sudah jelas: menjadi ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (pemakmur bumi). Dengan kata lain, orang yang merdeka sejati adalah mereka yang bisa fokus menjalani fungsi penghambaan sekaligus kekhalifahan.
Allah Swt. menegaskan:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘am [6]: 162)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh dimensi hidup seorang Muslim harus terfokus kepada Allah semata, tanpa terbagi pada tujuan lain. Maka, kemerdekaan yang hakiki adalah saat manusia bisa menghadirkan seluruh potensi dirinya untuk beribadah dan menunaikan amanah kekhalifahan.
Untuk bisa fokus menjalankan fungsi besar itu, umat memerlukan pedoman atau manhaj yang telah terbukti keberhasilannya. Sejarah mencatat, Manhaj Nubuwah adalah manhaj terbaik yang melahirkan generasi terbaik: Rasulullah ﷺ dan para sahabat di Madinah.
Pada masa itu, manusia benar-benar merdeka menjalani kehidupan dalam bingkai syariat Islam secara kaffah, sehingga mereka bisa fokus membangun pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Masyarakat yang hidup dengan manhaj nubuwah adalah masyarakat yang merdeka. Mereka terbebas dari segala belenggu yang menghalangi fungsi penghambaan dan kekhalifahan.
Dengan kemerdekaan itu, mereka dapat fokus membangun peradaban Islam yang maju, berkeadilan, dan berkeberkahan, hingga terwujud cita-cita agung: baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr, negeri yang baik dengan limpahan ampunan Allah.