BAGI sebagian orang, hijrah adalah perpindahan sekali jalan menuju ketenangan. Namun, bagi Zainudin, Ketua DPD Hidayatullah Barru, perjalanan spiritualnya adalah kisah bolak-balik antara kegalauan remaja dan panggilan hati.
Setelah perkenalan pertamanya dengan pesantren pada tahun 2010, ia sempat terjerumus dalam fase kegamangan, merantau mencari peruntungan di luar.
Akan tetapi, saat segala arah terasa buntu, justru di tengah kekosongan itulah Zainudin menemukan jalan kembali, sebuah ketenangan hakiki yang bersembunyi di balik kesederhanaan para ustadz di Hidayatullah.
Perkenalannya dengan pesantren Hidayatulllah berawal pada 2010 di Bulukumba, melalui guru TPA-nya yang merupakan seorang kader Hidayatullah.
“Beberapa kali diajak ikut pengajian, mendengarkan kajian dari ustadz-ustadz Hidayatullah. Hati ini pun merasa tenang,” kenangnya. Namun, ketenangan itu tidak lantas mengunci tekadnya.
Antara 2012 hingga 2015, Zainudin memilih jalur berbeda. “Saya merantau. Mencoba peruntungan dan kehidupan lain di luar,” aku pria yang kini memimpin Hidayatullah Barru ini. Ironisnya, titik balik itu terjadi tujuh bulan setelah ia tamat SMA, saat ia menganggur dan tanpa arah tujuan.
Dalam kondisi paling tidak menentu, ia kembali diajak mengunjungi pesantren Hidayatullah. “Di situlah saya menemukan ketenangan,” katanya dengan nada mengharukan.
Yang paling berkesan baginya adalah kesederhanaan hidup dan ketertiban ibadah yang dipraktekkan dan diperagakan para ustadz.
“Diajarkan sholat berjamaah dengan tertib, kaki harus rapat, berbaju putih. Rasanya, inilah tempat yang tepat untuk belajar dan mempraktikkan Islam secara kaffah,” ujar Zainudin.
Ajakan teman dan motivasi para ustadz pembina pada akhirnya membulatkan tekadnya. Pada 2015, ia memutuskan kembali dan mengabdi sepenuhnya.
Pengabdian Zainudin ditandai dengan mobilitas tinggi. Dari Bulukumba, ia berpindah sebagai sekretaris yayasan dan kepala sekolah di Bone, bertugas di Wajo, hingga akhirnya dipercaya memimpin DPD Hidayatullah Barru. Setiap perpindahan tugas adalah ujian kesabaran dan keteguhan iman.
“Kuncinya adalah menjaga konsistensi spiritual,” tegasnya. Ia mengaku selalu mengandalkan kekuatan ibadah nawafil seperti shalat berjamaah, shalat lail, serta zikir pagi dan petang, yang jika ditinggalkan akan terasa ada yang mengganjal. Bagi Zainudin, menjaga hubungan dengan Allah (hablum minallah) adalah pondasi utama dalam menghadapi segala persoalan.
Lantas, apa yang membuatnya bertahan hingga kini di tengah segala dinamika? Menurut Zainudin, jawabannya terletak pada visi dan misi Hidayatullah yang jelas.
“Mau kemana lagi? Di sini ada visi, misi, dan tujuan yang jelas, khususnya dalam mencari ridha Allah,” tegasnya dengan mata berbinar.
Visi inilah yang menjadi perekat bagi seluruh kader dan menjadi sumber support dari senior dan orang tua. Dinamika yang dihadapinya, suka dan duka, suka cita dan pengorbanan, justru dipandangnya sebagai keindahan berjuang. Bahwa setiap langkah adalah ibadah, setiap pengorbanan adalah jalan mendekat kepada-Nya.
Perjalanan Zainudin membuktikan bahwa kadang, justru di saat-saat paling tidak menentu, seseorang bisa menemukan jalan terangnya. Dan baginya, jalan terang itu ditemukan dalam pengabdian melalui Hidayatullah, sebuah perjalanan panjang mencari makna yang mengantar pada jalan istiqamah.
Menyambut Musyawarah Wilayah (Muswil) Hidayatullah Sulawesi Selatan ke-VI yang akan digelar pada 5-7 Desember 2025 mendatang, Zainudin menyampaikan harapan besarnya. “Saya berharap lahir pemimpin baru yang punya motivasi dan semangat tinggi, yang bisa menjadikan Hidayatullah Sulsel sebagai gerakan unggul, khususnya di tarbiyah dan dakwah.”
Ia juga berharap Muswil kali ini bisa menghasilkan terobosan baru yang membuat kegiatan amal usaha dapat mendukung dakwah secara lebih masif dan melibatkan lebih banyak kader./*
Reporter : Bashori Shobirin
Editor : Cakdul



