Wednesday, December 17, 2025
HomeArtikelGNH dan Transformasi Dakwah di Pare-Pare

GNH dan Transformasi Dakwah di Pare-Pare

Oleh: Irfan Yahya*

Pare-Pare selalu memanggil kita dengan cara yang berbeda. Kota pelabuhan yang tak pernah terdera oleh kantuk itu menyimpan denyut yang stabil, namun hentakannya cukup dinamis untuk melahirkan ritme sosial yang khas.

Gelombang kapal yang datang dan pergi di Pelabuhan Nusantara seperti menandai kehidupan warganya, bergerak perlahan dan istiqamah, tumbuh dengan ritme ekonomi yang bertumpu pada perdagangan, jasa, serta relasi-relasi sosial yang terjadi di ruang kota yang relatif kecil ini.

Dengan populasi sekitar seratus lima puluh ribu jiwa, Pare-Pare menunjukkan dinamika khas kota madya yang terus menata diri, menghadapi tuntutan baru dalam pendidikan, ruang sosial, dan bahkan ruang spiritual.

Mobilitas warga Pare-Pare semakin terasa ketika pagi menjelang. Dari Bacukiki, gelombang pelajar dan pekerja bergerak menuju pusat kota. Dari kecamatan Ujung, arus kehidupan mengalir menuju pelabuhan, pusat perbelanjaan, dan kompleks perdagangan yang menjadi pengerat ekonomi kota.

Kota ini tumbuh perlahan namun stabil. Laju pertumbuhan yang tidak meledak-ledak justru menciptakan kebutuhan yang semakin spesifik, model pendidikan yang kuat secara moral, ruang sosial yang mampu meredam tekanan hidup urban, serta kehadiran institusi yang dapat menjaga nilai-nilai komunal di tengah modernisasi yang tidak selalu bertumpu pada solidaritas.

Dalam konteks dinamika seperti itulah Hidayatullah Pare-Pare membangun posisinya sebagai salah satu simpul nilai yang berperan menjaga keseimbangan sosial. Dakwah di kota ini tidak lagi diartikan sekadar aktivitas ibadah seremonial, melainkan proses sosial yang mengikat kembali warga kota pada jaringan nilai, interaksi, dan spiritualitas yang sehat.

Peran dakwah memasuki bentangan alam urban sebagai energi moral, sebagai jembatan sosial, dan sebagai ruang bagi warga untuk menemukan kembali ketenangan batin yang sering tergerus dalam ritme hidup kota.

Salah satu figur yang menandai geliat transformasi dakwah itu adalah Ustadz Abdul Jabbar. Namun kehadirannya tak pernah diposisikan sebagai sosok tunggal yang mendominasi narasi dan aksi.

Ia lebih tepat dibaca sebagai representasi ethos kelembagaan yang membentuknya, sebuah ethos yang menanamkan ketahanan, mobilitas, dan disiplin spiritual yang terus terpatri di setiap fase hidupnya.

Tempaan panjang sejak masa remaja di Gunung Tembak membentuk orientasi dakwahnya bergerak ke mana pun dibutuhkan, membaca geografi sosial kota secara cermat, dan menjaga ritme spiritual sebagai fondasi dalam memahami tantangan sosial kontemporer.

Kini ia menakhodai dakwah di Pare-Pare, ethos itu terjelma dalam penguatan Rumah Quran, pengembangan lembaga pendidikan, dan kemampuan mengelola dukungan sosial dari warga serta pemerintah.

Bantuan pemerintah pusat yang memungkinkan pembangunan fasilitas pendidikan adalah isyarat kepercayaan publik terhadap lembaga dakwah yang dijalankannya. K

elembagaan yang rapi, pengelolaan sumber daya yang bersih, dan jejaring kader yang terus bergerak menjadi modal penting dalam memperluas jangkauan dakwah di kota kecil yang terus berubah ini.

Rumah Quran adalah salah satu inovasi sosial yang paling terasa dampaknya.

Di berbagai sudut Pare-Pare, ruang kecil itu hadir tidak hanya sebagai lokasi pembelajaran Al-Qur’an, tetapi juga sebagai ruang sosial yang memulihkan.

Anak-anak menemukan tempat yang hangat untuk belajar dan berinteraksi.

Para remaja menjadikannya sebagai ruang aman dari tekanan lingkungan digital dan pergaulan yang mudah memecah fokus.

Orang dewasa mendapat ruang untuk kembali menemukan ketenangan, mengisi ulang batin mereka yang sering terkuras oleh paparan medsos dan rutinitas kota.

alam konteks kota madya seperti Pare-Pare yang ruang publiknya cenderung terbatas, Rumah Quran tampil sebagai ruang alternatif yang memperkuat kohesi sosial.

Di kota yang terus mencari identitasnya, lembaga pendidikan juga menjadi salah satu penanda transformasi dakwah. Dengan ratusan santri di jenjang TK, SMP, hingga SMA, lembaga pendidikan Hidayatullah Pare-Pare hadir bukan hanya sebagai ruang transmisi pengetahuan agama, tetapi juga sebagai arena pembentukan karakter sosial.

Lingkungan pendidikan seperti ini memberikan warga kota pilihan baru, model sekolah yang memadukan nilai tauhid, disiplin, dan suasana belajar yang lebih kondusif mengikuti fitrah manusia.

Tidak mengherankan jika masyarakat menunjukkan kepercayaan besar pada lembaga pendidikan ini, termasuk dukungan finansial dan moral dari berbagai pihak.

Pare-Pare sebagai kota menengah menyimpan realitas sosial yang khas, tekanan ekonomi yang tidak selalu stabil, ruang kota yang semakin padat, dan kebutuhan akan jalinan sosial yang kuat agar warga tidak tercerabut dari komunitasnya.

Dalam bingkai analisis sosiolog, kota seperti ini membutuhkan model gerakan nilai yang adaptif, dan kolaboratif, gerakan yang mampu membaca perubahan, merespons kebutuhan warga, dan membangun ruang spiritual yang tidak kaku.

Dakwah Hidayatullah di Pare-Pare menunjukkan adaptasi itu. Di satu sisi ia tetap berpegang pada nilai-nilai manhaji yang menjadi fondasi gerakan. Di sisi lain ia merespons dinamika kota dengan strategi sosial yang lebih cair, langsung menyentuh kehidupan warga di ruang-ruang mikro.

Di sinilah peran Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH) menemukan relevansinya. Dalam pandangan sosiologis, GNH adalah bentuk ethical discipline yang menata kelola kehidupan kader dengan ritme spiritual yang konsisten. Salat berjamaah, tilawah, wirid harian, sedekah, dan salat malam bukan hanya ritual pribadi; ia membentuk karakter sosial.

Ia menyiapkan kader untuk menghadapi dinamika masyarakat, memberikan stamina moral yang stabil, dan menciptakan daya tahan spiritual yang diperlukan dalam medan dakwah yang cepat berubah. Spiritualitas tidak berhenti pada pengalaman batin, tetapi menjadi energi sosial yang menggerakkan dakwah secara berkelanjutan.

Dengan ritme kota yang terus berubah, Pare-Pare membutuhkan institusi yang mampu menjadi jangkar moral. Fragmentasi sosial yang muncul dari mobilitas penduduk, kompetisi ekonomi, dan perubahan budaya digital membuat masyarakat mudah tercerabut dari ruang komunal.

Hidayatullah Pare-Pare melalui Rumah Quran, lembaga pendidikan, dan jejaring kadernya mengisi kekosongan ini. Dakwah menjadi alat pemersatu. Menghadirkan nilai-nilai moral manhaji. Menenun kembali kejalinan sosial yang mulai renggang oleh modernisasi.

Pembangunan kota memang memerlukan infrastruktur fisik. Tetapi kota yang sehat adalah kota yang tidak melupakan infrastrukur sosial dan spiritualnya. Pare-Pare membutuhkan ruang nilai yang hidup, yang tidak hanya hadir dalam bentuk bagunan masjid, tetapi juga dalam bentuk komunitas, kader, lembaga pendidikan, dan aktivitas sosial yang menumbuhkan rasa memiliki satu sama lain.

Kesadaran obyektif ini, Hidayatullah tampak menempatkan diri bukan sebagai gerakan eksklusif, melainkan sebagai simpul kolaboratif yang terbuka. Ruang-ruang pertemuan dengan komunitas warga, jejaring profesional, dan bahkan institusi pemerintah menjadi bagian dari strategi dakwah yang lebih luas.

Transformasi dakwah di Pare-Pare memperlihatkan bagaimana sebuah gerakan nilai mampu memproduksi dampak sosial melalui mekanisme penguatan komunitas, pelayanan pendidikan, dan konsolidasi spiritual.

Kota ini berada pada fase pertumbuhan yang menuntut adaptasi sosial yang cepat, dan Hidayatullah menjawabnya dengan dasar spiritual manhaji yang kuat namun fleksibel. Sebuah transformasi dakwah yang tidak bertumpu pada retorika, tetapi pada loyalitas kader, disiplin spiritual, dan konsistensi kerja sosial.

Pare-Pare hari ini adalah kota yang mencari bentuk terbaiknya. Dalam perjalanan itu, Hidayatullah memilih hadir tidak untuk menguasai ruang kota, tetapi untuk merawat ruang nilai. Ia hadir sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari kompetisi sosial.

Dakwah yang dibangun bukan untuk memperluas pengaruh struktural, tetapi untuk memperkuat resiliensi warga kota. Suatu dakwah yang bersandar pada nilai, kehadiran, dan ketelatenan.

Demikianlah, GNH dan transformasi dakwah di Pare-Pare mengajarkan bahwa kota kecil pun membutuhkan energi spiritual untuk tumbuh. Kehadiran Hidayatullah di kota ini membuktikan bahwa dakwah tidak harus berada di panggung besar; ia dapat tumbuh dari ruang-ruang kecil, dari komunitas yang sederhana, dari kerja sosial yang konsisten. Kota cinta ini memiliki denyut yang berbeda, dan dalam denyut itu, dakwah menemukan ritmenya.

Jika kota adalah kumpulan ruang, maka dakwah adalah cahaya yang membuat ruang-ruang itu tetap hidup. Dan Pare-Pare, dengan segala dinamika dan pertumbuhannya, kini sedang menyaksikan bagaimana cahaya itu bekerja pelan namun pasti, membentuk generasi baru, komunitas baru, dan harapan baru bagi masa depannya.Wallahualam.*/

*Dr. Irfan Yahya adalah Sosiolog Hidayatullah dan Peneliti di LPPM Unhas Makassar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments