Wednesday, December 17, 2025
HomeArtikelGeliat Dakwah di Tengah Labirin Urbanisme Makassar

Geliat Dakwah di Tengah Labirin Urbanisme Makassar

Oleh: Irfan  Yahya*

Makassar, sebuah kota pesisir yang terus bergerak, awal bulan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-418 dengan rangkaian kegiatan rutin yang telah lama menjadi tradisi.

Namun di balik seremonial tersebut, kota ini mengendapkan dinamika urban yang terus berkembang, menantang pembacaan yang lebih mendalam. Makassar bukan lagi sekadar kota yang punya akar sejarah yang kuat saja, tapi telah menjelma menjadi simpul metropolitan di kawasan timur Indonesia, dengan ritme sosial, ekonomi, politik  yang menggeliat cepat dan kompleks.

Data BPS per tanggal 30 Juni 2024, memperlihatkan bahwa Makassar adalah kota berpenduduk 1.477.661 jiwa, dengan kepadatan yang relatif tinggi dan pertumbuhan wilayah yang pesat. Tingkat mobilitas harian meningkat akibat hubungan ekonomi dengan wilayah Mamminasata.

Pertumbuhan ini membawa peluang, tetapi juga menimbulkan tekanan pada ruang hidup warga: kemacetan yang kerap menghantui warga setiap saat, kawasan padat penduduk yang terus meluas, ruang publik yang terbatas, dan fragmentasi sosial yang tetap menjadi pekerjaan rumah.

Di beberapa titik pusat aktivitas, arus kendaraan bertumpuk di pagi dan sore hari, jalan-jalan baru belum sepenuhnya mampu menjawab kepadatan pergerakan laju kendaraan, dan ruang hijau belum tumbuh sepadan dengan geliat pembangunan fisik.

Urbanisme Makassar hari ini menghadirkan apa yang oleh para ahli sebagai urban complexities, kompleksitas yang lahir dari persilangan antara mobilitas, ekonomi, migrasi, dan kultur. Kota tidak lagi dapat dipahami hanya melalui pembangunan fisik; ia adalah ekosistem sosial yang terus bergerak, menata ulang dirinya sendiri melalui interaksi sehari-hari warganya.

Dalam perspektif postmodernisme sebagaimana diulas para ahli, kota kontemporer memerlukan pendekatan perencanaan yang tidak kembali pada pola seragam, tetapi menekankan pluralitas, partisipasi, dan keberagaman. Kota adalah mosaik kehidupan, dan keberhasilan suatu kota bergantung pada kemampuannya membaca wajah warga yang majemuk.

Menghadapi tantangan yang terus berkembang, banyak kota dunia berusaha merumuskan kembali arah pembangunannya. Bahwa kota yang baik bukan hanya kota yang terbangun secara fisik, tetapi kota yang mampu menghadirkan kebahagiaan melalui desain sosial yang kuat: transportasi publik yang terjangkau, ruang publik yang hidup, interaksi sosial yang sehat, serta ruang spiritual dan emosional yang tersedia bagi warganya.

Kondisi objektif Makassar, dengan tantangan masalah sampah, kemacetan, tekanan ruang, dan kesenjangan pelayanan publik, menunjukkan bahwa kota ini masih berada dalam proses tumbuh mencari bentuk terbaiknya. Upaya pemerintah untuk berbenah tentu berjalan, namun tata kota modern membutuhkan dukungan seluruh elemen sosial untuk membangun ruang hidup yang lebih manusiawi. Kota bukan hanya karya pemerintah; ia adalah ekosistem kolaboratif yang menuntut partisipasi semua unsur masyarakat.

Di tengah dinamika besar itulah Hidayatullah Makassar mengambil posisi sebagai aktor dakwah yang hadir di lanskap urban. Ketua DPD Hidayatullah Makassar, Dr. Nasrullah Sapa, Lc, M.M. yang telah tertenpah kultur pengkaderan khas pondok saat masih masa kanak-kanak, melihat kota sebagai ruang ujian nilai dan ruang penguatan moral.

Baginya, kota tidak pernah netral. Mobilitas tinggi, tekanan rutinitas, kompetisi ekonomi, dan ragam budaya membentuk ruang sosial yang mudah memisahkan individu dari komunitas, dan nilai spiritual diyakini mumpuni menjadi fondasi kehidupan warga masyarakat.

“Di kota, orang bisa berlari cepat,” ujarnya, “tetapi belum tentu bertahan lama. Karena itu berjamaah menjadi penting, agar dakwah tetap hidup dan memberi manfaat.”

Pengalamannya berinteraksi dalam berbagai ruang dakwah, dari Rumah Qur’an, organisasi keagamaan, hingga lingkungan perguruan tinggi, membentuk pandangannya bahwa dakwah di kota harus lentur dan adaptif.

Ia tidak lagi cukup digerakkan dari mimbar semata, dakwah harus hadir dalam ritme kehidupan urban: di sela kesibukan profesional, di ruang-ruang kecil komunitas perumahan, di kampus, di pusat aktivitas warga, dan bahkan di dunia kerja yang semakin kompetitif.

Dalam sebuah catatan reportase, ia menyampaikan bahwa kader Hidayatullah harus memiliki kesadaran untuk hadir di semua aspek kehidupan kota: pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan ruang publik.

Peradaban, baginya, dibangun dengan menjadi “yang terbaik” di segala lini. Bukan dalam makna kompetitif secara dangkal, tetapi dalam kapasitas kontribusi. “Pendidikannya harus terbaik. Ekonominya harus terbaik. Semua aspek kehidupan itu harus terbaik,” tegasnya.

Visi ini relevan dengan kebutuhan kota seperti Makassar, di mana tekanan urban melahirkan apa yang disebut Montgomery sebagai kekurangan infrastruktur emosional.

Di ruang inilah Hidayatullah dapat memainkan peran, membangun jejaring sosial bebasis moral yang memperkuat resiliensi sosial warga kota. Kehadiran Rumah Qur’an di kawasan padat penduduk menjadi oase pendidikan nilai; halaqah-halaqah taklim menjadi tempat rehat rohani; pertemuan komunitas membangun jejaring sosial yang melindungi warga dari isolasi urban.

Dalam konteks urbanisme pascamodern, geliat dakwah bukanlah gerakan eksklusif, melainkan kolaboratif. Ketua DPD Hidayatullah Makassar itu menegaskan pentingnya keterlibatan lintas komunitas: “Kalau ada yang punya program pembelajaran Qur’an terbaik, kita dukung. Kalau ada yang punya gerakan ekonomi terbaik, kita siap kolaborasi. Kita hadir sebagai katalisator, bukan sebagai pesaing.”

Pola pikir ini membuka ruang baru bagi geliat dakwah yang tidak mengurung diri dalam batas-batas struktural, tetapi merangkul segala unsur yang hadir dalam dinamika kehidupan warga kota.

Melihat Makassar melalui kacamata akademik, dakwah urban yang dilakukan Hidayatullah muncul sebagai respons terhadap fragmentasi sosial kota besar. Keterpisahan warga dari komunitas, tekanan ekonomi, kesibukan yang menyita ruang spiritual, dan berkurangnya ruang publik nilai adalah tantangan nyata. Di sinilah geliat dakwah mengambil bentuk baru: menjadi jaring pengikat moral.

Kota tidak bisa dibangun dengan beton saja. Ia membutuhkan nilai, keterikatan, dan ruang spiritual yang hidup. Dakwah Hidayatullah mengisi ruang ini dengan strategi yang bergerak dari bawah: membangun basis komunitas, memperkuat kapasitas kader di berbagai sektor, mendorong kolaborasi antarorganisasi, dan menghadirkan dakwah sebagai energi sosial yang menenangkan sekaligus memotivasi.

Dakwah berubah menjadi kerja kerja sosial berbasis moral, menyapa warga, mendidik anak-anak, memperkuat keluarga, dan memupuk budaya gotong royong yang mulai tergerus oleh modernitas.

Peran dakwah di kota modern bukan lagi sekadar memperbaiki individu, tetapi juga memperbaiki struktur sosialnya. Hidayatullah Makassar, dengan jejaring kadernya, memiliki modal sosial yang memungkinkan hal itu. Keberadaannya di kampus, ruang pendidikan, komunitas profesional, organisasi publik, dan perumahan padat menjadikannya bagian integral dari denyut nadi kota.

Demikianlah di tengah labirin urbanisme Makassar yang terus berubah, geliat dakwah Hidayatullah menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual tidak pernah kehilangan relevansinya. Justru dalam dinamika keghipudan kota yang sedemikian cepat, acak dan rumit, geliat dakwah menjadi kompas yang membimbing arah.

Dakwah yang hidup, adaptif, dan kolaboratif dapat menjadi salah satu pilar penyangga peradaban kota: memperkuat ketahanan sosial, membangun karakter warga, serta memberikan ruang bagi harapan dan kedalaman makna di tengah hiruk pikuk kehidupan urban.

Makassar mungkin sedang mencari bentuk terbaiknya. Pembangunan kota membutuhkan waktu dan kerja kolektif. Dalam perjalanan panjang itu, Hidayatullah memilih berada di dalam setiap denyut kota itu. Hadir sebagai bagian dari solusi. Hadir sebagai penenun nilai. Hadir sebagai pengingat bahwa setiap kota, betapapun modernnya, tetap membutuhkan cahaya spiritual untuk tetap menjadi ruang manusiawi bagi warganya. Wallahualam./*

*Dr. Irfan Yahya, adalah Sosilog Hidayatullah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments