MAKASSAR (HidayatullahSulsel.or.id)— Kontribusi ekonomi syariah Indonesia yang baru berkisar pada angka 16% dinilai belum mencerminkan potensi besar umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Kondisi tersebut dipandang sebagai tantangan sekaligus peluang besar untuk membangun ekosistem ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Hal itu sebagaimana disampaikan Prof. Muhammad Asdar, Ekonom Universitas Hasanuddin pada Sabtu lalu (06/12/2025).
Prof. Asdar menyampaikan pandangannya tersebut dalam Dialog Kebangsaan dan Keummatan bertema “Sinergi Anak Bangsa Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang digelar DPW Hidayatullah Sulawesi Selatan,
Dialog tersebut merupakan bagian dari rangkaian Musyawarah Wilayah VI Hidayatullah Sulsel yang digelar pada 5–7 Desember 2025 di Asrama Haji Sudiang Makassar. Forum tersebut menghadirkan sejumlah pemateri dari lintas sektor, termasuk para akademisi, tokoh ekonomi, dan pakar kebangsaan.
Dalam penjelasannya, Prof. Asdar menekankan pentingnya mengubah cara pandang dalam membangun ekonomi umat. Lebih dari sekadar mengejar angka kontribusi, ia menilai bahwa ekonomi Islam harus membangun ekosistem yang mampu bersinergi dengan ekonomi konvensional.
“Ini bukan hanya tentang persentase, tapi tentang membangun ekosistem yang berkelanjutan. Ekonomi Islam harus bersinergi dengan ekonomi konvensional, bukan bergerak sendiri,” ujarnya.
Gagasan pemberdayaan pesantren sebagai pusat pertumbuhan ekonomi umat kembali ditegaskan dalam forum ini. Pesantren dinilai memiliki posisi strategis sebagai kawah candradimuka yang dapat melahirkan ulama sekaligus wirausaha Muslim.
Prof. Asdar mengaitkan hal ini dengan teladan Rasulullah SAW yang pernah menjadi pebisnis. Menurutnya, integrasi antara spiritualitas dan kewirausahaan bukan hanya mungkin, tetapi justru dahsyat dalam membentuk generasi pelaku ekonomi yang bernilai dan berkarakter.
Ia juga mendorong lahirnya wirausaha Muslim yang bukan hanya berdagang, melainkan menjadi pencipta nilai tambah. Pergeseran dari sekadar pedagang menjadi “creator” dianggap sebagai lompatan penting dalam penguatan ekonomi umat. Ini dapat diwujudkan melalui kurikulum kewirausahaan di pesantren, program inkubasi bisnis, dan pendampingan yang sistematis.
Bonus demografi dan kemajuan digital turut menjadi pembahasan penting. Prof. Asdar menilai bahwa ekonomi syariah harus mampu membaca momentum besar ini, terutama dengan memanfaatkan infrastruktur teknologi.
“Teknologi finansial syariah (fintech syariah) adalah kunci akselerasi yang akan mendekatkan layanan keuangan syariah kepada generasi milenial dan Gen-Z,” tandasnya.
Di tengah besarnya peluang ekonomi, ia mengingatkan tentang tantangan serius pada aspek karakter. Godaan terhadap pemimpin dan pengusaha Muslim kini tidak hanya terkait uang, tetapi melebar pada kekuasaan, wanita, harta, hingga berbagai janji duniawi.
Kondisi ini disebut sebagai “lima tahap godaan” yang dapat menjatuhkan seseorang ketika iman dan karakternya tidak kokoh. Prof. Asdar menegaskan bahwa dakwah ekonomi harus selalu berjalan beriringan dengan dakwah akhlak.
“Ulama atau pengusaha Muslim harus memiliki keteguhan iman yang menjadi benteng dari sogokan,” ujarnya mengingatkan.
Dalam konteks peluang, wisata religi disebut sebagai sektor yang dapat menjadi lokomotif ekonomi syariah sebagaimana terbukti di negara-negara seperti Turki. Indonesia memiliki kekayaan budaya dan sejarah Islam yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata religi kelas dunia. Potensi ini dinilai sangat besar apabila dikemas secara profesional.
Prof. Asdar juga menyoroti pentingnya kolaborasi nasional. Organisasi seperti Hidayatullah yang memiliki jaringan dakwah di 38 provinsi, persatuan mantan rektor, berbagai ormas Islam, hingga pemerintah daerah, dinilai memiliki kapasitas besar untuk membangun gerakan ekonomi syariah yang terstruktur.
Ia mengajukan mimpi besar: suatu hari ekonomi syariah dapat menyumbang hingga 50% dari PDB nasional. Menurutnya, target ini hanya bisa dicapai melalui gotong royong dan integrasi kekuatan umat.
Diskusi ditutup dengan penegasan bahwa internalisasi iman adalah pondasi dari seluruh gerak ekonomi. Spirit keimanan harus terwujud dalam tindakan nyata, termasuk dalam pengembangan kewirausahaan berbasis nilai dan komitmen pemberdayaan umat.
Dengan perpaduan antara kekuatan pesantren, keteguhan karakter, pemanfaatan teknologi, serta kolaborasi seluruh elemen bangsa, harapan menjadikan ekonomi Islam sebagai pilar utama perekonomian nasional bukanlah utopia, melainkan cita-cita yang sangat mungkin diwujudkan.
Reporter: Basori Shobirin



