Wednesday, December 17, 2025
HomeSosokDari Turun Kelas Menjadi Ketua Yayasan: Kekuatan Gerakan Nawafil Hidayatullah Mengubah Nasib...

Dari Turun Kelas Menjadi Ketua Yayasan: Kekuatan Gerakan Nawafil Hidayatullah Mengubah Nasib Ustadz Abdul Jabbar

TAHUN 1996 menjadi titik balik pahit dalam hidup Ustadz Abdul Jabbar. Remaja kelas 2 SMA asal Bantaeng, Sulawesi Selatan, itu harus menerima kenyataan yang terasa seperti tamparan keras. Oleh seorang Ustadz, Ia diminta turun ke bangku SMP setelah beberapa bulan mengikuti pembelajaran di Pondok Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan. 

“Postur tubuh saya masih kecil waktu itu. Di pesantren, santri SMA sudah harus bisa berceramah di podium besar dan menghafal Juz 30. Saya? Mengaji Alquran saja belum fasih, bahasa Indonesia pun masih terbata-bata,” kenang Ustadz Abdul Jabbar (45), suara bergetar mengingat momen 28 tahun silam.

Namun, justru di balik label “turun kelas” ini tersimpan hikmah terbesar yang mengubah jalan hidupnya, mengantarnya menjadi Ketua Yayasan Hidayatullah Parepare seperti sekarang.

Keputusan seorang Ustadz yang memintanya kembali ke bangku SMP bagai pukulan telak, tetapi menjadi pelecut dirinya untuk berkembang. Walau terasa berat dan terpaksa, ia mencoba menjalani hari-harinya dengan tabah. 

“Dengan berat hati saya terima. Sudah terlanjur merantau dan jauh dari kampung, apa boleh buat,” ujarnya, senyum getir mengingat sulitnya beradaptasi. Aksen Bantaengnya yang kental harus berhadapan dengan bahasa Indonesia formal, sementara standar bacaan Alquran di pesantren jauh dari kemampuannya.

Namun, semangatnya tak lantas pupus. Setelah berhasil menuntaskan MTs-nya di pesantren tersebut, ia dengan sabar kembali melanjutkan ke tingkat Aliyah. Saat ada momen pengiriman santri untuk ditempatkan ke cabang pesantren lain, ia justru yang proaktif mendatangi kepala pendidikan, meminta agar dirinya juga dikirim.

“Saya minta dikirim juga. Saya haus ilmu yang lebih luas,” ujarnya, menandakan tekadnya yang tak pernah padam.

Keinginannya dikabulkan, dan ia dikirim ke Makassar. Meskipun secara resmi terdaftar sebagai siswa kelas 1 SMA, setahun mengikuti pendidikan, ia nekat meminta ikut ujian kelulusan SMA. “Ustaz dan guru-guru terkejut, begitu juga teman-teman. Tapi alhamdulillah, saya lulus. Ironisnya, senior-senior saya justru menjadi junior saya saat itu,” kenang Jabbar disertai tawa, mengingat plot twist kehidupan yang ia jalani berkat ambisi belajarnya.

Tahun 2000 menjadi babak baru perjuangan. Sambil kuliah di Fakultas Ekonomi UMI dengan beasiswa, ia memulai kontribusinya di Hidayatullah dari posisi paling bawah sebagai petugas donatur. 

“Kami jalan kaki keliling kota, menggalang dana sambil membawa kotak amal. Saat itu, struktur seperti BMH belum ada,” ujarnya, mengenang perjuangan fisik di masa awal.

Dari langkah kaki sebagai petugas donatur di Makassar itu, ia terus melangkah menerima amanah. Kariernya meroket dari mengelola SMP di Belopa (2011), memimpin yayasan di Palopo (2014), Sorowako (2018), hingga merambah Gorontalo (2020). “Bagai tentara dakwah yang siap ditempatkan di mana pun,” ujarnya, menyiratkan dedikasi tanpa batas.

Rahasia ketahanannya di tengah mobilitas tinggi ini terletak pada Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH).  “Ini bukan sekadar program, tapi kerangka hidup yang membentuk disiplin spiritual melalui amalan sunah: salat berjamaah, infak, salat lail, tilawah Alquran, hingga puasa sunah.”

GNH, katanya, menjadi sistem pengendali kehidupan yang menjaga konsistensi ibadah. Pengalaman hidup mandiri di luar pun tak mampu memutuskan ikatannya dengan kebersamaan pesantren. “Di sini, setiap aktivitas dalam bingkai GNH berpotensi menjadi amal saleh.”

Kini, di bawah kepemimpinannya, Ponpes Hidayatullah Parepare memiliki 200 santri dari tingkat TK hingga SMA, unit usaha akikah berkembang, dan menghadirkan 11 Rumah Quran bersama pengurus dan aktivis dakwah DPD Hidayatullah Parepare. Pencapaian terbarunya adalah mengamankan bantuan pemerintah pusat senilai Rp1,6 miliar untuk pembangunan gedung sekolah.

“GNH mengajarkan bahwa amalan sunah bukan sekadar ritual, tapi modal spiritual untuk pergerakan dakwah,” tuturnya. Dari santri yang dipaksa “turun kelas” menjadi Ketua Yayasan Ponpes Hidayatullah Parepare, perjalanan 28 tahun Ustadz Abdul Jabbar membuktikan: terkadang, kita harus berani turun sejenak sebelum mampu melompat lebih tinggi—sebuah filosofi yang mengubah jalan hidupnya.

Kisah Ustadz Abdul Jabbar menjadi refleksi penting menjelang Musyawarah Wilayah (Muswil) Hidayatullah Sulawesi Selatan yang akan datang. Perjalanannya menegaskan bahwa kepemimpinan lahir dari tempaan spiritual dan kesediaan untuk berkorban serta beradaptasi demi kebutuhan dakwah. Semangat GNH dan militansi yang ia tunjukkan diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kader lain untuk memperkuat fondasi spiritual dan komitmen pelayanan umat di seluruh wilayah.

Reporter : Bashori Shobirin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments