Wednesday, December 17, 2025
HomeKolom KhususImajinasi NubuwahDakwah Fardiyah di Tengah Detak Sosial Luwu Raya

Dakwah Fardiyah di Tengah Detak Sosial Luwu Raya

Oleh: Irfan Yahya* 

Palopo adalah kota yang tumbuh dengan irama khas wilayah antara. Ia tidak sehingar-bingar seperti kota metropolitan, tetapi cukup dinamis untuk menghadirkan kompleksitas sosial yang nyata.

Secara demografis, Palopo menunjukkan karakter kota menengah dengan struktur penduduk yang didominasi usia produktif, tingkat mobilitas yang meningkat, serta ketergantungan ekonomi pada sektor jasa, perdagangan, pendidikan, dan aktivitas kepelabuhanan.

Data statistik daerah memperlihatkan bagaimana konsentrasi penduduk berada pada kawasan perkotaan inti, dengan arus sirkulasi harian yang menandai pergeseran gaya hidup, pola kerja, dan relasi sosial warganya.

Dalam konfigurasi semacam ini, Palopo tidak hanya memerlukan kebijakan pembangunan fisik yang memadai, tetapi juga sistem nilai yang mampu menahan laju disorientasi sosial.

Statistik kesejahteraan sosial menunjukkan tantangan yang tidak kecil: kerentanan ekonomi kelompok menengah bawah, meningkatnya paparan generasi muda terhadap risiko sosial, serta tekanan budaya digital yang bergerak lebih cepat daripada kesiapan mental masyarakat.

Angka-angka tentang pendidikan, kesehatan sosial, dan perilaku menyimpang tidak dapat dibaca semata sebagai data teknis, melainkan sebagai cerminan kebutuhan akan aktor moral yang konsisten dan dipercaya.

Di titik inilah dakwah menemukan relevansinya yang paling substantif. Bukan sebagai simbol keagamaan, tetapi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga kohesi, membangun ketahanan, dan mengarahkan perubahan.

Palopo yang selama ini dikenal dengan slogan religiusnya justru memperlihatkan paradoks klasik kota-kota berkembang: semakin terbuka pergaulan sosial, semakin besar pula risiko degradasi nilai. Fenomena narkoba, judi online, dan penyimpangan perilaku seks bukan saja persoalan moral individual, melainkan gejala struktural dari kota yang sedang tumbuh tanpa penyangga nilai moral yang kokoh.

Ketika pemerintah daerah secara terbuka menyampaikan kegelisahan tersebut, sesungguhnya yang tampak adalah pengakuan implisit terhadap keterbatasan instrumen negara dalam menjangkau wilayah paling dalam kehidupan warga.

Aparat dan regulasi bekerja pada level administratif, tetapi medan nilai membutuhkan pendekatan berbeda: kehadiran yang berulang, keteladanan yang konsisten, dan relasi personal yang berkelanjutan. Di ruang inilah Hidayatullah Palopo memperoleh signifikansinya sebagai institusi dakwah.

Kehadiran Hidayatullah di Palopo tidak dibaca sebagai sebuah dakwah eksklusif, melainkan sebagai simpul sosial yang beroperasi melalui pendidikan, pembinaan kader, dan dakwah. Kampus Madya Hidayatullah Palopo berfungsi lebih dari sekadar pusat aktivitas organisasi.

Ia menjadi ruang produksi nilai, tempat reproduksi kader, dan sekaligus jembatan antara kebutuhan masyarakat dan visi peradaban Islam yang aplikatif. Dalam proyeksi utuh kota dengan keterbatasan ruang publik bernuansa moral, kehadiran institusi semacam ini menawarkan stabilitas simbolik dan operasional.

Yang menarik, kekuatan institusi ini tidak bertumpu pada figur personal semata, melainkan pada sistem yang bekerja. Di balik bangunan organisasi, terdapat disiplin spiritual yang menjadi fondasi etos gerakan.

Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH) memainkan peran sentral dalam hal ini. Ia merupakan mekanisme internalisasi nilai yang membentuk subjek dakwah yang tahan uji, tidak mudah goyah oleh medan sosial, dan mampu menghadirkan Islam dalam laku sehari-hari.

Dalam perspektif sosiologi agama, GNH dapat dibaca sebagai perangkat pembentuk habitus religius yang memungkinkan nilai-nilai Islam hadir secara stabil di ruang hidup modern saat ini.

Praktik GNH menciptakan korelasi yang menarik antara kesalehan personal dan daya jangkau sosial. Pada level individu, ia melatih disiplin, konsistensi, dan kontrol diri. Pada level institusi, ia melahirkan kader yang siap berinteraksi lintas sektor, dari pendidikan hingga ruang sosial yang paling cair.

Inilah yang menjelaskan mengapa dakwah Hidayatullah relatif diterima di berbagai lapisan masyarakat, termasuk oleh aktor-aktor non-struktural di luar komunitas internalnya. Dakwah tidak tampil sebagai ekspansi organisasi, tetapi sebagai penawaran kebaikan yang hadir melalui perilaku.

Pendekatan dakwah fardiyah yang menguat dalam tubuh Hidayatullah menjadi elemen kunci yang memperhalus kerja institusional tersebut. Pendidikan, pengelolaan aset, dan penguatan jejaring sosial tidak dibangun melalui tekanan structural semata, melainkan melalui akumulasi kepercayaan.

Relasi personal yang intensif membuka ruang dialog, meminimalkan resistensi, dan memungkinkan kolaborasi lintas identitas. Dalam konteks Palopo yang plural secara sosial dan kultural, pendekatan semacam ini terbukti strategis.

Dari sudut pandang pembangunan sosial, model dakwah ini berperan sebagai katalisator. Ia tidak mengambil alih fungsi negara, tetapi melengkapinya. Pendidikan Islam yang dikelola secara profesional membantu mengisi kebutuhan layanan dasar, sekaligus menanamkan nilai karakter.

Rumah Quran yang tumbuh di tengah permukiman berfungsi sebagai ruang aman bagi anak-anak dan remaja, mengurangi potensi keterpaparan terhadap risiko sosial. Aktivitas dakwah yang menyatu dengan kehidupan warga menciptakan jaringan sosial yang memperkuat resiliensi masyarakat.

Data statistik daerah yang memperlihatkan dominasi usia produktif dan tingginya populasi pelajar sesungguhnya menandai peluang sekaligus tantangan. Kota seperti Palopo membutuhkan institusi yang mampu mengelola potensi demografis ini secara berkelanjutan.

Dalam konteks itulah Hidayatullah memposisikan diri bukan sekadar sebagai organisasi dakwah, melainkan sebagai aktor pembangunan manusia berbasis nilai. Kehadiran nyata dalam siklus pendidikan, pembinaan, dan pelayanan sosial.

Sebagai sosiolog Muslim, membaca fenomena ini berarti melihat dakwah bukan sebagai aktivitas normatif semata, tetapi sebagai proses konstruksi peradaban.

Kota, betapapun kecil atau menengah skalanya, adalah arena di mana arah masa depan masyarakat dipertaruhkan. Struktur sosialnya lentur, sehingga mudah dibentuk; tetapi justru karena itu pula rentan terhadap deviasi. Institusi dakwah yang mampu bekerja dengan disiplin nilai, pendekatan personal, dan sistem yang rapi berpotensi menjadi jangkar moral bagi kota semacam ini.

Palopo dengan seluruh kompleksitasnya memperlihatkan bahwa persoalan sosial tidak selalu membutuhkan solusi spektakuler, melainkan konsistensi kehadiran.

Hidayatullah hadir dengan ritme panjang, menanam nilai secara perlahan, dan membiarkan institusi bekerja melampaui figur. Inilah kekuatan branding gerakan: ketika masyarakat mengenali manfaatnya sebelum menyadari siapa aktornya.

Pada akhirnya, transformasi dakwah di Palopo tidak dapat diukur hanya dari pertumbuhan lembaga atau jumlah kegiatan. Ia tercermin pada meningkatnya kepercayaan, terbukanya ruang kolaborasi, dan hadirnya alternatif moral di tengah tekanan sosial kota.

GNH menjadi fondasi yang menautkan spiritualitas dan kerja sosial, sementara institusi memastikan keberlanjutan gerakan.

Palopo masih akan terus bertumbuh, dengan segala risiko dan peluangnya. Dalam perjalanan itu, dakwah yang berangkat dari basis manhaj dan bekerja melalui struktur yang matang berpeluang menjadi penjaga arah. Di sanalah dakwah menemukan maknanya sebagai kerja-kerja peradaban. Wallahualam./*

*Dr. Irfan Yahya, Sosilog Hidayatullah dan Peneliti di LPPM UNHAS.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments