Dalam peta dakwah Indonesia, ada dai yang bersinar di mimbar megah, dan ada yang memilih membangun cahaya dari sentuhan personal ke personal. Ustadz Burhan memilih jalan kedua, yaitu dakwah fardhiah.
Dengan pendekatan personal yang intensif, pria yang telah puluhan tahun mengabdi sebagai dai Hidayatullah ini berhasil menjembatani Islam ke semua lapisan, mulai dari kepala suku di pedalaman Papua hingga pendeta terkemuka di pegunungan Toraja. Baginya, Al-Qur’an bukan hanya untuk dikhotbahkan, tetapi untuk dihadirkan dalam setiap sikap dan percakapan, menjadikan kebaikan sebagai bahasa universal yang merangkul.
Tugas perdananya pasca dinikahkan, para ustadz menugaskan Ustadz Burhan ke Timika, sebuah penugasan yang ia sebut “di luar bayangan” dan menjadi ujian sesungguhnya bagi metode dakwah fardhiahnya.
Di sana, untuk membangun masjid dan perkampungan muslim serta mualaf, ia harus bernegosiasi langsung dengan kepala suku. Dengan bekal keyakinan bahwa seorang muslim pembawa nilai-nilai Al-Qur’an harus punya wibawa, ia memasuki ruang negosiasi.
“Spirit al-Qur’an dan ibadah inilah yang saya bawa dalam menjalankan tugas,” ujarnya, menggambarkan mentalitasnya yang didasari kekuatan spiritual.
Pendekatannya adalah dialog penuh hormat, bukan konfrontasi. Hasilnya di luar dugaan. Sang kepala suku justru mengatakan, “Sa (saya) lama tunggu saudara Muslim, datang ini?”
Kepala suku itu pun dengan mudahnya memberikan sebidang tanah. Keberhasilan ini adalah buah dari pendekatan personal yang melibatkan Allah. Dalam waktu singkat, masjid pun berdiri, diikuti pembangunan dua rumah bagi masyarakat Muslim setempat, menyalakan cahaya dakwah di wilayah timur Indonesia.
Keberhasilan dakwah fardhiah Ustadz Burhan tidak berhenti di Papua. Di Toraja, ia juga dengan lancar bertemu dengan seorang pendeta terkemuka.
Saat mendatangi pendeta untuk urusan sosial, ia disambut hangat. “Alhamdulillah… begitu mudah diterima, tidak dipersulit,” ujarnya usai pertemuan.
Yang menarik, pendeta tersebut justru menyambutnya dengan sikap terbuka, seolah telah lama menunggu kedatangan seorang dai Muslim. Prinsipnya sederhana, yaitu menawarkan kebaikan. “Kita menawarkan kebaikan, tidak mungkin orang menolak kebaikan,” tegasnya.
Filosofi ini ia terapkan dalam menolak ego sektoral. Bagi Ustadz Burhan, dakwah adalah tentang membangun jaringan kebaikan untuk semua, bukan menguasai. Bahkan, kepada seorang profesor yang ia kenal, ia dengan tulus menyarankan untuk mewakafkan tanahnya demi kepentingan yang lebih luas, meski itu tidak berada di wilayah tugasnya.
Pengalamannya di berbagai daerah mengajarkan bahwa pendekatan personal memiliki daya ungkit yang luar biasa dalam pengelolaan aset umat. Di Sidrap, ia berhasil menginisiasi wakaf tanah seluas 2 ha dari seorang warga. Di Makassar, ia berkomunikasi dengan pemilik ruko yang telah lama kosong. Bangunan di jalan poros BTP itu kini difungsikan untuk kantor dakwah dan Taman Kanak-kanak.
Melalui pendekatan persuasif, pemilik ruko tidak hanya merelakan propertinya digunakan sementara, tetapi akhirnya mewakafkannya secara permanen. “Ini bukan tentang saya, ini tentang bagaimana kita membangun kepercayaan melalui ketulusan,” ujarnya, menekankan bahwa di balik setiap donasi besar selalu ada sentuhan hati yang dibangun.
Pengalamannya di berbagai daerah mengajarkan bahwa pendekatan personal memiliki daya ungkit yang luar biasa.
Di Sidrap, ia berhasil menginisiasi wakaf tanah seluas 2 ha dari seorang warga.
Di Makassar, ia berkomukasi dengan pemilih ruko yang telah lama kosong, bangunan yang berada di jalan poros BTP itu kini difungsikan untuk kantor dakwah dan Taman Kanak –kanak. Melalui pendekatan persuasif yang membuat pemiliknya tidak hanya merelakan propertinya digunakan sementara, tetapi akhirnya mewakafkannya secara permanen.
“Ini bukan tentang saya, ini tentang bagaimana kita membangun kepercayaan melalui ketulusan,” ujarnya.
Setelah puluhan tahun blusukan, Ustadz Burhan kini mengabdi di Palopo. Dari perjalanan panjangnya, ia menyimpulkan satu kunci ketahanan, yaitu konsistensi pada Gerakan Nawafil (GNH). Seperti membaca Al-Quran, mendirikan sholat malam, wirid pagi sore dan malam, dakwah fardiyah, dan berinfaq.
“Itu saja. Ada nilai yang kita bisa amalkan konsisten di dalamnya,” ujarnya. Saat ibadah-ibadah sunnah ini dilakukan secara konsisten, ia merasakan bagaimana segala urusan dakwah di lapangan menjadi dimudahkan.
Namun, di balik kesuksesan dakwahnya, tersimpan keprihatinan mendalam tentang regenerasi. Dengan suara bergetar penuh haru, ia menyoroti nasib anak-anak kader yang perlu mendapat perhatian khusus. “Kita menaruh harap pada generasi dan anak-anak biologis sebagai pelanjut dakwah ini,” pesannya. Ia menggambarkan betapa ironisnya ketika para orang tua sibuk membina orang lain, sementara anak-belum maksimal di perhatikan.
Perjalanan dakwah Ustadz Burhan tidak selalu mulus. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya, menjadi cerita biasa dalam perjalanan pengabdiannya. Dari Timika ke Sentani, lalu ke Toraja, Sidrap, dan akhirnya menetap di Palopo. Setiap perpindahan adalah cerita baru tentang memulai dari nol, membangun jaringan dari awal, dan beradaptasi dengan budaya setempat.
Namun, semua tantangan itu tidak pernah menggerus keyakinannya. “Selalu mengoreksi diri, betulkah niat kita ini mau mengangkat agama ini atau ada interest lainnya?” ujarnya mengenai prinsip yang selalu dipegangnya. Evaluasi diri terhadap niat dan komitmen menjadi tameng baginya menghadapi segala rintangan. Baginya, yang membuatnya bertahan adalah keyakinan bahwa inilah jalan yang dapat menyelamatkannya dunia dan akhirat.
Ustadz Burhan adalah bukti hidup bahwa dakwah yang paling efektif seringkali lahir dari sentuhan personal. Dari ruang tamu kepala suku, kantor pendeta, hingga percakapan dengan akademisi, ia menghadirkan Islam yang ramah, penuh wibawa, dan relevan untuk semua. Dalam setiap langkahnya, ia tidak hanya membawa pesan Al-Qur’an, tetapi menjadikannya etika dalam berinteraksi.
Warisan terbesarnya bukan hanya masjid dan lembaga pendidikan yang berhasil dibangun, tetapi metode dakwah infiradi yang terbukti efektif merangkul semua kalangan. Sebuah legacy yang menunjukkan bahwa hati yang tersentuh oleh kebaikan personal, akan lebih mudah terbuka untuk menerima cahaya kebenaran. Di usia yang tak lagi muda, semangatnya untuk terus membangun negeri melalui pendekatan personal yang humanis tetap membara, menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk melanjutkan estafet dakwah yang penuh hikmah ini./*
Reporter: Bashori Shobirin



