Saturday, July 5, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikel"Terlalu Masya Allah untuk Dituliskan": Catatan Tiga Bulan Pengabdian di Sudu

“Terlalu Masya Allah untuk Dituliskan”: Catatan Tiga Bulan Pengabdian di Sudu

Sebuah catatan reflektif dari Siti Mardia, Mahasiswi Program Praktik Kerja Dakwah (PKD) STIS Hidayatullah Balikpapan, yang bertugas di Kampus Pesantren Hidayatullah Sudu, Enrekang.

Saya tidak pernah benar-benar tertarik ikut Program Kaderisasi Dakwah (PKD). Bahkan kalau boleh jujur, keinginan itu nyaris tidak ada. Tapi ketika sesuatu sudah menjadi kewajiban, pilihan pun tidak lagi relevan.

Maka saya berangkat, dengan hati yang masih menggenggam tanda tanya, menuju tempat yang hanya saya kenal dari cerita orang: Pondok Pesantren Hidayatullah Enrekang, Sudu.

Nama saya Siti Mardia, mahasiswi Hukum Keluarga dari STIS Balikpapan. Bersama seorang sahabat sealmamater, Khairunnisa asal Palu, kami ditugaskan ke Enrekang, Sulawesi Selatan, selama tiga bulan untuk mengabdikan diri melalui PKD. Sebuah pengabdian yang, belakangan saya sadari, bukan hanya menuntut fisik dan waktu, tapi juga hati dan keberanian menghadapi diri sendiri.

Sebelum berangkat, saya sempat mendengar cerita dari peserta PKD tahun lalu tentang kondisi pesantren ini. Gambaran kasar mulai terbentuk di kepala—tentang kehidupan santri, masyarakat sekitar, dan tantangan yang mungkin saya hadapi. Tapi tetap saja, teori tak pernah mampu sepenuhnya mempersiapkan kita untuk kenyataan.

Di pesantren ini, terdapat sekitar 94 santri mukim—68 putri dan 26 putra—dan sekitar 10 kepala keluarga yang tinggal di dalam kampus. Kampus ini dikenal dengan program unggulannya, yaitu tahfidz.

Saya dan Khairunnisa mencoba menyesuaikan diri secepat mungkin. Kami terjun langsung: mengontrol shalat dan kebersihan santri, menerima setoran hafalan, mengajar tahsin, hingga mengisi kelas mufrodat.

Selain itu, saya juga terlibat dalam menyusun dan menjalankan beberapa program utama seperti dauroh matan jazariyyah, tahsin, tahfidz, dan puncaknya adalah wisuda tahfidz.

Wisuda itu menjadi momen paling berkesan sekaligus paling menegangkan. Segala persiapan yang kami lakukan terasa seperti ujian akhir dari seluruh proses. Pada hari-H, saya nyaris menyerah. Bukan karena kurangnya semangat, tapi karena segala sesuatu yang tampak tidak berjalan sesuai rencana.

Namun alhamdulillah, acara tetap berjalan. Tidak sempurna, tapi cukup untuk membuat dada kami mengembang lega. Kami menyaksikan para santri berdiri dengan bangga di atas panggung kecil—hasil dari upaya panjang yang kami mulai dengan niat sederhana: membawa perubahan yang baik.

Salah satu kenangan paling manusiawi justru hadir di luar jam tugas. Saya masih ingat betul saat pengurus mengajak kami jalan-jalan melepas penat. Sebuah gestur kecil yang bermakna besar: pengakuan, penerimaan. Di situlah saya merasa mulai menjadi bagian dari mereka.

Tantangan terbesar selama PKD bukan datang dalam bentuk konflik atau perbedaan budaya—karena Alhamdulillah, saya tidak mengalami hambatan berarti. Justru tantangannya datang dari dalam diri sendiri.

Di tengah aktivitas dakwah dan pendidikan itu, saya tersadar betapa sedikitnya ilmu yang saya miliki, dan betapa besar kebutuhan cabang terhadap orang-orang yang benar-benar berilmu. Saya mulai melihat kekurangan diri sendiri tidak sebagai hambatan, tapi sebagai bahan bakar untuk belajar lebih sungguh-sungguh.

Interaksi dengan para santri, ustadz, hingga wali murid membuka mata saya akan keberagaman karakter manusia. Saya makin yakin bahwa Allah menciptakan manusia dengan sifat dan latar belakang yang beragam agar kita belajar untuk saling memahami.

Salah satu momen reflektif yang mendalam adalah ketika saya diminta membetulkan bacaan Al-Qur’an wali murid TK. Di situ saya benar-benar merasa: inilah makna dakwah yang sesungguhnya—menjadi manfaat, di mana pun, bagi siapa pun.

Pengalaman ini tidak serta-merta mengubah cita-cita saya, tapi jelas memperluas cara pandang saya terhadap dakwah. Jika dulu saya hanya berpikir jangka pendek, kini saya tahu bahwa dakwah bukan hanya soal berbicara di depan umum atau memimpin majelis ilmu.

Dakwah juga soal mengisi kekosongan, menjahit yang sobek, dan menjadi bagian dari wasilah menuju kebaikan-kebaikan.

Saya tidak merasa telah memberikan kontribusi besar di tempat tugas ini. Tapi setidaknya, saya mencoba menghadirkan niat baik. Para santri dan ustadz di sini, secara lahiriah, menerima kami dengan tangan terbuka. Dan walaupun saya tidak tahu bagaimana penilaian mereka yang terdalam, saya belajar untuk tidak berburuk sangka.

Jika diberi kesempatan mengikuti PKD lagi, saya ingin membawa sesuatu yang belum pernah ada di cabang tersebut. Saya ingin melengkapi apa yang belum kami lengkapi.

Untuk adik tingkat yang akan menyusul kami nanti, pesan saya sederhana: siapkan diri dengan ilmu, datanglah dengan keikhlasan, dan jadilah lebih baik dari kami.

Salah satu prinsip hidup yang semakin kuat dalam diri saya setelah PKD ini berasal dari sabda Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Kutipan ini bukan lagi sekadar kalimat indah di buku catatan, tapi pedoman nyata dalam bertindak.

Pengalaman PKD tiga bulan ini terlalu Masya Allah, sampai saya merasa tak mampu menuliskannya sepenuhnya. Tapi saya tahu, setiap lelah dan peluh yang tertinggal di tanah Enrekang adalah bagian dari jejak yang insya Allah dicatat langit.

(Siti Mardia, Mahasiswi PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, periode tugas Februari-April 2025)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments