Sebuah catatan reflektif dari Nurul Amani, Mahasiswi Program PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, yang bertugas di Kampus Pesantren Hidayatullah Bungadidi, Luwu Utara.
“Apa anti tidak capek, dek?” tanya salah satu ustadzah senior, malam itu, sambil menepuk pelan pundakku. Aku hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan. Padahal sejujurnya, tubuhku sudah terasa remuk. Tapi, entah mengapa, hatiku tetap ingin lanjut. Rasanya ada sesuatu yang harus terus aku kerjakan, meski tak pernah diminta. Mungkin inilah dakwah yang sesungguhnya—saat semua rasa lelah tak pernah cukup kuat untuk membuatku mundur.
Namaku Nurul Amani, berasal dari Bulukumba. Aku adalah mahasantri jurusan Hukum Keluarga di STIS Hidayatullah Balikpapan. Tiga bulan yang lalu, aku memulai perjalanan singkat tapi penuh makna dalam program Praktik Kerja Dakwah (PKD), yang membawaku ke sebuah tempat yang awalnya asing: Pesantren Hidayatullah Bungadidi, Sulawesi Selatan.
Keputusan mengikuti PKD bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Ada rasa penasaran yang tumbuh sejak lama terhadap cara berdakwah ala Hidayatullah—yang tak kenal henti, tak banyak sorotan, tapi nyata dalam geraknya. Aku ingin tahu, seperti apa rasanya terjun langsung, meski hanya di lingkup pesantren. Ada harapan yang kubawa saat itu: semoga apa yang sedikit-sedikit kami punya, bisa menjadi ladang dakwah untuk masa depan.
Namun, tak bisa kupungkiri, ada rasa was-was sebelum berangkat. Ilmu yang kupunya terasa belum cukup. Ekspektasi terhadap lokasi juga bercampur dengan ketakutan kecil—takut tak mampu, takut tak berguna.
Sesampainya di Bungadidi, kenyataan segera menyambutku. Pesantren ini kecil secara jumlah, hanya tiga warga mukim dan sekitar 35 santri putri, dan 10 santri putra cilik. Namun semangat mereka luar biasa. Fokus utama mereka adalah tahfizh, terutama untuk usia sekolah menengah. Yang lebih mengejutkan, tempat belajar santri masih sangat sederhana—bahkan kadang masih seperti “belajar di alam”.
Hari-hariku di sana penuh warna. Aku mengajar, mengasuh santri, menjadi panitia dauroh Qur’an, bahkan terlibat dalam taklim dan bimbingan tahfizh. Tapi peran yang paling sering kujalani adalah sebagai pengajar bahasa. Dan dari situlah, aku banyak belajar—lebih dari yang pernah diajarkan di ruang kelas manapun.
Mengajar ternyata bukan hanya soal menyampaikan materi. Itu tentang memahami karakter, membaca situasi, dan menciptakan rasa nyaman. Santri-santri itu, meski masih muda, punya jiwa yang lembut. Tapi tetap, mereka butuh pendekatan. Butuh cerita-cerita. Butuh guru yang percaya diri berdiri di depan mereka—meski kadang, akulah yang sebenarnya gemetar.
Tantangan terbesarku adalah menjaga ritme selama 24 jam. Menjadi pengasuh berarti harus siap menegur, bahkan tengah malam sekali pun. Tapi dari situ aku belajar bahwa dakwah bukan hanya di mimbar, tapi dalam tindakan paling kecil, seperti memastikan santri tidur dengan tertib, atau menegur mereka dengan lembut tapi tegas.
Tak ada momen yang benar-benar membuatku ingin menyerah. Mungkin karena sejak awal aku sudah menanamkan satu prinsip: “jangan mudah menyerah selama berdakwah di jalan Allah.” Dan aku bersyukur, itu bukan sekadar kalimat indah—itu jadi pegangan yang nyata, terutama saat badan lelah tapi harus tetap tersenyum.
Yang paling berkesan? Tentu saja saat mengajar. Bukan karena aku hebat, justru karena saat itulah aku menyadari betapa banyak yang belum aku tahu. Di sana, ketika aku berdiri sebagai guru, aku justru merasa menjadi murid yang sesungguhnya. Ada momen ketika aku merasa: inilah makna dakwah yang sebenarnya—saat aku menjalankan tugas yang sebetulnya di luar kompetensiku, hanya karena tidak ada yang bisa menggantikan.
Interaksi dengan santri dan para ustadz membuatku sadar satu hal yang sangat penting: sopan santun terhadap yang lebih tua. Sebuah nilai yang tampak sederhana, tapi mulai langka di luar sana. Di sini, hal itu menjadi napas keseharian.
Masyarakat di sekitar Bungadidi sangat terbuka. Bahkan pengurus pesantren—ustadz Alauddin Subandi sebagai ketua yayasan, dan ustadz Aswan Husain sebagai sekretaris—selalu mendukung penuh kehadiran kami. Mereka bukan hanya membimbing, tapi juga mempercayai kami. Itu membuatku merasa benar-benar menjadi bagian dari pesantren ini. Bahkan para santri sempat bilang mereka berharap kami kembali lagi. Sebuah kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hati ini hangat berhari-hari.
Namun tak bisa kupungkiri, aku berharap ada peningkatan di tempat ini. Misalnya, semoga ke depan bisa dibangun sekolah formal untuk jenjang SMP dan SMA. Dengan begitu, para santri tak perlu lagi mencari pendidikan umum ke tempat lain.
Pengalaman PKD ini begitu memengaruhi cara pandangku terhadap dakwah. Ternyata teori yang kami pelajari di kampus cukup relevan, tapi tetap saja praktik di lapangan jauh lebih kompleks dan menuntut improvisasi. Tapi dari situ jugalah aku belajar bahwa dalam dakwah, kita harus “tahu meski tidak tahu”—karena kadang, keadaan tak menunggu kesiapan kita.
Jika ditanya, apakah aku ingin ikut PKD lagi? Jawabanku mungkin akan mengejutkan: tidak. Tapi bukan karena aku tidak suka. Justru karena waktu tiga bulan terasa terlalu singkat. Kalau bisa memilih, aku ingin waktu yang lebih lama. Karena di sanalah aku menemukan versi diriku yang lebih jernih—yang lebih kuat, yang lebih ikhlas.
Kepada adik tingkatku nanti yang akan menjalani PKD, aku hanya ingin berpesan: siaplah, apapun yang terjadi. Karena medan dakwah tak selalu sesuai rencana. Tapi jika kau siap, maka semua akan terasa lebih ringan.
Pengalaman ini juga menegaskan kembali arah hidupku. Dakwah bukan lagi sekadar pilihan, tapi jalan yang harus aku jalani dengan kesungguhan. Suatu saat nanti, aku ingin menulis kisah khusus tentang PKD ini, agar orang-orang tahu: betapa banyak yang bisa kita temukan saat kita terjun langsung, bukan hanya membaca dari buku atau mendengar dari dosen.
Satu nasihat dari guruku selalu terngiang hingga hari ini: Tetap sabar, dan taat. Dua kata yang singkat, tapi menjadi pijakan sepanjang jalan. Dan kini, ketika aku menengok ke belakang, aku hanya ingin berkata:
“PKD ini bukan sekadar tugas kampus. Ini adalah episode hidup yang akan selalu aku kenang—karena di sanalah aku belajar, bukan hanya cara mengajar, tapi juga cara mencintai jalan dakwah.”
(Nurul Amani, Mahasiswi PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, periode tugas Februari-April 2025)