Sebuah catatan reflektif dari Najmatun Jihadiyah, Mahasiswi Program PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, yang bertugas di Kampus Pesantren Hidayatullah Bungadidi, Luwu Utara.
Ada kalimat yang diam-diam terus tinggal di benakku hingga kini: “Rindu yang lupa dijemput.” Itulah yang kurasakan terhadap tiga bulan masa PKD-ku di Pesantren Hidayatullah Bungadidi. Aneh, bukan? Rindu, tapi tak pernah betul-betul pamit. Seolah sebagian hatiku masih tertinggal di sana, di tengah kesederhanaan yang justru membuatku merasa penuh.
Aku Najmatun Jihadiyyah, dari Sangatta, Kalimantan Timur. Di STIS Balikpapan, aku menempuh pendidikan di Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah. PKD tahun ini membawaku ke Yayasan Al-Azhar Pondok Pesantren Hidayatullah Bungadidi, di Sulawesi Selatan. Amanah ini kujalani bersama rekan satu almamaterku, Nurul Amani—sosok yang menjadi teman seperjuangan dan tempat berbagi di tengah segala keterbatasan.
Keikutsertaanku dalam program ini bukan karena tuntutan akademik semata. Sejak awal, niatku sederhana: ingin berbagi ilmu yang selama ini kuterima di bangku kuliah. Aku hanya ingin mengajar—mengajar, dan terus mengajar. Kupikir, dengan mengajar, aku bisa memberi. Tapi ternyata, aku lebih banyak menerima.
Bayanganku tentang tempat tugas ini begitu idealis: santri dengan hafalan yang luar biasa banyaknya, disiplin tinggi, dan penuh semangat. Kenyataannya? Jauh dari bayangan, tapi justru di situlah pelajarannya.
Hari-hari kami dipenuhi aktivitas padat: mengisi daurah Qur’an, mengajar tahsin, imla’, tajwid, bahkan memperkenalkan mufrodats—kosakata dasar bahasa Arab. Aku terlibat penuh dalam program diniyah dan penguatan bacaan Qur’an. Tapi satu hal yang tak mudah kulalui adalah mengubah pola ucapan keseharian santri. Mereka terbiasa dengan dialek khas daerah yang sangat kuat. Untuk sekadar mengucapkan “alif ba ta” dengan makhraj yang benar, butuh lebih dari sekadar pengulangan. Butuh kesabaran, ketelatenan, dan pendekatan yang lembut.
Aku belajar satu hal yang sangat berharga: bahwa setiap manusia punya sifat, kebiasaan, dan latar belakang yang harus kita pahami sebelum kita menyentuh hati mereka. Bukan sekadar memberi materi, tapi membangun hubungan. Dan kadang, kita harus “ikut saja alurnya,” seperti air yang mencari celah, bukan memaksa arusnya sendiri.
Santri-santri di Bungadidi cepat bosan dengan metode pembelajaran yang monoton. Mereka butuh variasi. Aku pun ditantang untuk kreatif: mengubah metode, menyisipkan cerita, memberi motivasi. Setiap harinya menjadi ruang eksperimen yang melelahkan, tapi sangat bermakna. Terkadang, keberhasilan kecil seperti satu anak yang akhirnya bisa membaca dengan tartil, terasa lebih membanggakan dari nilai A dalam transkrip akademik.
Selama tiga bulan itu, satu-satunya tantangan bukan pada fisik atau spiritual—tapi sifat “tidak enakan” dalam diriku sendiri. Rasanya berat sekali menegur atau menyampaikan ketidaksesuaian. Tapi justru dari situ, aku belajar tentang keberanian dan keikhlasan. Bahwa untuk bisa bermanfaat, kita kadang harus belajar menjadi tegas.
Santri dan warga kampus—jumlahnya tak lebih dari tiga keluarga mukim dan 40-an santri—menyambut kami dengan hangat. Mereka antusias terhadap setiap program yang kami inisiasi. Dan dari ustadz-ustadzah pun kami menerima banyak masukan. Salah satu hal penting yang sering kami dengar adalah perlunya menekankan lagi program tahsin dan bahasa Arab. Sebab pondok ini punya potensi besar, namun masih perlu penguatan program dan promosi yang lebih luas.
Kalau ditanya kontribusi apa yang kuberikan? Mungkin tak besar. Tapi aku mencoba hadir sepenuhnya—dengan ilmu, dengan waktu, dengan tenaga. Karena kurasa, itu yang paling dibutuhkan di tempat ini: keterlibatan yang utuh, bukan sekadar hadir fisik.
Ada satu momen yang mengubah pandanganku tentang dakwah. Saat aku berbincang dengan salah satu tenaga pengajar setempat. Ia bercerita tentang perjuangan mengajar tanpa latar akademik yang mumpuni, namun dengan niat yang lurus. Di sana aku sadar, bahwa dakwah bukan milik mereka yang bergelar tinggi, tapi milik siapa saja yang ingin memberi. Bahkan ketika harus memulai dari nol.
Realitas di lapangan begitu kontras dengan teori di kelas. Ilmu yang kami bawa sangat bermanfaat, tapi tetap saja—ketertinggalan yang ada membuat semuanya harus dimulai dari paling dasar. Dan satu hal yang membuatku miris adalah persoalan kebersihan lingkungan sekitar. Hal kecil, tapi cukup mencerminkan betapa banyak aspek yang masih perlu dibenahi.
Meski begitu, justru setelah Ramadhan, aku merasa benar-benar menjadi bagian dari pesantren ini. Ada rasa kepemilikan, rasa bahwa ini bukan hanya tempat tugas, tapi rumah kedua. Dari sana pula, cita-citaku tentang arah dakwah ke depan mulai terbentuk lebih jelas. Aku ingin terus terlibat di bidang pendidikan. Aku ingin melihat anak-anak daerah seperti mereka bisa belajar lebih baik, lebih layak.
Jika diberi kesempatan untuk PKD lagi, aku akan membawa lebih banyak: lebih banyak ilmu, lebih banyak waktu, lebih banyak cinta. Dan kepada adik-adik tingkatku nanti, pesanku sederhana: hilangkan semua prasangka negatif. Tempat yang akan kau datangi bisa saja menjadi jalanmu menuju surga.
Kepada kampus almamater tecinta, aku hanya ingin berkata: semoga semua ilmu yang ditanamkan kepada kami bisa kami sebarkan kembali. Dan untuk tempat tugas seperti Bungadidi, mungkin perlu pembinaan yang lebih intensif dari sisi manajemen dan jati diri pondok.
Dan akhirnya, ketika pertama kali mataku memandang lokasi tugas, tanpa sadar aku bergumam dalam hati: “Inilah makna dakwah.” Tak mewah, tak nyaman, tapi justru di situlah keberkahan itu tumbuh. Dakwah bukan tentang banyaknya yang kita bawa, tapi tentang keberanian untuk mulai—dan bertahan.
Begitu banyak kenangan yang tersimpan. Tapi kalau harus memilih satu kalimat untuk mengenang masa PKD ini, aku akan katakan: “Ini adalah rindu yang lupa dijemput.”
(Najmatun Jihadiyah, Mahasiswi PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, periode tugas Februari-April 2025)