Saturday, July 5, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelSetipis Tisu, Setegar Batu: Catatan Dari Dua Bulan Sepuluh Hari di PTC...

Setipis Tisu, Setegar Batu: Catatan Dari Dua Bulan Sepuluh Hari di PTC Auladi

Sebuah catatan reflektif dari Miftakhul Jannah, Mahasiswi Program Praktik Kerja Dakwah (PKD) STIS Hidayatullah Balikpapan, yang bertugas di Kampus Pesantren Tahfizh Cilik Auladi, Jeneponto.

Bayangkan kesabaranmu hanya setipis tisu. Lalu, hari-harimu diisi oleh tawa, tangis, rengekan, dan pertanyaan dari anak-anak usia 6–12 tahun, selama 24 jam tanpa jeda. Itulah realitas saya selama dua bulan sepuluh hari menjadi pengasuh di Pondok Tahfidz Cilik (PTC) Yayasan Auladi Jeneponto.

Ini bukan sekadar tugas PKD. Ini adalah ujian kesabaran dan pelajaran tentang keteladanan serta cinta yang tak bisa diajarkan lewat teori.

Saya dan Fatma Fatimah, rekan satu almamater di STIS Hidayatullah Balikpapan, awalnya tak pernah menyangka PKD akan menjadi perjalanan paling sunyi namun begitu dalam.

Berbekal SK yang dibacakan pada Februari 2025 lalu, kami berangkat ke Dusun Bulu-Bulu, Desa Pallantikang, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto—tempat yang sebelumnya hanya kami tahu lewat briefing.

Saya berharap kami bisa memberi manfaat, diterima hangat, dan meninggalkan kesan baik bagi para santri. Namun ternyata, saya justru lebih banyak belajar: tentang menerima, memahami, dan berserah—bukan pada keadaan, tapi kepada Allah yang Maha Mengatur segalanya, termasuk jatuh-bangun emosi seorang pengasuh.

Di Auladi, kami bertugas di dua unit utama: PTC dan PTM (Pendidikan Takhassus Murobbiyah). Setiap hari dimulai sejak ba’da subuh: mengajar bahasa Arab, mendampingi tasmi’ dan tadarrus one day one juz.

Saya juga menjadi pengasuh asrama Al-Fatih, musyrifah level 3, bahkan menyampaikan ceramah selama Ramadhan serta mengikuti halaqah Sabtu bersama para ummahat.

Tapi amanah paling menantang adalah menjadi pengasuh. Tidak ada istilah “libur emosi” di asrama. Bangunkan anak-anak untuk sholat tahajjud adalah ujian pertama dari banyaknya perjuangan batin.

Bayangkan anak enam tahun terbangun dini hari, menangis, sembunyi di balik lemari, atau pindah-pindah kasur demi kembali tidur. Di situ saya paham: dakwah bukan soal ceramah, tapi tentang hadir dan sabar—setiap hari, tanpa jeda. Saya tak boleh menyerah, meski tubuh sudah kelelahan.

Menjadi pengasuh anak laki-laki usia 6–12 tahun selama hampir tiga bulan bukan tugas biasa; ini perjalanan ruhani. Mulai dari membangunkan mereka, mengusap air mata karena rindu rumah, menyisir rambut agar rapi, hingga menguatkan mereka menghafal Al-Qur’an—semua itu berat tapi bermakna.

Saya pun jatuh sakit—cacar air menjelang wisuda Daurah. Saat itu, beberapa santri juga sakit, dan saya tetap merawat mereka. Hingga akhirnya saya sendiri tumbang. Tapi saya percaya, itu cara Allah memberi jeda. Saya diam, merenung, lalu bangkit.

Yang paling membekas dari pengalaman ini adalah pentingnya keteladanan. Di hadapan anak-anak, kita tak bisa hanya memerintah; kita harus menjadi contoh. Ketika kita menyeru mereka ke masjid, kita harus sudah ada di sana. Mereka akan jujur berkata, “Suruh kita jamaah, pengasuhnya sendiri tidak.” Itu kritik paling tajam—dan paling jujur.

Dari PTC, saya belajar bahwa menjadi pengasuh bukan soal kesempurnaan, tapi soal tumbuh bersama. Menahan ego, mendengar, memberi ruang untuk mereka bicara, lalu perlahan membimbing.

Setiap hari menguji emosi dan mental. Saya belajar mengambil jeda, berdiskusi dengan ustadzah, dan selalu kembali kepada Allah. Saya menyadari, dakwah bukan soal bicara di mimbar, tapi tentang hadir dalam lelah, menundukkan ego, dan bersabar dalam interaksi sehari-hari.

Budaya yang berbeda, bahasa yang asing, dan gaya hidup yang baru—semua itu menjadi tantangan sekaligus cermin diri. Saya belajar menyesuaikan, mengamati, dan beradaptasi. Hingga akhirnya, saya merasa menjadi bagian dari keluarga Auladi.

Kami disambut hangat oleh para ustadz dan ustadzah, warga yang ramah, dan santri yang mulai terbuka. Ketika seorang anak memeluk dan berkata, “Kak, jangan cepat pulang,” saya tahu, saya sedang berada di jalan yang benar.

Pesan seorang guru yang selalu saya ingat: “Kita yang berjalan di jalan dakwah ini sedang menuju hidayah Allah. Sejauh mana kita terpanggil, sebesar itu pula kemuliaan yang akan kita dapat.”

Dari situ saya sadar, ini bukan tentang rutinitas atau hafalan. Ini tentang masa depan umat.

Saya mungkin tak mengingat tanggal-tanggal atau jumlah kegiatan. Tapi saya akan selalu ingat rasa: menahan emosi, menenangkan anak sakit, dan bersyukur ketika sabar yang setipis tisu berubah jadi sekuat batu—karena Allah.

Dua bulan sepuluh hari terasa singkat, tapi cukup untuk menanam tekad bahwa suatu hari saya ingin kembali—bukan sebagai mahasiswi PKD, tapi sebagai dai’yah yang lebih matang.

Untuk adik-adik yang akan menjalani PKD: siapkan diri, bukan hanya dengan hafalan dan teori, tapi dengan hati yang lapang dan jiwa yang siap diuji. Karena ketika lelah sudah tak tertahankan, hanya Allah yang akan menjadi alasanmu bertahan. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Jeneponto menyambut kami hangat. Para ustadzah memberi arahan lembut, warga terbuka, dan kami merasa menjadi bagian dari impian besar Auladi: mencetak penghafal Qur’an dan calon murobbiyah masa depan.

Meski begitu, saya melihat perlunya penguatan kurikulum dan SDM kepengasuhan. Harapannya, yayasan ini terus berkembang sebagai pusat kaderisasi dakwah yang unggul.

Untuk kampus saya, semoga STIS Hidayatullah terus melahirkan dai dan dai’yah tangguh, dengan kurikulum yang tidak hanya ilmiah tapi relevan dengan realitas lapangan.

Jika diberi kesempatan lagi, saya ingin lebih banyak memberi. Bukan hanya secara fisik, tapi juga ruhani dan intelektual.

(Miftahul Jannah, Mahasiswi PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, periode tugas Februari-April 2025)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments