Oleh : Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel
HidayatullahSulsel.com — Tidak ekstrim, tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan sesuatu yang penting. Penuh kelemah-lembutan, penuh kesabaran, dan yakin pada Allah akan berhasil. Itulah pesona karakteristik dari akhlaq dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Hal tersebut tergambar dari kisah yang sangat bermakna antara perangai tak senonoh dari seorang Arab Badui dengan sikap washatiyahnya Rasulullah SAW
“Pada zaman Rasulullah, ada seorang A’raby (Arab Badui) yang datang ke masjid lalu buang air kecil di hadapan para sahabat. Saat itu, para sahabat marah, tapi dicegah Rasulullah,”
“Rasulullah membiarkan orang itu buang air hingga selesai. Setelah itu, A’raby itu dipanggil dan diberi nasihat bahwa tempat ini adalah rumah Allah, tempat yang suci sehingga tidak boleh buang najis,” lanjutnya.
Bukannya dimarahi, kata Syekh Shaleh, Arab Badui itu justru diberi nasihat dengan baik oleh Rasulullah. Semantara para sahabat yang melihat diminta untuk membersihkan tempat yang terkena najis dengan air hingga suci kembali.
Mendengar nasihat Rasulullah, Arab Baui itu lalu berdoa. Dia memohon agar Allah memberikan rahmat kepada dirinya dan Nabi Muhammad SAW.
Kisah tersebut diceramahkan oleh Imam Masjidil Haram Syekh Shaleh Abdullah bin Humaid di Masjid Istiqlal, 4 Mei 2018 (laman Kemenag RI)
Dari kisah tersebut dapat diambil hikmah, bahwa Idealnya hukum Islam dibuat untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban, yang diwujudkan ketika dilaksanakan dengan konsekwen. Namun dengan prinsip washatitayah, memberikan keringanan kepada umat Muhammad dalam pelaksanaannya.
Dalam kondisi normal, seseorang dituntut melaksanakan ibadah sebaik mungkin. Namun dalam keadaan tertentu seperti disaat jatuh sakit dan bepergian, Islam memberikan rukhsah (رخُص). yaitu keringanan dan kemudahan dalam menunaikan ibadah karena sebab tertentu
Washatiyah Proporsional
Prinsip hidup ber-washatitayah sangat mulia dan solusi dalam menyelesaikan problematika umat saat ini. Dapat menjadi penengah antara sikap ekstrim yang berlebih-lebihan dalam memaknai dan menjalankan ajaran Islam dengan sikap meremehkan dan bermalas-malasan.
Semangat gerakan washatiyah seperti yang berkembang saat ini, tidak hanya sebagai ‘alat peredam’ terhadap pemahaman ekstrim. Dari semangat ber-Islam berlebihan disegelintir umat, menjadi gerakan tarbiyah dan dakwah. Sebagai upaya untuk mengembaliki pemahaman Islam yang benar dan tepat.
Alangkah indahnya cara berpikir kita tentang makna washatiyah, ketika kita memahami dengan benar apa arti washatiyah itu. Seperti pada surah al-Baqarah [2] ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
Arti washatiyah pada ayat di atas antara lain berarti “adil, ahyar (pillihan)” [Tafsir al-Qurtubi)2/144) dan “pillihan dan yang terbaik” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/455).
Oleh karenanya, hendaknya kita tidak memahaman arti washatiyah secara serampangan, yang membuat jauh dari makna yang sebenarnya.
Berdasarkan pengertian washatiyahdi atas pula, menunjukkan bahwa ber-Islam secara washatiyah bermakna dia berlaku ‘adil’ dalam memposisikan dirinya sebagai muslim.
Yang secara optimal memiliki sifat tunduk dan taat pada Allah, serta menjalankan sunnah Nabi dengan penuh semangat. Tentulah dalam batas kewajaran dan kemampuan seseorang.
Bersikap washatiyah yang proporsional, mengantarkan seseorang menjadi hamba ‘pilihan dan pilihan terbaik’ (ishthafai na min ‘ibaadina). Memilih jalan pertengahan, yakni hamba yang senantiasa penuh semangat beribadah namun tidak berlebih-lebihan melakukannya.
Washatiyah sebagai Jatidiri
Sebagaimana uraian sebelumnya yang memaknai washatiyah sebagai sikap pertengahan, adil dan pilihan terbaik atau mulia. Maka kita bisa mendapat makna.mendalam bahwa inilah pola hidup yang ‘berkeseimbangan’ baik secara fikro maupun mentalitas.
Orang yang memiliki hidup yang berkeseimbangan (aquanimous).adalah tidak mudah puas diri, sombong ketika mendapatkan kesuksesan dan kesenangan. Dan juga tidak mudah tertekan dan prustasi ketika mendapatkan kesusahan ataupun kegagalan.
Prinsip hidup berkeseimbangan dapat juga difahami sebagai gambaran hidup berpasang-pasangan. Prinsip ini sangat pentng dan mendasar dalam karakter pribadi muslim. Karena Allah sendiri telah menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Allah berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).(Adz+Dzariyat:49)
Atas prinsip washatiyah inilah yang oleh Hidayatullah sebagai Badan Perkumpulan, dijadikannya washatiyah sebagai ‘Jati Diri’ umat Islam. Jati diri !dengan program mainstream tarbiyah dan dakwah yang dijalankan selama in
Sebuah pemahaman bahwa ber-Islam dengan prinsip washatiyah adalah pola hidup ber-Islam yang paling tepat. Baik dalam pembinaan fikro, sikap mental dan keseimbangan hidup pribadi muslim ataupun sebagai prinsip hidup sosial ditengah kemajemukan masyarakat. dalam berbangsa dan beragama.
Hidup berkeseimbangan dari pemaknaan washatiyah, juga adalah solusi tepat yang dapat diterapkan dalam memecahkan problematika umat dan bangsa. Problem solving yang tepat, mempersamakan kesenjangan pola pandang, persepsi menjadi hidup yang berkeadilan.
Lebih dari itu ber-Islam dengan prinsip washatiyah adalah bentuk penapaktilasan pada perjalanan Rasulullah dan sahabatnya sebagai kurin (zaman) terbaik dalam gerakan tarbiyah dan dakwah.
Washatiyah dijadikan sebagai Jati Diri adalah sebuah upaya maksimal menjalankan sunnah Rasulullah dalam berdakwah. Menuju terbangunnya Peradaban Islam dalam kehidupan kita, mulai dari rumah tangga, lingkungan masyarakat hingga dilehidupan berbangsa dan beragama.
Wallahu A’lam Bishshowaf. (*)