Oleh : Drs Ust Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel
HidayatullahSulsel.com — Kesempurnaan penciptaan alam ini mengajarkan kita sebagai manusia untuk senantiasa bergerak. Sehingga sebisa mungkin kita harus tetap bergerak. Tidak boleh menganggur, tidak boleh diam, tidak boleh menyerah.
Hakekat kehidupan adalah terus bergerak dan bergerak. Gerak dan perubahan adalah syarat tetap bisa diterimanya kita sebagai manusia yang senantiasa bermanfaat.
Gerak dan terus bergerak menjadi pemandangan menakjubkan saat menyaksikan dan lebih lagi merasakannya di Baitullah. Merasa diundang oleh Allah dan berkumpulah ribuan hingga jutaan manusia dari berbagai perjuru dunia.
Dalam perbedaan dari segi bahasa, bangsa, warna kulit, fisik dan karakter menyatu bergerak bersama mengelilingi Ka’bah dengan satu tujuan, beribadah kepada Allah dalam putaran ibadah tawaf.
Magnit spritual yang Menggelorakan
Pemaknaan putaran tawaf tidak sebagaimana pergerakan manusia umumnya. Karena tawaf adalah bagian dari pergerakan ibadah dalam rukun Haji dan Umroh.
Maka tawaf memiliki pemaknaan perputaran dalam pusaran Ka’bah, dalam fungsi sebagai arah garis lurus rukuk sujutnya (kiblat) umat Islam dari berbagai arah penjuru dunia
Kiblat dalam pusaran gerakan tawaf itu dimaknai sebagai titik fokus kekuatan spritual, kesatuan tauhid serta penghambaan manusia kepadaNya. Titik pusaran itulah yang memiliki magnet power besar yang mampu menarik emosi pecinta dan perindu surga.
Magnit itu tambah semakin kuat menyedot gelora jiwa dan batin tatkala telah melihat langsung dengan pandangan wujud nyata di hadapannya. Labbaillahumma laka labbaik, yas Allah ya Rabbi Tihan kami, kami telah memenuhi panggilanMu.
Terucap secara spontan kesadaran kehambaan. ‘segala kesyukurun dan segala puji padaMu Tuhan pengatur semesta Alam”.
Semakin bergetar jiwa, semakin berderai air mata. Sesak napas bahagia bergemuruh dalam diri. Betapa bangunan monumenal yang hanya terlihat dalam gambar, kini nampak di depan mata.
Bergerak dalam Pusaran Inti
Saat mulai bergerak berputar mengelilingi Ka’bah, terasa rindu dan cinta padaNya semakin memuncak. Dari lubuk kesadaran hakiki, semakin membangkitkan keyakinan yang kuat dan nyata, bahwa Allah itu kongkrit kebesaran dan kasih sayangNya. Labbaika laa syarika laka.labbaik, telah kupenuhi panggilanMu tiada syarikat bagimu.
Dalam putaran (tawaf), berdzikir dan memandang langsung Ka’bah (Baitullah). Saat tiba pada titik.yang menggetarkan gelora keimanan di sudut Ka’bah, dimana Hajar Aswad (batu hitam) terletakkan.
Semua mata jamaah tawaf memandang kearah batu itu, sambil membaca takbir, tasbih, tahmid dan pengakuan ke-Esaan Allah. Kepingin rasanya menggapainya tapi apa daya diri tak mampu.
Betapa titik fokus pada batu itu tidak hanya sebagai titik awal dan akhir ibadah tawaf. Tapi telah menjadi arus gerakan besar menjadi arus pusaran energi penghambaan manusia.kepda Rabnya yang sangat kuat dan terdahsyad.
Nampaklah suasana yang sangat mengharukan dan menakjubkan oleh mujahadah para ahlu ibadah Umroh dan Haji. Khususnya jamaah yang datang jauh-jauh dari tanah suci, datang dengan memburu target penomenal yang tidak semua sanggup melakukannya, mencium Hajar Aswad
Dahsyadnya energi batu itu membuat terjadi pergumulan di depan batu itu. Saling berebut, saling sikut, saling dorong. Badan kejepit, terdorong, terlempar kesana lemari, bahkan beresiko terinjak-injak, tak menyiutkan nyali untuk menggapainya.
Justru kengerian tantangan ternyata memicu andrenalin bagi yang bernyali tinggi, melakukan segala cara dan metode untuk menggapai target itu. Target yang mungkin ingin dicapai oleh seluruh jamaah yang beribadah ke Baitullah, ataupun umat Islam umumnya.
Keinginan yang tak Surut
Sepertinya belum lengkap rasanya ke baitullah kalau belum sempat mencium Hajar Aswad. Batu yang oleh Rasulullah sebagai batu yang turun dari surga.
Untunglah Rasulullah sangat bijak memahami konsisi yang akan terjadi pada umatnya sesudahnya. Dimana saat tawaf melewati garis Hajar Aswad tak mesti mencium bagi yang tak sanggup, cukup lambaian tangan dan dzikir tertentu sudah sama kemuliaannya dengan menciumnya.
Tanpa rasa penyesalan terucap doa ketika tawaf wada’ (tawaf perpisahan), semoga Allah Ta’ala mengabulkan agar beberapa saat ke depan dapat kembali ke Baitullah. Beribadah khusu’ d idepan Ka’bah, tak terkecuali berkesempatan dapat mencium Hajar Aswas. Amiin.
Wallahu A’lam Bishshowaf. (*)