Semakin me-nol-kan diri bukan berarti seseorang semakin tidak berarti. Justru, ia semakin menjadi hebat. Karena ia membuka ruang dalam dirinya untuk terus belajar, bertumbuh, dan menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermakna.
Me-nol-kan diri dapat dimaknai sebagai proses kembalinya seseorang ke titik bening—yaitu kembali ke fitrah diri, kesucian, dan kesadaran diri yang lebih murni.
Pencapaian itu akan lebih mudah dengan ilmu yang luas. Lebih banyak belajar, lebih banyak membaca. Dan membaca yang paling tepat adalah dengan metode “iqra’ bismi rabbik”—membaca atas nama Tuhan.
Sebuah metode yang dituntunkan oleh Jibril kepada Muhammad, untuk mengantarnya kepada kesadaran kefitrahan, kesadaran ketauhidan kepada Rabb, Sang Maha Penguasa, Pemilik segala ke-Agungan.
Membaca yang dimaksud adalah membaca dengan cara dan pada apa yang Allah kehendaki. Membaca terhadap segala ke-Maha-Kuasaan Allah sebagai Pencipta, atas ketidakberdayaan manusia sebagai makhluk-Nya.
Kesadaran membaca hanya bisa lahir dari kesadaran akan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan diri. Kesadaran bahwa diri ini tak memiliki banyak ilmu. Kesadaran bahwa segala kepunyaan yang melekat pada dirinya adalah karena pemberian-Nya.
Sekalipun seseorang memiliki banyak sesuatu, itu ada karena kehendak, kemurahan, serta kasih sayang-Nya.
Dengan “iqra’ bismi rabbik”, akan semakin banyak mengantar kesadaran diri kepada titik nol. Proses pengosongan diri, yang membuat diri untuk menjadi lebih bermakna. Semakin kosong, semakin luas ruang dalam jiwa. Semakin tidak merasa memiliki apa-apa, semakin ia mampu menerima apa saja dari-Nya.
Titik nol bukanlah kehampaan yang menyesakkan, melainkan kekosongan yang menenteramkan. Di sana, tidak ada lagi kesombongan, tidak ada lagi keangkuhan, tidak ada lagi pembesaran atas diri sendiri. Yang ada hanyalah kejujuran, kerendahan hati, dan pengakuan yang penuh akan kelemahan dan keterbatasan.
Dan dari titik itulah, seseorang bisa memulai ulang hidupnya dengan lebih jernih. Melangkah dengan lebih ringan. Melihat segala sesuatu dengan kacamata yang baru—kacamata tauhid, yang membuat segala urusan terasa lebih lapang, lebih tenang, dan lebih tertuju kepada satu tujuan: mencari ridha-Nya.
Karena sesungguhnya, kemuliaan yang sejati bukan terletak pada seberapa tinggi kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi sejauh mana ia merendahkan dirinya di hadapan Tuhannya. Bukan pada seberapa banyak yang dimiliki, tetapi seberapa sadar bahwa semua itu hanyalah titipan yang bisa diambil kapan saja.
Maka, me-nol-kan diri bukan berarti menghapus jati diri, tapi justru menemukan jati diri yang sejati. Menjadi hamba yang sadar diri. Dan dari sana, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang merdeka—dari hawa nafsu, dari rasa memiliki, dari beban ingin dilihat dan diakui.
Dan siapa yang mencapai titik tersebut, maka dia telah memulai langkah menuju kemuliaan yang hakiki. Sebuah titik, yang membuat dia justru menjadi penuh.