HidayatullahSulsel.com — Pada BAB III Pasal 5 Pedoman Dasar Organisasi, tercantum dengan jelas, bahwa Visi Hidayatullah adalah membangun Peradaban Islam. Adapun definisi peradaban yang dimaksud dalam visi tersebut, adalah manifestasi iman dalam setiap aspek kehidupan.
Refleksi iman yang meliputi seluruh bentuk aktivitas inilah yang dimaksudkan oleh Allah pada surat Al-Baqarah ayat 208, dimana setiap orang beriman dituntut untuk tunduk dan patuh secara totalitas terhadap setiap aturan yang Allah telah tetà pkan.
Berislam secara kaaffah, sebagaimana yang Allah firmankan pada ayat di atas, adalah sebuah kewajiban setiap individu, yang tidak bisa ditawar-tawar, karenanya, segala hal yang menjadi syarat untuk mewujudkannya, otomatis menjadi wajib dengan sendirinya.
Lewat perenungan yang mendalam, setelah melahap sekian banyak referensi yang bisa menjadi rujukan, akhirnya Ust. Abdullah Said, menyimpulkan, bahwa upaya untuk mewujudkan Islam Kaaffah, mutlak adanya dukungan lingkungan atau sebuah kawasan yang memang didesain khusus untuk itu.
Tanpa adanya dukungan lingkungan yang kondusif, maka usaha mempertahankan kualitas iman, apa lagi mengembangkannya, sungguh sebuah usaha yang spekulatif, sebab hawa nafsu yang melekat pada diri setiap orang, senantiasa bergejolak dengan sekian banyak tuntutan, yang setiap saat minta dipenuhi.
Sejak awal Rasulullah mewanti-wanti, bahwa iman pada diri setiap orang, senantiasa fluktuatif, sewaktu-waktu dia bisa naik, di lain waktu mengalami penurunan, dan salah satu kata kuncinya, ada pada pengendalian hawa nafsu.
Semakin terasa beratnya upaya perawatan dan pengembangan iman, sebab di samping ada nafsu, juga ada makhluk lain yang bernama Iblis, yang programnya hanya satu, bagaimana agar manusia tidak tunduk pada aturan Allah, apa lagi sampai mentaatinya secara keseluruhan.
Iblis dengan seluruh kroninya, akan sangat leluasa dalam menjalankan aksinya, sehingga dengan mudah memperdayai targetnya, ketika seseorang berada pada lingkungan yang tidak memberi daya dukung, agar kekuatan iman bisa memproteksinya, dari rongrongan hawa nafsu yang tidak mengenal kata puas.
Jejak peninggalan para pahlawan terdahulu, dengan segala kekurangannya, Indonesia memberi ruang yang cukup memadai, khususnya dibandingkan dengan beberapa negara lain, terlebih dengan adanya lembaga pendidikan yang berbentuk pesantren, dimana para pengelolanya memiliki keleluasaan untuk berkreasi dalam pengembangannya.
Semangat berIslam secara kaaffah, yang hanya bisa diwujudkan jika ada kawasan yang diformat sedemikian rupa, ditopang dengan situasi dan kondisi Indonesia saat itu, jadilah Hidayatullah dalam bentuk pesantren, sebagai wadah berhimpunnya orang-orang yang memiliki cita-cita yang sama,
Upaya meredam tuntutan hawa nafsu, tentu tidak dalam bentuk mengkebirinya, dalam artian menutup rapat-rapat semua saluran untuk itu, melainkan sebatas mempersempit ruang geraknya, agar jangan sampai dia dominan dalam pengendalian aktivitas yang dilakoni. Dan salah satu tuntutan terberatnya, adalah terkait dengan kepemilikan harta.(*)
*) Penulis: Akib Junaid Kahar; Sumber: WAG H Indonesia