HidayatullahSulsel.com — Kehidupan yang baik di dunia, serta ganjaran yang jauh lebih baik di akhirat, niscaya akan diberikan kepada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, selama dia beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh. Demikian yang Allah janjikan pada surat 16 (An-Nahl) ayat 97.
Pengertian amal saleh, sebagaimana yang dimaksud pada ayat di atas, adalah segala hal yang diperintahkan oleh Allah dan juga Rasulnya. Jika yang dikerjakan, adalah sesuatu yang nyata-nyata dilarang, maka hal itu termasuk perbuatan salah, dan tidak mungkin bisa mendapatkan apa yang dijanjikan di atas.
Secara sederhana dapat disimpulkan, jika ada orang atau sekelompok orang, dalam hidupnya selalu dirundung masalah, seakan kebahagiaan hidup di dunia, adalah hal yang mustahil untuk bisa dinikmati, maka ada dua kemungkinannya, entah karena ada perintah yang tidak dikerjakan, atau ada larangan yang justru dilanggar.
Kehidupan yang baik di dunia, sebagaimana yang dijanjikan pada ayat di atas, tentu saja tidak identik dengan harta yang melimpah, baik dalam bentuk banyaknya aset yang dipunya, tempat tinggal yang megah, kendaraan yang mewah, lengkapnya perabot, perhiasan yang menghiasi sekujur tubuh, termasuk istri yang lebih dari satu.
Namun. Jika bertambahnya harta dengan aneka ragam bentuknya, justru berbanding lurus dengan masalah yang menghimpit, entah langsung melalui dirinya, atau lewat pasangannya, dan juga anak-anaknya, maka sesungguhnya itu adalah kode keras, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupannya.
Realitas yang terbahasakan pada alinea terakhir di atas, tentu saja bukan dan tidak dimaksudkan untuk menduga-duga, apa lagi memvonis siapa-siapa, melainkan menjadi peringatan bagi siapa saja, untuk tetap mawas diri, agar jangan sampai ikut terperosok ke dalam situasi yang seperti itu.
Khusus dalam konteks harta lembaga alias milik bersama, sangat mungkin menjadi pemicu timbulnya persoalan, ketika cara pengelolaannya tidak dilaksanakan sebagaimana petunjuk yang telah ditetapkan, satu di antaranya, adalah ketika sistem administrasinya tidak baik, sehingga berdampak pada amburadulnya pendataan harta tersebut.
Masalah paling minimal yang akan terjadi ketika harta milik lembaga tidak terdata dengan baik, maka berpotensi untuk tercampur aduk dengan harta milik pribadi, sehingga pasti akan bermasalah dalam proses pemanfaatannya. Baik digunakan bagi kepentingan umum maupun dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga.
Tafsir yang keliru besar dan sangat menyesatkan jika slogan Ust Abdullah Said “hidupkanlah Hidayatullah dan hiduplah bersama Hidayatullah”, dimaknai menyatunya antara harta pribadi dan milik lembaga, dalam pengertian, apa yang kita punya adalah milik lembaga, dan apa yang menjadi milik lembaga juga milik kita.
Bagi yang mendapat informasi yang cukup, bagaimana UAS memperlakukan istri dan anak-anaknya, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, pasti akan paham seperti apa seharusnya memisahkan dana lembaga dan harta milik pribadi. Apa yang diterima dan dikelola oleh istri Beliau, benar-benar hanya sebatas tunjangan rutin dari bandahara, dan itu bisa terlihat dari menu sehari-hari yang dihidangkan saat waktu makan tiba.
Bagi yang tidak paham, khususnya yang hanya menyaksikan hidangan saat ada tamu yang datang, tentu persepsinya akan berbeda, sebab sejak awal UAS memberi perhatian serius terhadap memuliakan tamu, termasuk soal makanannya, maka pengeluaran untuk itu, sumbernya langsung dari bendahara, yang waktu itu lebih populer dengan sebutan Baitul Mal.
Untuk menyiasati keterbatasan anggaran, termasuk buat pelayanan tamu “tidak resmi” (di luar tanggungan lembaga), Ibu Aida berinisiatif melakukan bisnis kecil-kecilan, antara lain dengan menjual kue, sekaligus menjadi media latihan keterampilan buat santri putri, guna menjadi tambahan bekal bagi mereka, saat nantinya bertugas di berbagai daerah.(*)
*) Penulis: Akib Junaid Kahar; Sumber: WAG H Indonesia