HidayatullahSulsel.com — KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah, sangat terkenal dengan ungkapan yang pernah beliau lontarkan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”.
Adagium pendiri Muhammadiyah di atas, tampaknya cukup mendarah daging di kalangan para kadernya, terbukti dengan perkembangan dan capaiannya yang sungguh spektakuler.
Bukannya berprinsip asal tampil beda, alias tak mau ikut-ikutan, di mana Ustadz Abdullah Said membuat adagium yang berbeda, yakni “Hidupkanlah Hidayatullah, dan hiduplah bersama Hidayatullah”.
Perbedaan dari dua ungkapan di atas, disebabkan dengan latar belakang berdirinya yang memang berbeda, sejak awal Muhammadiyah didirikan, berstatus sebagai perserikatan (organisasi), di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya, sama dengan organisasi pada umumnya.
Adapun Hidayatullah, karena sejak awal berdirinya berstatus pesantren, di mana semua orang yang terlibat didalamnya, adalah orang-orang yang waktu, tenaga dan pikirannya, nyaris 100 % diperuntukkan untuk pesantren, sehingga tidak memungkinkan untuk mencari penghidupan lain di luar pesantren.
Bahkan lebih jauh, karakteristik (profil) kader yang ingin dilahirkan memang berbeda, sehingga wajar jika sistim pengelolaannya berbeda. Jika ingin membandingkan yang apple to apple, maka pesantren Hidayatullah bisa disandingkan dengan amal usaha Muhammadiyah, seperti Perguruan Tinggi, Rumah Sakit dll.
Karena sejak awal, Muhammadiyah didedikasikan sebagai organisasi pengabdian, maka otomatis para pengurusnya adalah orang-orang yang sudah memiliki sumber penghasilan tetap, bahkan tidak sedikit diantaranya adalah orang yang benar-benar telah berdaya.
Adapun Hidayatullah, karena format awalnya memang pesantren, dimana menjadi “keharusan” para pengurusnya lebur secara totalitas, alias tidak punya sumber pemghasilan lain, maka wajar jika seperti itu adagium yang dikeluarkan oleh Ust Abdullah Said.
Nantilah sejak tahun 2000, bertepatan Hidayatullah bermetamorfosis menjadi ormas, diharapkan para pengurus organisasi memiliki usaha (sumber pendapatan) lain, sebab tentu saja akan sangat membebani, jika seluruh kebutuhan menjadi tanggungan lembaga.
Proses adaptasi dari orsos menjadi ormas, sangat disadari jika membutuhkan waktu dan seni tersendiri, dan dalam konteks inilah, terkadang menimbulkan berbagai gejolak, karenanya butuh kearifan dalam penyikapannya, apa lagi yang memang nyata-nyata sudah ada regulasi untuk itu.
Sudah diatur dalam bentuk PO saja, yang memberi penjelasan soal mana yang boleh dan mana yang tidak, dalam prakteknya di lapangan, masih menuntut adanya kearifan, apa lagi bagi kader yang memiliki visi membangun peradaban, maka dituntut kepekaan / sensitifitas yang tinggi, soal mana yang pantas dan mana yang tidak wajar untuk dilakukan.(*)
*) Penulis: Akib Junaid Kahar; Sumber: WAG H Indonesia dan FB