Oleh: Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel
HidayatullahSulsel.com — Sungguh manusia itu sangat teristimewakan kedudukan bagi Allah di permukaan bumi ini. Dia sebagai makhluk sebaik-baik penciptaanNya (ahsanu taqwiin), dia pula diberi akal untuk ‘bebas’ memilih jalan hidup.
Eksistensi akal pada manusia menjadi pembeda (furqan) dengan makhluk lain. Sekalipun beberapa makhluk lain, seperti binatang tertentu memiliki kecerdasan lebih, tapi tetaplah dengan kecerdasannya manusia lebih tinggi kedudukannya dari makhluk hidup lainnya
Manusia diberi ilham, yakni berupa bisikan dari pengetahuan yang dimiliki yang dengannya bisa menentukan pilihan jalan hidup, antara kedurhakaan dan ketaqwaan “maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya jalan kedurhakaan dan ketaqwaan” (QS.91;8).
Dengan ilham tersebut menjadikan manusia berada di dua pilihan, yang membebaskannya untuk memilih sesuai kondisi spritualitas dan keyakinan yang dimilikinya.
Ketika imannya baik dan stabil, dia mampu memilih jalan yang baik. Sebaliknya di saat iman goyah dan tipis membuat seseorang gamang dan dia akan memilih jalan kedurhakaan yang berakibatkan pada kerusakan dan kerugian pada diri sendiri
Sehingga terdapat hubungan sebab akibat dalam setiap keputusan terhadap pilihan suatu jalan kehidupan. Dimana setiap pilihan memiliki akibat dan juga resiko masing-masing.
Di sinilah fungsionalisasinya alat deteksi dini seseorang, apakah kepada kecendrungan ketaqwaan ataukah kepada kecendrungan kedurhakaan dalam dirinya.
Kecenderungan itu akan mengarahkan pada konsekuensi logis pilihan antara beruntung atau merugi. Ketika seseorang mengikuti jalan ketakwaan maka dia beruntung, memilih jalan kedurhakaan maka dia merugi (QS.91;9-10)
Jalan Hidup
Hidup ini hanya sekali, karena hanya sekali maka harus dipenuhi dengan kehidupan berkualitas dan bermakna agar senantiasa beruntung dalam kesempatan hidup yang terbatas ini.
Kehidupan juga adalah sebuah perjalanan menuju titik akhir kehidupan, sebagai fitrah dari sebuah kehidupan yang memiliki keterbatasan ruang dan waktu.
Pemahaman bebas pilih yang tidak benar tentang arti kehidupan membuat manusia memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan hidup ini untuk dinikmati tanpa memperdulikan keteraturan dan keseimbangan.
Jadilah manusia itu bebas memilih berbuat apa saja sekehendaknya, sekalipun harus bertarung hingga mencelakakan dirinya atau pun orang lain.
Tentang hal tersebut, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda; “Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya!” (Hadits Riwayat Imam Muslim)
Tujuan Hidup
Kegamangan manusia dalam memilih jalan menyebabkan dia berada di persimpangan yang mengbingunkan.
Dalam posisi tersebut ketika yang datang adalah bimbingan dan hidayah akan menuntunkan jalan hidup ke arah yang benar.
Namun ketika yang mendatangi alam bawa sadarnya adalah jalan hidup yang salah maka dia akan terjerumus ke jalan yang salah juga.
Disinilah pentingnya sebuah tujuan hidup yang jelas dan benar, serta petunjuk jalan menuju ke jalan hidup yang benar.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (Al-Qur’an, 7:172)
Berdasarkan ayat teraebut sangat jelas bahwa saat Allah ta’ala menciptakan jiwa semua manusia, maka pertama yang dilakukan adalah mengambil sumpah semua manusia dengan pertanyaan penting tentang hakikat penciptaan dirinya.
Manusia pun bersaksi tentang Ketuhanan-Nya. Sumpah ini fakta yang menunjukkan bahwa semua manusia disadarkan akan fakta bahwa Allah ta’ala adalah Tuhan mereka.
Ayat ini mengingatkan kepada manusia yang terlahir ke bumi bahwa dia membawa sumpah yang berisi tentang tujuan utama keberadaan manusia yaitu mengenal Tuhan atau mengakui eksistensi Tuhan.
Tujuan utama keberadaan manusia, yang juga bermakna tujuan utama hidup manusia adalah ber-Tuhan.
Setelah memahami tujuan hakiki manusia, akan tergambar pula dengan jelas jalan benar mencapai tujuan.Jalan yang benar akan menjadi petunjuk arah ketercapain tujuan yang benar.
Allah ta’ala berfirman dalam QS.Yusf;108 “Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Ibnu Katsir mengatakan “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada manusia dan jin bahwa inilah jalan agamaku dan sunnahku, yaitu menyeru kepada persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku menyeru kepada Allah dengan hujah yang nyata, keyakinan dan bukti akan kebenaran seruan ini. Seruan ini dilakukan pula oleh semua orang yang mengikuti jalanku atas dasar hujah yang nyata dan bukti yang jelas menurut rasio dan syara’ “.
Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain mengatakan bahwa “pengertian jalan di sini dijelaskan oleh firman berikutnya, yaitu:
(aku mengajak kepada) agama (Allah dengan hujah yang nyata) hujah yang jelas lagi gamblang (yaitu aku dan orang-orang yang mengikutiku) orang-orang yang beriman kepadaku.
Dengan demikian jelaslah bahwa seseorang itu hidup dengan tujuan yang jelas dan jalan yang benar. Dan hdup benar ketika sesuai dengan tujuan.
Sehingga maksud bahwa Allah menciptakan manusia dengan tujuan yang jelas. “Apakah kamu mengira bahwa Kami telah menciptakan kamu dalam permainan (tanpa tujuan) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Quran 23:115)
Bukti nyata lebih kongkrit bahwa setelah manusia membuat ikrar perjanjian kelahirnya untuk BerTuhan.
Konsekuensi logis selanjutnya adalah bahwa dalam semua aktivitas kehidupannya hanya memilih satu pillihan tujuan hidup di muka bumi yakni menjadi penyembah Allah. “Aku telah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (Al-Qur’an, 51:56)
Walla Alam bishshawaf.(*)