Friday, July 4, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelEkstrem dalam Prinsip, Santun dalam Sikap

Ekstrem dalam Prinsip, Santun dalam Sikap

Kata “ekstrem” sering kali membawa konotasi negatif. Ia diidentikkan dengan sikap memaksakan kebenaran, merasa paling benar sendiri, dan mengabaikan adab dalam bertindak. Bahkan tak jarang, sikap ini berujung pada intimidasi terhadap pihak lain, seolah kebenaran hanya milik satu kelompok saja.

Padahal, sikap seperti itu jauh dari kata santun. Ia menyakiti hati, meresahkan banyak pihak, dan justru menjauhkan orang dari pesan kebaikan yang katanya hendak disampaikan. Kalimat “demi agama” kerap dijadikan tameng, tapi bila penyampaiannya kasar dan arogan, maka pesan itu kehilangan ruhnya.

Agama sejatinya adalah sesuatu yang benar dan baik. Namun ironisnya, ketika seseorang menjalankan ajaran agamanya dengan taat dan konsisten, tak jarang ia malah dipersepsikan sebagai keras, kaku, bahkan ekstrem. Fenomena ini kerap terjadi pada Muslim yang berusaha menjalankan syariat secara menyeluruh, terutama ketika tampilannya berbeda dari kebanyakan masyarakat.

Dalam konteks sosial, seseorang yang tampil dengan ciri khas keislaman yang kuat seringkali mendapat label “ekstremis”. Seolah menjadi muslim yang taat berarti otomatis masuk dalam kategori “garis keras”. Sebuah generalisasi yang tak adil.

Contohnya dapat kita lihat pada tokoh internasional seperti Dr. Zakir Naik. Ia dikenal sebagai pendakwah yang total mengabdikan hidupnya untuk menyampaikan ajaran Islam. Namun di mata media Barat, ia dituduh sebagai ekstremis. Ketika ditanya tentang tuduhan itu, Dr. Zakir justru menjawab dengan tenang, “Ya, saya harus ekstrem.”

Apa yang ia maksud? Dalam banyak ceramahnya, Dr. Zakir menjelaskan bahwa ekstrem yang ia pahami bukanlah kekerasan atau fanatisme sempit. Ia berkata:
“If you’re a Muslim, be an extremist… Be an extremist in doing good, in justice, in kindness.”
Atau dalam versi Bahasa Indonesia:
“Kalau kamu seorang Muslim, jadilah ekstrem dalam kebaikan, dalam keadilan, dalam kebenaran.”

Pemahaman “ekstrem” yang seperti inilah yang perlu dijernihkan. Bahwa maksudnya adalah bersikap total dalam menjalankan nilai-nilai mulia—bukan radikal dalam artian merusak. Bukan pula dalam konteks tendensius yang ditujukan pada kelompok tertentu. Dalam pandangan Barat, ketika Islam dijalankan secara utuh, ia sering dipersepsikan sebagai ekstrem. Padahal esensi Islam adalah kedamaian, rahmat, dan kasih sayang.

Dari klarifikasi Dr. Zakir tadi, kita belajar bahwa ekstrem dalam konteks ini adalah kepatuhan total kepada ajaran agama. Menjadi muslim yang taat berarti ekstrem dalam kejujuran, ekstrem dalam menjaga akhlak, ekstrem dalam menjauhi keburukan. Sebuah bentuk kesungguhan yang penuh kebaikan, bukan kekerasan.

Namun memang, tidak bisa dipungkiri bahwa istilah “ekstrem” dalam dunia modern lekat dengan makna negatif: radikalisme, kekerasan, dan terorisme. Media sering mengaburkan batas antara kesungguhan dalam beragama dan fanatisme membabi buta. Konteks ini membuat istilah “ekstrem” rentan disalahpahami dalam diskursus publik.

Oleh karena itu, banyak ulama memilih diksi yang lebih arif. Syekh Ali Jum’ah dari Mesir, dan Prof. Quraish Shihab dari Indonesia, misalnya, lebih memilih istilah seperti “komitmen yang kokoh” dibanding menggunakan kata “ekstrem”. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, sebagaimana Zakir Naik menggunakan kata “ekstrem” dalam makna totalitas dalam kebaikan, bukan kekerasan.

Kita memang perlu arif dalam memahami istilah ini secara kontekstual. Dalam komunikasi publik, penting untuk mengedepankan klarifikasi istilah, agar makna tidak tergelincir pada tuduhan yang tak berdasar. Termasuk dalam memahami Islam itu sendiri.

Islam, secara etimologis, berasal dari kata “salaam” yang berarti kedamaian. Ia mengandung makna berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah dengan hati yang damai dan ikhlas. Maka, sangat tidak tepat bila Islam disebut sebagai agama ekstrem.

Justru Islam adalah agama keseimbangan. Islam menekankan keadilan, kebaikan, dan moderasi (tawasuth). Tuduhan bahwa Islam adalah agama ekstrem lebih banyak bersumber dari kesalahpahaman, baik karena sebagian kecil umat Islam yang menyimpang dari ajaran, maupun karena pemberitaan yang tidak proporsional.

Islam mengajarkan keteguhan (istiqamah) dalam keyakinan. Seorang muslim diajarkan untuk tetap teguh dalam keimanan, meski menghadapi tekanan atau ujian. Namun keteguhan itu tidak berarti kekerasan. Justru keteguhan yang sejati melahirkan akhlak yang mulia, kelembutan dalam sikap, dan kesantunan dalam dakwah—sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala hal.”
(HR. Bukhari)

Dalam Al-Qur’an pun Allah memerintahkan Nabi Musa agar tetap berbicara dengan lembut, bahkan kepada Fir’aun:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.”
(QS. Thaha: 44)

Maka, seorang muslim yang baik akan senantiasa mempraktikkan kesantunan dalam hidupnya. Ia akan menjadi representasi dari Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia akan tegas dalam prinsip, namun lembut dalam penyampaian. Ia akan ekstrem dalam kebaikan, tetapi tidak dalam kekerasan.

Dan begitulah seharusnya: ekstrem dalam prinsip, santun dalam sikap.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments