Sebuah catatan reflektif dari Atiatul Widad, Mahasiswi Program PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, yang bertugas di Kampus Pesantren Hidayatullah Menro, Pinrang.
Saya tidak pernah menduga bahwa salah satu titik balik dalam hidup saya terjadi di tempat yang bahkan sebelumnya belum pernah saya dengar namanya: Dusun Menro, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Di sanalah saya, seorang mahasiswi jurusan Hukum Keluarga dari STIS Hidayatullah Balikpapan, menjalani Praktik Kerja Dakwah (PKD) selama hampir tiga bulan, bersama Fadilah, sahabat seperjuangan sekaligus rekan satu almamater.
Sejak awal, saya tahu bahwa PKD bukan hanya kewajiban akademik semester enam. Ia adalah ruang ujian yang tidak bisa dipelajari hanya di kelas: tentang masyarakat, tentang dakwah, dan lebih-lebih tentang diri sendiri.
Motivasi saya sederhana—ingin belajar dari kehidupan nyata, ingin tahu seberapa siap saya menghadapi masyarakat kelak sebagai seorang dai’yah.
Harapan saya pun tidak muluk-muluk: semoga apa yang kami bawa bisa diterima, membawa dampak baik, dan kami sendiri diberi kesabaran untuk menjalaninya.
Tugas kami di Pondok Tahfidzul Qur’an Hidayatullah Menro cukup beragam. Namun dua program utama yang kami jalankan adalah Daurah Fiqih Shalat dan Daurah Tahsin Al-Qur’an. Kedua program ini kami gagas karena kami melihat langsung urgensinya—shalat yang belum tepat gerakan dan bacaan, serta tajwid yang masih sangat kurang.
Menyampaikan itu kepada santri bukan hanya soal ilmu, tapi juga pendekatan dan kesabaran. Setiap hari kami menerima setoran hafalan dari santriwati, menjadi musyrifah, mengisi kajian ba’da magrib, menjadi pengawas ujian, mengajar anak-anak SMP, dan menjadi penguji ujian tahfidz.
Namun dari semua itu, pengalaman paling menyentuh adalah saat membimbing ibu-ibu majelis ta’lim binaan pondok. Setiap Sabtu, kami mengjarkan al-Qur’an menggunakan metode GranD MBA sistim 8 jam. Ibu-ibu yang hadir rata-rata berusia 50 tahun ke atas, dan banyak dari mereka baru pertama kali belajar membedakan huruf hijaiyah.
Di situlah saya benar-benar belajar arti sabar, arti membimbing dengan hati, dan betapa pentingnya kehadiran dai’yah di tengah-tengah masyarakat yang sangat haus akan bimbingan dasar keislaman.
Saya tidak akan lupa bagaimana antusias mereka mengikuti kelas setiap pekan, datang lebih awal dari jadwal, membawa semangat yang luar biasa. Dari mereka saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar Al-Qur’an.
Dan dari situ pula saya mulai merasa bersalah—karena saya merasa belum memberikan cukup. Mereka haus akan bimbingan, dan saya baru menyadari betapa banyak umat ini yang tertinggal dalam hal paling mendasar dari Islam: membaca firman Allah dengan benar.
Tentu ada tantangan, terutama di masa awal adaptasi. Mengenali lingkungan, karakter santri yang beragam, hingga belajar menyesuaikan jadwal dan kebutuhan pondok dalam waktu singkat. Tapi saya percaya bahwa keberhasilan adaptasi selalu dimulai dari kesediaan untuk membaca keadaan dan merendahkan ego. Saya mencoba berbaur, ta’aruf dengan santri, membuka ruang interaksi tanpa sekat, dan perlahan semua menjadi lebih mudah dijalani.
Meskipun tak ada tantangan besar yang membuat saya ingin menyerah, tapi ada satu hal yang saya sadari: proses itu tidak instan. Baik dalam mengubah kebiasaan, menanamkan semangat belajar, atau membentuk hubungan yang bermakna. Semua butuh waktu, dan di situlah pentingnya jiwa yang lapang dan kesabaran yang terus dijaga.
Dari sini, saya belajar tentang diri saya sendiri: bahwa saya bisa lebih sabar dari yang saya kira, bahwa keikhlasan bukan datang tiba-tiba tapi tumbuh seiring proses. Saya belajar bahwa waktu adalah ruang perjuangan, bukan hanya untuk orang lain, tapi juga melawan ego dan kelelahan diri sendiri.
Yang paling berat bukan fisik. Tapi menahan harapan agar segera terlihat hasilnya. Padahal perubahan itu butuh waktu. Butuh proses. Butuh istiqamah. Di sinilah saya belajar menghargai setiap langkah kecil dalam perubahan, entah dari diri saya atau dari orang-orang yang saya dampingi.
Dari PKD ini saya menemukan makna baru dari kata perjuangan. Ia bukan hanya tentang bergerak dan sibuk, tapi juga tentang melawan keinginan untuk diam, untuk menyerah, dan untuk acuh. Saya belajar bahwa setiap waktu adalah ladang dakwah—kepada masyarakat, kepada santri, bahkan kepada ego saya sendiri.
Saya pun jadi lebih mengerti bahwa kebutuhan umat ini sangat nyata. Ibu-ibu yang masih asing dengan huruf Qur’an, anak-anak yang menghafal tapi belum sempurna tajwidnya, masyarakat yang butuh bimbingan tapi kurang pendamping. Semua ini membuat saya merasa bersalah sekaligus terdorong—karena saya belum memberi sebanyak yang seharusnya, dan karena mereka sangat layak mendapat lebih banyak.
Pengalaman ini juga membuka pandangan baru saya terhadap peran da’i dan da’iyah. Bahwa menjadi paham tidak cukup. Yang terpenting adalah bagaimana ilmu itu bisa disampaikan, dipahami, dan diterima oleh orang lain. Maka latihan menyampaikan, membimbing, dan mendengar menjadi keterampilan yang tidak bisa ditunda lagi untuk dikuasai. Dakwah bukan sekadar ceramah di mimbar, tapi tentang hadir, membersamai, dan mendidik dengan penuh kesabaran.
Saya bersyukur, lingkungan pondok dan masyarakat di Pinrang sangat menerima kami. Para ustaz dan pengurus, semuanya sangat mendukung dan terbuka. Warga kampus yang terdiri dari 7 kepala keluarga, serta 130 santri mukim (70 putra, 60 putri), menjadi rumah belajar yang hangat bagi kami. Mereka membuat kami merasa dibutuhkan—dan itu adalah salah satu bentuk penghargaan tertinggi yang bisa dirasakan oleh seorang dai.
Jika kelak saya diberi kesempatan PKD kembali, saya ingin lebih memaksimalkan waktu, membawa lebih banyak bekal ilmu, dan memperluas dampak.
Saya juga ingin adik-adik tingkat yang akan berangkat nanti mempersiapkan bukan hanya niat, tapi juga kompetensi—minimal dalam tahsin. Karena berhadapan dengan para penghafal Al-Qur’an, bukan hanya kesiapan mental yang dibutuhkan, tapi juga kelayakan teknis.
Dalam tiga bulan ini, saya benar-benar merasa menjadi bagian dari masyarakat ketika mereka mulai berkata, “Kak, kalau bisa jangan cepat pulang.” Kalimat itu lebih dari cukup untuk menyadarkan saya bahwa kami tidak sekadar hadir, tapi juga telah membekas.
Dan akhirnya saya tahu, bahwa dakwah tidak harus menunggu menjadi sempurna. Dakwah adalah tentang keberanian memulai, kesungguhan untuk belajar, dan ketulusan untuk terus menemani mereka yang belum tahu, agar kelak bisa bersama-sama menuju cahaya.
Seorang guru pernah berkata kepada saya: “Selama masih berpijak di bumi Allah, tugas kita adalah menjadi khalifah, entah terhadap diri sendiri atau sekitar.” Itulah yang menguatkan saya. Dan jika ada satu kata untuk mengenang pengalaman PKD ini, maka kata itu adalah: perjuangan.
Di titik ini, saya tahu bahwa momen paling mengubah bukan hanya saat saya berbicara di depan majelis atau menguji hafalan, tapi saat saya menyadari bahwa saya dibutuhkan. Saat tenaga, waktu, dan ilmu saya diharapkan hadir untuk membentuk masa depan seseorang. Dan mungkin itulah makna dakwah yang sesungguhnya—hadir, memberi, lalu kembali dalam diam, tapi meninggalkan jejak yang terus tumbuh.
(Atiatul Widad, Mahasiswi PKD STIS Hidayatullah Balikpapan, periode tugas Februari-April 2025)