“Cogito, ergo sum” artinya “Saya berpikir, maka saya ada.” Begitulah kata RenĂ© Descartes.
Gagasan ini mengandung keyakinan bahwa kemampuan berpikir dan kesadaran adalah inti dari keberadaan manusia.
Dalam filsafat, “Manusia ada karena dia berpikir” dianggap sebagai landasan eksistensi. Merujuk pada ide bahwa kemampuan berpikir dan ber-kesadaran adalah landasan utama eksistensi manusia. Ini, menurut RenĂ© Descartes.
René Descartes adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan asal Perancis yang hidup pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat.
Descartes lahir pada tahun 1596 di La Haye, Perancis, dan wafat pada tahun 1650 di Stockholm, Swedia. Ia mewariskan kontribusi besar dalam bidang filsafat, matematika, dan ilmu pengetahuan.
Namun, pertanyaan kritisnya: apakah benar manusia ada hanya karena dia berpikir? Ataukah ada aspek lain yang lebih mendasar dari keberadaan manusia?
***
Tulisan ini lahir dari upaya membangun jiwa kritis terhadap diri saya sendiri. Saat ini, saya tengah serius, betul-betul serius, menempuh perjalanan akademik strata satu.
Tadi pagi, 24/04, saya menghadapi ujian meja—memaparkan skripsi di hadapan para penguji, pembimbing, dosen, dan beberapa mahasiswa yang hadir.
Rasanya, saya pernah mengalami masa di mana tubuh ini hadir, tapi pikiran entah ke mana. Meskipun secara fisik saya ada, tapi saya tidak menggunakan otak saya untuk berpikir sungguh-sungguh. Pikiran ini tidak bekerja maksimal.
Setelah ujian itu, saya bertanya pada diri sendiri:
Apakah saya selama ini sungguh ada?
Apakah keberadaan saya berarti?
Apakah saya sekadar nama, sekadar angka, sekadar jejak yang mudah hilang?
Dalam Surah Al-‘Ashr, Allah mengingatkan, bahwa keberadaan seseorang baru dianggap nyata bila ia beriman, beramal sholeh, menasihati dalam kebenaran, dan menasihati dalam kesabaran.
Tanpa iman, tanpa amal, tanpa dakwah kebenaran dan kesabaran, manusia adalah pecundang sejati. Ia ada, tapi tidak dihitung. Ia hidup, tapi merugi. Ia berjalan, tapi sesungguhnya kosong.
Dan untuk bisa beramal, untuk bisa menasihati kebenaran dan kesabaran, fondasinya hanya satu: iman.
Tanpa iman, semua kerja keras, semua amal, semua kata-kata, hanyalah fatamorgana. Tak bernilai. Nol besar.
Maka hari ini, saya sadar:
Bukan sekadar berpikir yang membuat saya ada.
Tapi iman.
Imanlah yang menghidupkan pikiran, menggerakkan amal, dan menjadikan keberadaan ini berarti.
Saya beriman, maka saya ada.
BTP, 24/4