Oleh : Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel
HidayatullahSulsel.com — Ampuhnya kata-kata dalam mempengaruhi pikiran dan perilaku orang, karena kata-kata adalah manifestasi dari pikiran. Kata-kata yang positif dapat membangun fikiran dan prilaku positif.
Demikian halnya kata-kata negatif yang dilontarkan kepada orang lain dapat merusak hubungan. Karena itu lebih banyaklah mengucapkan kata-kata yang bernada positif. Saat sedang marah pun, tetap memilih kata-kata secara hati-hati agar tidak melukai lawan bicara, walau yang diucapkannya adalah benar adanya.
‘Memang lidah tidak bertulang’, adalah ucapan yang seringkali kita dengar. Dari lidahnya mulutnya menjadi mulut harimau. Lidah membangunkan macam yang tidur, bahkan menjadikan seseorang menjadi harimau menerkam balik yang menghinanya.
Inilah yang terjadi beberapa saat lalu pada seorang dosen di UIN Surakarta, menjadi korban kata-kata pedas dari lisannya sendiri. Permasalahannya nampak sepele. Akibat dari ketidak puasan dari hasil kerja tukang pada renovasi rumahnya, terlontarlah kata-kata yang tak terkontrol.
Dwi Perianto, nama tukang itu, mengaku bahwa korban menggerutu kepadanya, melontarkan kata-kata bernada menghina, seperti ‘tukang amatiran’, ‘dibodoh-bodohin’ dan ‘ditolol-tololin’.
Hal itu berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Pelaku merasa sakit hati karena merasa sudah bekerja dengan baik, pelaku pun merasa dendam,” dan menghabisi nyawanya pemilik rumah itu
Dahsyatnya kata-kata dari lidah yang tak bertulang’ itu. Bahkan orang Arab mengumpamakan lidah dengan pedang yang bisa melukai dan menyakiti orang lain. Dalam satu haditsnya, Rasulullah mengingatkan bahwa yang menyebabkan manusia banyak masuk ke neraka disebabkan karena lidah dan farji (kemaluan).
Beberapa tuntunan Rasulullah tentang pentingnya menjaga lidah dalam berkata-kata, seperti “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Hendaklah berhati-hati dengan lisan, jangan sampai digunakan untuk mencemooh, mengejek orang lain. Boleh jadi dengan lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan.
Rasulullah SAW pernah berbicara dengan Mu’adz bin Jabal ra; “Maukah ku beritahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi)
Tergambar dalam hadist tersebut bahwa seseorang harus menjaga diri sesuatu yang membinasakannya. Hendaklah seseorang berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka.
Diam Itu Emas
Memilih diam adalah jalan keselamatan dari lisan menjerumuskan kebinasaan. Diamnya seseorang menjadi emas bila diamnya menyangkut keburukan atau topik-topik yang sesungguhnya tidak patut dibicarakan. Karena keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.
Diam adalah emas, tidak berarti tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Keutamaan diam, adalah bilamana lisan tidak mampu memunculkan kebaikan, maka diam menjadi pilihan terbaik.
Iman Suyuthi menguatkan bahwa diam tidak bersifat mutlak. Artinya, hendaknya seorang Muslim berbicara, tetapi tetap dalam konteks kebaikan. Diamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang sesungguhnya tidak patut dibicarakan.
Ini bermakna bahwa karena menjaga dari ketergelinciran keperkataan sia-sia akan menjadi perhiasan bagi orang berakal dan penutup akan ketidaktahuan atau kebodohan.
Rasulullah bersabda dalam hadist riwayat Abu Hurairah ra, “Diam itu ibadah yang paling tinggi” (HR. Ad-Dailami)
Juga dalam hadits riwayat Abu Syaikh, Rasulullah bersabda, “Diam adalah perhiasan bagi orang alim dan penutup bagi orang bodoh”. (HR. Abu asy-Syaikh)
Sepatutnya orang beriman berkata-kata dengan sesuatu yang bermanfaat, baik dengan lisannya maupun lewat tulisannya. Ataukah lebih baik diam ketika membicarakan hal yang tidak bermanfaat atau hanya obrolan sia-sia.Terlebih jika pembicaraan yang mengandung dan mengarah kepada dosa.
Lebih dari itu orang berakal sehat selalu mampu mengendalikan lisan sebelum berbicara agar mampu terselamatkan dari permusuhan. Menjadi seseorang dengan lisannya menyejukkan dan membahagiakan dirinya dan orang lain.(*)