MAKASSAR (HidayatullahSulsel.or.id)— Visi besar Indonesia Emas 2045 dinilai terancam tertunda bahkan “terkubur untuk seratus tahun ke depan” jika bangsa ini gagal berbenah dalam cara berdemokrasi dan membangun peradaban.
Peringatan itu disampaikan Prof. Dr. Mustari Mustafa, Pengurus MUI Sulawesi Selatan, saat menjadi narasumber Dialog Kebangsaan dan Keummatan bertema “Sinergi Anak Bangsa Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang digelar DPW Hidayatullah Sulawesi Selatan, pada Sabtu lalu (06/12/2025).
“Bonus demografi bisa menjadi berkah atau bencana. Tanpa perubahan mindset, ia bisa menjadi generasi frustrasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa hambatan terbesar menuju 2045 bukan semata persoalan teknis kebijakan, melainkan soal kedewasaan demokrasi dan kualitas sosial bangsa.
Demokrasi yang berjalan hari ini, menurutnya, terlalu sering berkutat pada “demokrasi jalanan” dan “demokrasi media sosial” yang menguras energi, memicu kelelahan kolektif, dan minim solusi.
“Aspirasi boleh, tetapi kita butuh evaluasi yang matang dan dieksekusi. Bukan sekadar luapan emosi,” ujarnya.
Prof. Mustari menekankan perlunya muhasabah nasional, sebuah introspeksi kolektif yang serius dan berdampak. Hal ini hanya dapat diwujudkan bila bangsa mampu membangun ulang pola pikirnya melalui integrasi tiga kekuatan fundamental, yaitu kekuatan spiritual, kekuatan sosial, dan kekuatan intelektual.
Tiga pilar ini, menurutnya, telah menjadi nilai dasar dalam agama dan falsafah bangsa, sekaligus fondasi bagi kepemimpinan peradaban.
Dalam aspek spiritualitas, ia menyoroti pesan dalam Surat Al-‘Asr yang dengan tegas menyatakan bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman. Iman di sini bukan sekadar percaya dalam hati (ikrar) atau lisan, tetapi harus termanifestasi dalam akhlak dan tindakan nyata.
Problem kita adalah, lanjutnya, iman sering berhenti pada level personal dan ritual, belum menjadi pengendali kehidupan publik.
Tingginya indeks korupsi, polusi, ketidakjujuran, dan ketidaktertiban adalah bukti nyata bahwa kecerdasan spiritual kita belum menyentuh aspek praktis. Seperti dikatakan seorang intelektual, kita mungkin melihat Islam di Eropa dalam bentuk ketertiban dan kejujuran masyarakatnya, tetapi sering tidak menemukannya di negeri-negeri Muslim.
“Iman harus artikulatif. Bukan hanya ikrar hati, tetapi terwujud dalam integritas, disiplin, dan tanggung jawab sosial,” katanya.
Pada pilar sosial, Prof. Mustari menilai masyarakat masih berada dalam jebakan individualisme dan akumulasi kekayaan yang berlebihan tanpa rasa cukup. Bencana dan kesenjangan sosial menjadi cermin lemahnya kecerdasan sosial. Ia menyinggung teladan figur-figur sederhana yang hidup asketis tetapi berdedikasi melalui pesantren dan lembaga sosial.
“Itu contoh kecerdasan sosial. Kepedulian yang membangun ketahanan komunitas,” ungkapnya.
Sementara pada pilar intelektualitas, ia mengingatkan bahwa literasi menjadi pekerjaan rumah paling berat. Kini, kata Mustari, selain tiga lingkungan pendidikan yang perkenalkan Ki Hajar Dewantara, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, kita menghadapi lingkungan keempat, yaitu dunia digital.
“Anak-anak sejak TK sudah terpapar gawai tanpa kontrol. Negara belum hadir secara optimal,” tegasnya.
Ia mencontohkan kebijakan Thailand yang menyediakan gawai khusus pelajar dengan konten terkontrol negara untuk kepentingan edukasi. Kebijakan demikian, menurutnya, adalah bentuk literasi digital protektif yang dibutuhkan Indonesia agar generasi mudanya tidak hanya menjadi konsumen, melainkan kreator yang kritis dan produktif.
Prof. Mustari menegaskan bahwa ketiga pilar, yaitu spiritual, sosial, dan intelektual, harus dirajut dalam kolaborasi besar lintas sektor, mulainegara, keluarga, lembaga pendidikan, ormas, hingga seluruh elemen civil society.
“Kita perlu bersama-sama mengartikulasikan iman menjadi peradaban, mengubah kepedulian menjadi aksi kolektif, dan mengarahkan literasi untuk kemajuan bangsa,” tuturnya.
Ia menutup paparannya dengan penekanan bahwa dialog-dialog strategis seperti Muswil Hidayatullah harus terus dilanjutkan dan diperdengarkan lebih luas, terutama kepada para pemangku kebijakan.
“Visi Indonesia Emas 2045 bukan utopia. Ia bisa menjadi takdir bangsa ini, asal kita bersungguh-sungguh menyiapkan fondasinya,” pungkasnya.
Reporter: Basori Shobirin
Editor: Tim Sekretariat



