Wednesday, December 17, 2025
HomeKolom KhususTadabbur DailyHasad Setitik Rusak Iman Sebelanga

Hasad Setitik Rusak Iman Sebelanga

Oleh: Masykur Suyuthi*

“Wahai ayah kami! Kami tidak akan mendapat jatah (gandum) ‎lagi (jika tidak ‎membawa saudara kami).” (Yusuf [12]: 81)

Bukan sekali, saudara-saudara Yusuf memelas di ‎hadapan ayahnya, Nabi Ya’qub Alaihi as-Salam (As). Kali ini mereka melaporkan usahanya untuk memperoleh ‎bantuan gandum yang kedua kalinya dari negeri Mesir.‎

Sebelumnya mereka telah dipesan oleh pembesar negeri Mesir. Jika ingin kembali lagi, ‎hendaknya datang bersama Bunyamin, saudara kalian yang bungsu. Demikian pesan ‎Yusuf, pembesar kerajaan tersebut.

“… Sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami agar kami mendapat ‎jatah ‎dan kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Yusuf [12]: 63).‎

Bagi yang membaca kisah Nabi Yusuf Alaihi as-Salam (As), orang itu tentu tahu seperti apa karakter Yusuf ‎dan juga adik kandungnya, Bunyamin.

Sebagaimana ia juga mesti paham bagaimana tabiat ‎saudara-saudara tirinya yang telah memendam dengki yang tak kunjung usai sejak Yusuf masih kecil.‎

Lihatlah, betapa indahnya ucapan di atas yang disampaikan kepada ayahnya. Padahal, dulunya ‎karena iri hati mereka pernah sengaja membuang Yusuf kecil ke sumur tua.

Kepada ‎ayahnya yang seorang utusan Allah, saudara tiri Yusuf itu lalu kompak berdusta jika Yusuf ‎diterkam serigala saat mereka sedang bermain.‎

Uniknya, kini mereka kembali datang menghadap kepada Nabi Ya’qub, mengakui Bunyamin sebagai saudara mereka yang layak dijaga. Asalkan mereka bisa mendapat jatah ‎gandum kembali di Mesir.

“Fa arsil ma’ana akhana” yang artinya ‎‎“Sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami…”‎ Demikian rayuan yang keluar dari lisan-lisan mereka. Kali ini Bunyamin yang disebutnya sebagai (benar-benar) saudara di hadapan ayahnya.

Kata orang bahasa adalah soal rasa. Sedang rasa sekaligus rupa merupakan cermin daripada akhlak. ‎Adapun akhlak, bagi orang beriman, ia bukan cuma kebiasaan apalagi respons sesaat. Tapi sebagai buah dari ‎keyakinan dan ketaqwaan yang menancap di dada.‎

Sayangnya, didapati bahasa indah yang ditutur oleh saudara-saudara Yusuf itu hanya ‎bersifat musiman saja. Buktinya, ketika Bunyamin terkena masalah dalam perjalanan. ‎Mereka justru ramai-ramai “cuci tangan”.

Mereka tak mau direpotkan atau disangkutkan dengan saudaranya. Apalagi sampai diminta menanggung beban dan menolong saudaranya tersebut.

Mari cerna bahasa mereka sekarang. Kepada ayahnya mereka melaporkan kejadian ‎yang menimpa saudaranya itu. “Inna ibnaka saraqa…” Sesungguhnya anakmu telah melakukan tindak pidana ‎pencurian. Itulah yang mereka paparkan kepada Nabi Ya’qub, orang tua yang begitu ‎penyabar.‎

Bisa dikata ucapan itu keluar tanpa beban, tanpa rasa, dan tanpa cela. Boleh jadi ‎mereka merasa tak lagi mendapat keuntungan dan manfaat dari kehadiran saudara-saudaranya.

Akibatnya ucapan itu keluar spontan begitu saja. Seolah Bunyamin ‎dan Yusuf hanya menimbulkan kesialan serta kerugian saja.
Lalu, kemana gerangan sapaan indah itu, “akhun” saudara atau “akhana” saudara kami, ‎sebagaimana saat mereka membutuhkan Bunyamin untuk sekantung gandum.

Mengapa yang tercetus justru ucapan “ibnaka saraqa” anakmu yang mencuri. ‎Bukankah mereka masih saudara bahkan sejak dulu tumbuh berkembang bersama-‎sama di bawah asuhan nabi Ya’qub?‎

Ala kulli hal, disadari, arus materialisme dan individualisme kian menggerus tatanan masyarakat ‎sekarang. Dengannya orang lalu menilai sesuatu hanya karena tolak ukur materi dan ‎kepentingan duniawi. Bahkan tak jarang, orang itu tega menari di atas lara saudaranya ‎yang seiman.‎

Seharusnya umat Islam sadar bahwa kekuataan itu lahir jika dirajut melalui ukhuwah imaniyah. Sedang kehancuran ‎itu timbul jika potensi dan talenta yang dipunyai hanya dibiarkan berserak begitu ‎saja.

Terakhir, iri hati (hasad) dan kesombongan itu adalah virus laten yang merusak. Ia jadi sumber ‎kelemahan bahkan kehancuran. Virus hasad dan angkuh itu akan menggerogoti iman ‎dan ukhuwah. Akibatnya mereka mengaku bersaudara, tapi yang ada justru saling curiga dan ‎saling sikut selalu.

*Masykur Suyuti (Pegiat Komunitas Sahabat Puang Karua)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments