Oleh: Masykur Suyuthi*
“Wahai ayah kami! Kami tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi (jika tidak membawa saudara kami).” (Yusuf [12]: 81)
Bukan sekali, saudara-saudara Yusuf memelas di hadapan ayahnya, Nabi Ya’qub Alaihi as-Salam (As). Kali ini mereka melaporkan usahanya untuk memperoleh bantuan gandum yang kedua kalinya dari negeri Mesir.
Sebelumnya mereka telah dipesan oleh pembesar negeri Mesir. Jika ingin kembali lagi, hendaknya datang bersama Bunyamin, saudara kalian yang bungsu. Demikian pesan Yusuf, pembesar kerajaan tersebut.
“… Sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami agar kami mendapat jatah dan kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Yusuf [12]: 63).
Bagi yang membaca kisah Nabi Yusuf Alaihi as-Salam (As), orang itu tentu tahu seperti apa karakter Yusuf dan juga adik kandungnya, Bunyamin.
Sebagaimana ia juga mesti paham bagaimana tabiat saudara-saudara tirinya yang telah memendam dengki yang tak kunjung usai sejak Yusuf masih kecil.
Lihatlah, betapa indahnya ucapan di atas yang disampaikan kepada ayahnya. Padahal, dulunya karena iri hati mereka pernah sengaja membuang Yusuf kecil ke sumur tua.
Kepada ayahnya yang seorang utusan Allah, saudara tiri Yusuf itu lalu kompak berdusta jika Yusuf diterkam serigala saat mereka sedang bermain.
Uniknya, kini mereka kembali datang menghadap kepada Nabi Ya’qub, mengakui Bunyamin sebagai saudara mereka yang layak dijaga. Asalkan mereka bisa mendapat jatah gandum kembali di Mesir.
“Fa arsil ma’ana akhana” yang artinya “Sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami…” Demikian rayuan yang keluar dari lisan-lisan mereka. Kali ini Bunyamin yang disebutnya sebagai (benar-benar) saudara di hadapan ayahnya.
Kata orang bahasa adalah soal rasa. Sedang rasa sekaligus rupa merupakan cermin daripada akhlak. Adapun akhlak, bagi orang beriman, ia bukan cuma kebiasaan apalagi respons sesaat. Tapi sebagai buah dari keyakinan dan ketaqwaan yang menancap di dada.
Sayangnya, didapati bahasa indah yang ditutur oleh saudara-saudara Yusuf itu hanya bersifat musiman saja. Buktinya, ketika Bunyamin terkena masalah dalam perjalanan. Mereka justru ramai-ramai “cuci tangan”.
Mereka tak mau direpotkan atau disangkutkan dengan saudaranya. Apalagi sampai diminta menanggung beban dan menolong saudaranya tersebut.
Mari cerna bahasa mereka sekarang. Kepada ayahnya mereka melaporkan kejadian yang menimpa saudaranya itu. “Inna ibnaka saraqa…” Sesungguhnya anakmu telah melakukan tindak pidana pencurian. Itulah yang mereka paparkan kepada Nabi Ya’qub, orang tua yang begitu penyabar.
Bisa dikata ucapan itu keluar tanpa beban, tanpa rasa, dan tanpa cela. Boleh jadi mereka merasa tak lagi mendapat keuntungan dan manfaat dari kehadiran saudara-saudaranya.
Akibatnya ucapan itu keluar spontan begitu saja. Seolah Bunyamin dan Yusuf hanya menimbulkan kesialan serta kerugian saja.
Lalu, kemana gerangan sapaan indah itu, “akhun” saudara atau “akhana” saudara kami, sebagaimana saat mereka membutuhkan Bunyamin untuk sekantung gandum.
Mengapa yang tercetus justru ucapan “ibnaka saraqa” anakmu yang mencuri. Bukankah mereka masih saudara bahkan sejak dulu tumbuh berkembang bersama-sama di bawah asuhan nabi Ya’qub?
Ala kulli hal, disadari, arus materialisme dan individualisme kian menggerus tatanan masyarakat sekarang. Dengannya orang lalu menilai sesuatu hanya karena tolak ukur materi dan kepentingan duniawi. Bahkan tak jarang, orang itu tega menari di atas lara saudaranya yang seiman.
Seharusnya umat Islam sadar bahwa kekuataan itu lahir jika dirajut melalui ukhuwah imaniyah. Sedang kehancuran itu timbul jika potensi dan talenta yang dipunyai hanya dibiarkan berserak begitu saja.
Terakhir, iri hati (hasad) dan kesombongan itu adalah virus laten yang merusak. Ia jadi sumber kelemahan bahkan kehancuran. Virus hasad dan angkuh itu akan menggerogoti iman dan ukhuwah. Akibatnya mereka mengaku bersaudara, tapi yang ada justru saling curiga dan saling sikut selalu.
*Masykur Suyuti (Pegiat Komunitas Sahabat Puang Karua)



