Wednesday, December 17, 2025
HomeSosokDakwah Bil Hikmah di Tanah Tongkonan: Kisah Ustadz Ikhsan Merangkul Muallaf dan...

Dakwah Bil Hikmah di Tanah Tongkonan: Kisah Ustadz Ikhsan Merangkul Muallaf dan Mematahkan Isu di Toraja Utara

Dua puluh tahun mengabdi sebagai dai Hidayatullah telah membawa Ustadz Ikhsan ke seluruh pelosok Sulawesi. Kini, selama empat tahun terakhir, ia menjadi pelayan bagi muslim dan mualaf di Toraja Utara.

Di tanah yang ikonik dengan upacara Rambu Solo’ dan rumah adat Tongkonan ini, ia menemukan makna sesungguhnya dari dakwah bil-hikmah. Bukan tentang mengubah keyakinan secara paksa, tapi tentang memahami hati dan merangkul dengan tulus.

Kisahnya adalah bukti bahwa di tengah minoritas, keteladanan jauh lebih kuat daripada ceramah. Dakwah bil-hal, lebih prioritas dari hanya sekadar mengandalkan dakwah bil-lisan.

Perjalanan dakwah Ikhsan adalah rantai pengabdian yang tak terputus. Kisah kontribusinya dimulai tahun 2002 di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Setelah menikah tahun 2010, ia dan istri berkelana di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Mulai dari Belopa, Luwu, lalu ke Bulukumba, kemudian kembali ke Luwu merintis kampus baru di Sampeang.

Pada Musyawarah Daerah Hidayatullah Palopo 2020 lalu, mendapat SK sebagai salah satu pengurus DPD Hidayatullah Palopo, sebelum akhirnya mendapatkan SK baru di Toraja Utara, pada 2022. Setiap perpindahan mengasah kesabaran dan menguji keikhlasan, menjadikannya ‘tentara dakwah’ sejati.

Program unggulan Ikhsan di Toraja Utara berpusat pada pembinaan muslim dan mualaf, yang puncaknya adalah pesantren kilat Ramadhan untuk anak-anak Muslim.

“Kegiatan ini unik karena baru pertama kali dilakukan di sini,” ujar Ikhsan.

Ia terharu melihat respons anak-anak. “Mereka sangat bersemangat, walaupun rumah mereka berjauhan. Jarak tidak membuat semangat mereka surut,” ceritanya, menegaskan bahwa kerinduan anak-anak Toraja akan ilmu agama adalah momen berharga yang membuatnya terus bertahan.

Ketika ditanya rahasia ketahanannya di tengah medan dakwah yang penuh tantangan, Ikhsan menegaskan fondasi spiritualnya. “Saya berusaha menjaga niat, bahwa spirit berjuang di jalan dakwah ini karena Allah,” katanya yakin.

Baginya, terjun ke dunia dakwah bukan sekadar aktivitas biasa, tapi jalan hidup yang menjadi tempat ia berlatih ikhlas, kesabaran, dan tetap berkontribusi walaupun dalam segala keterbatasan.

Penopang lainnya adalah keteladanan ukhuwah dari para pendahulu Hidayatullah, serta keyakinan teguh bahwa semua perjuangan pasti bernilai di sisi Allah. Keyakinan inilah yang menjadikannya tegar menghadapi dinamika lapangan dan prasangka.

Saat ini, gerakan dakwah Ikhsan meliputi pembinaan mualaf, majelis taklim dua kali sebulan yang dilakuakn bergantian antara masjid dan rumah warga, mengisi khutbah dan pengajian, serta mengajar TPA di Masjid To Karau dan Masjid Kodim.

Kunci keberhasilannya adalah kolaborasi. Ikhsan aktif berjejaring dengan penyuluh agama dan Babinsa. “Mereka sudah lama di sini, lebih tahu kondisi. Kami bisa belajar sama mereka,” ujarnya. Kolaborasi ini membuka wawasan tentang kebutuhan umat yang tak terjangkau jika bekerja sendiri. “Mereka sangat support, saling menguatkan.”

Ikhsan aktif berjejaring dengan penyuluh agama dan Babinsa. “Mereka sudah lama di sini, lebih tahu kondisi. Kami bisa belajar sama mereka,” ujarnya. Kolaborasi ini membuka wawasan tentang kebutuhan umat yang tak terjangkau jika bekerja sendiri, dan mendapat support yang saling menguatkan.

Di tengah aktivitas dakwahnya, ada sebuah cerita tak terlupakan. Kisah ini datang dari Akbar, yang ketika mendengar namanya semua orang akan mengira sang pemilik nama adalah muslim. Namun nyatanya ia tidak lagi islam. Ia datang dengan sejuta harapan.

“Dia bilang, ‘saya nonis ustadz, tapi bapak saya ini Islam dan mati dalam keadaan Islam, jadi kami dari pihak keluarga berbersepakat mau minta didoakan untuk almarhum kepada Ustadz’,” kenang Ikhsan.

Yang membuatnya terharu, meski Akbar dan sebagian keluarganya non-Muslim, mereka tetap ingin mendoakan orang tua mereka dengan cara Islam. “Mereka cari ustaz, keliling, akhirnya datang ke sini.” Cerita ini menjadi bukti nyata toleransi dan penghormatan yang hidup di masyarakat Toraja.

Namanya dakwah, perjalanannya tentu tidak selalu mulus. Ikhsan juga mengalaminya. Misalnya, saat pesantren kilat Ramadhan digelar, sempat beredar isu negatif.

“Sampai ada isu-isu disampaikan ke Babinsa bahwa di sini tempatnya teroris,” kenang Ikhsan. Namun, Babinsa yang telah memahami gerakan Hidayatullah turun tangan memberikan penjelasan. Dukungan bahkan datang dari Kodim yang meminta Ikhsan mengajar TPA di masjid kompleks Kodim, yang bagi Iksan menjadi sebuah valdiasi dan sertifikasi kepercayaan dari aparat setempat.

Di balik semua aktivitas dakwahnya, Ikhsan berpegang pada prinsip mendasar: “Dimanapun kau tinggal, pasti kau mati. Pasti kau mati.” Pesan ini yang selalu diingatnya dari para pendahulu Hidayatullah. “Jadi, apa yang kita mau bawa? Kecuali bekal untuk berbuat baik kepada sesama, memperjuangkan Islam.”

Senja mulai turun di Toraja Utara. Ikhsan menyelesaikan wawancara dengan senyum dan salam penuh damai. Di tanah dimana Muslim adalah minoritas, ia membuktikan bahwa dakwah yang tulus tak perlu menggurui. Cukup dengan keteladanan, kesabaran, dan kolaborasi, pesan Islam bisa sampai dari hati ke hati. Seperti katanya, “Kita ini mau di tempat dimanapun, pasti akan mati. Yang kita bawa hanyalah bekal.” Dan bekal terbaik adalah perjuangan yang ikhlas karena-Nya.

Kisah Ustadz Ikhsan adalah cerminan dakwah bil-hikmah yang sukses menembus batas-batas sosial di tengah minoritas. Harapannya untuk Musyawarah Wilayah (Muswil) Hidayatullah Sulawesi Selatan yang akan datang adalah agar forum tersebut dapat menjadi ajang untuk memperkuat solidaritas, memperbarui niat, dan meneguhkan arah perjuangan dakwah yang berbasis pada keteladanan dan kolaborasi, seperti yang telah terbukti berhasil di Toraja Utara.

Reporter: Basori Shobirin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments