Wednesday, December 17, 2025
HomeKolom KhususSpirit Wahyu: Ketika Syukur Menjadi Modal

Spirit Wahyu: Ketika Syukur Menjadi Modal

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”

QS. Ibrahim : 7

Dari sekian banyak kunci sukses, syukur adalah kunci utama. Ukuran besar kecilnya dunia seseorang, sering kali ditentukan oleh seberapa besar rasa syukurnya.

Materi berupa harta, kekayaan, uang, sejatinya bersifat relatif. Dalam perjuangan, kadang gaji terasa pas-pasan. Dua juta rupiah untuk sembilan anak dan seorang istri, secara hitungan matematis tentu tidak cukup.

Coba kita hitung: biaya konsumsi, listrik, pendidikan, kebutuhan harian yang tak terduga. Secara rasional, semua itu melampaui angka dua juta. Namun dengan modal syukur, semua menjadi cukup.

Di tengah hiruk-pikuk dunia kerja, kita sering sibuk menghitung apa yang belum kita miliki, dan lupa menghargai apa yang telah Allah beri. Kita menilai kesuksesan dari angka-angka: penghasilan, aset, atau jabatan. Padahal, dalam pandangan wahyu, syukur adalah modal utama. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam ekonomi.

Dalam ekonomi syariah, modal tidak selalu berbentuk uang, tapi juga nilai spiritual yang menggerakkan hati untuk berbuat baik. Syukur adalah salah satunya. Ia menenangkan pikiran, menumbuhkan semangat, dan memperluas keberkahan.

Seorang pekerja yang bersyukur akan lebih produktif; seorang pedagang yang bersyukur akan lebih jujur; dan seorang pemimpin yang bersyukur akan lebih adil.

Syukur bukanlah keadaan setelah sukses, tapi kunci untuk sampai pada kesuksesan itu sendiri.

Kadang Allah menunda nikmat bukan untuk menyiksa, tapi untuk melatih kita menghargai yang sudah ada. Ia ingin kita sadar bahwa nikmat terbesar bukan tambahan harta, tapi ketenangan jiwa yang membuat kita tetap tegar meski sedikit.

Saya teringat masa awal menikah, tahun 2003, ketika rezeki terasa sempit. Kala itu hidup pas-pasan. Gaji tidak menentu. Saya bekerja freelance di Sahid, dengan penghasilan tergantung tulisan. Rumah masih kontrakan, tempat tidur belum ada, kulkas dan mesin cuci apalagi.

Rumus hidup saat itu sederhana: yang penting bisa bertahan.

Rasanya saya sering gelisah, merasa kurang, merasa tertinggal. Tapi setiap kali menengok ke bawah, melihat mereka yang masih tersenyum meski hidupnya jauh lebih sulit, hati saya menjadi tenang. Rupanya, kekayaan sejati tidak diukur dari kepemilikan, melainkan dari rasa cukup yang tumbuh dari syukur.

Dalam logika ekonomi ilahi, syukur adalah investasi yang selalu untung.

Allah menjanjikan, siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sebaliknya, siapa yang mengingkari, akan kehilangan keberkahan, meski hartanya berlimpah. Tak heran, barakah lebih sering turun kepada hati yang lapang daripada dompet yang penuh.

Bersyukur bukan sekadar mengucap “Alhamdulillah”, tapi juga berbuat kebaikan sebagai wujud terima kasih kepada Pemberi Nikmat.
Orang yang bersyukur akan menebar manfaat, karena ia tahu: setiap pemberian Allah adalah titipan untuk dibagikan.

*Sarmadani Karani, S.E. adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments