Oleh: Fu’ad Fahrudin, Santri Hidayatullah di Kebumen
Beberapa tahun lalu, seseorang pernah mengajukan pertanyaan kepada saya:
“Seperti apa sanad keilmuan Hidayatullah? Dari mana Hidayatullah mengambil ilmu dan tsaqafah Islamiyah-nya?”
Saat itu, saya sempat bingung menjawabnya. Namun akhirnya saya sampaikan jawaban sepengetahuan saya, sembari memohon kepada Allah Ta’ala agar diberi tambahan pemahaman tentang Sistematika Wahyu, manhaj yang menjadi landasan gerakan Hidayatullah.
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, gambaran tentang Sistematika Wahyu semakin terbuka.
Pertama, Sistematika Wahyu berakar pada pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana dikutip oleh As-Suyuthi dalam Ad-Dur Al-Mantsur fi at-Tafsir bil Ma’tsur. Beliau menjelaskan bahwa urutan turunnya surat-surat awal (tartībun nuzūl) adalah: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-Muzzammil, Al-Muddatstsir, dan Al-Fatihah.
Di era kontemporer, terdapat sejumlah kitab tafsir yang mengikuti urutan tartībun nuzūl tersebut, antara lain At-Tafsirul Hadits dan At-Tafsirul Munir (berbahasa Arab), serta Tafsir Sinar (berbahasa Indonesia).
Dengan demikian, secara sanad keilmuan, Sistematika Wahyu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada rujukan literatur yang kuat mendasarinya. Manhaj ini bukanlah hasil rekayasa akal semata, melainkan berpijak pada tradisi keilmuan yang otentik.
Kedua, Sistematika Wahyu berfungsi sebagai kerangka pikir (framework) bagi pembinaan diri seorang muslim. Ia menuntun agar setiap muslim memiliki lima sisi pembentuk kepribadian Islam yang utuh, yaitu: aqidah, akhlak, ubudiyah, dakwah, dan jamaah.
Seorang muslim tidak dapat terjebak hanya pada salah satu sisi, lalu melupakan yang lainnya. Kelima unsur ini bersifat integral, padu, dan saling melengkapi. Jika dipisahkan, kepribadian seorang muslim akan terpecah, menjadi split personality, dan keindahan Islam pun tak lagi terasa dalam kehidupannya.
Ketiga, Sistematika Wahyu menjadi panduan dasar dalam seluruh jenjang pendidikan di Hidayatullah, baik formal, informal, maupun nonformal. Karena itu, standar output pendidikan Hidayatullah sejatinya sudah jelas dan terarah.
Apabila di lapangan masih ditemukan kekaburan atau ketidakjelasan, maka Sistematika Wahyu sebagai landasan perlu dijelaskan dan ditegaskan kembali. Kejelasan pemahaman ini diharapkan melahirkan kesiapan dalam penerapan nyata di dunia pendidikan.
Keempat, Sistematika Wahyu juga dapat menjadi perspektif filosofis dalam membaca dan membedah berbagai fenomena kehidupan manusia. Dengan pendekatan ini, seorang muslim akan lebih mudah memahami realitas dan menentukan sikap yang tepat.
Masalah yang sering muncul adalah kurangnya latihan dan pembiasaan untuk menelaah fenomena dengan kacamata Sistematika Wahyu. Akibatnya, ia sering hanya berhenti pada tataran jargon, bukan sebagai cara pandang hidup yang fungsional.
Kelima, Sistematika Wahyu, khususnya melalui surat Al-‘Alaq, menyimpan kekayaan epistemologis yang luar biasa. Dari surat inilah dapat dikaji bagaimana ilmu diserap, diolah, dan melahirkan produk peradaban. Seluruh rangkaian proses keilmuan itu sesungguhnya tersirat dalam Al-‘Alaq dan surat-surat awal lainnya.
Namun sayangnya, eksplorasi terhadap dimensi epistemologis Sistematika Wahyu masih dangkal. Kedalaman kajian belum banyak dilakukan, sehingga sebagian orang masih diliputi keraguan.
Semoga di masa mendatang, keyakinan terhadap kekuatan Sistematika Wahyu semakin kokoh seiring lahirnya eksplorasi-eksplorasi ilmiah yang mendalam dan cerdas.



