Wednesday, December 17, 2025
HomeArtikelUstadz Dr. Aziz Qahhar: Kekuatan Jamaah Ada pada Imamah dan Syura

Ustadz Dr. Aziz Qahhar: Kekuatan Jamaah Ada pada Imamah dan Syura

Taujih Ustadz Dr. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar (anggota Dewan Pertimbangan Hidayatullah) di masjid Ar Riyadh, Ummul Qura, Balikpapan, Sabtu subuh, 4 Oktober 2025/11 Rabiul Akhir 1447 H.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan informasi bahwa kaum kafir Quraisy akan menyerang Madinah, beliau segera mengajak para sahabat untuk bermusyawarah mengenai langkah antisipasi. Dalam forum tersebut, Rasulullah menyampaikan pendapatnya agar kaum Muslimin bertahan di dalam kota Madinah sambil menunggu kedatangan musuh.

Namun, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini wahyu atau pendapat pribadi?” Rasulullah menjawab, “Ini pendapat pribadi.” Mendengar itu, sahabat tersebut mengusulkan agar kaum Muslimin keluar dari Madinah dan menghadang musuh di Bukit Uhud.

Sejarah kemudian mencatat bahwa kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang itu. Meski demikian, dalam perspektif Islam tidak dikenal istilah kekalahan mutlak, sebab setiap peristiwa mengandung hikmah dan pelajaran. Dari sini kita belajar tentang betapa pentingnya syura (musyawarah) dalam pengambilan keputusan. Rasulullah, meskipun beliau seorang nabi yang maksum, tetap mengedepankan musyawarah dalam urusan-urusan penting.

Kekalahan di Perang Uhud meninggalkan penyesalan mendalam, khususnya bagi sahabat yang mengajukan usulan berbeda dengan Rasulullah. Mereka merasa usulan tersebut menjadi pemicu kekalahan, sehingga enggan berhadapan dengan Rasulullah. Padahal, beliau rela mengalah dan melepaskan pendapat pribadinya demi mengikuti hasil musyawarah bersama.

Setelah peristiwa itu, Allah menurunkan firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ…

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Ayat ini menjadi pedoman agung, bukan hanya karena Rasulullah adalah nabi, tetapi juga karena beliau berfungsi sebagai pemimpin umat. Allah menunjukkan cara menyikapi sebuah kekalahan, yakni dengan kelembutan hati, bukan dengan kekasaran. Maka dapat disimpulkan, keberadaan seorang pemimpin berhati lembut adalah anugerah besar bagi sebuah jamaah.

Pemimpin yang kasar—baik melalui ucapan maupun tindakannya—akan dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya pemimpin, setiap orang yang berperangai keras cenderung dijauhi. Karena itu, pemimpin harus memiliki kesabaran. Ada sebuah ungkapan, “Seorang pemimpin yang dikritik tidak mudah merah telinga, dan ketika dipuji tidak besar kepala.”

Dalam ayat tersebut, Rasulullah diperintahkan “fa’fu ‘anhum” (maafkanlah mereka). Menariknya, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan diksi meminta maaf, melainkan memaafkan, yang menunjukkan ketinggian akhlak. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi)

Dengan demikian, salah satu akhlak mulia adalah memaafkan orang lain bahkan sebelum ia meminta maaf. Jika ada orang yang mencaci, mengkritik dengan kasar, atau menyinggung perasaan kita, maka sikap terbaik adalah memaafkan. Jangan sampai keluar ungkapan, “Saya tidak akan pernah memaafkan,” sebab hal itu justru bertolak belakang dengan ajaran akhlak Nabi.

Selanjutnya Allah memerintahkan “wastaghfir lahum” (mohonkan ampun bagi mereka). Ini menunjukkan pentingnya tradisi saling mendoakan dalam berjamaah. Pemimpin mendoakan jamaahnya, dan jamaah mendoakan pemimpinnya, terutama pada waktu-waktu mustajab seperti setelah shalat malam. Demikian pula antar-sesama saudara seiman, hendaknya saling mendoakan tanpa diketahui oleh yang didoakan.

Kemudian, Allah menegaskan perintah “wa syawirhum fil amr” (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Syariat berorganisasi dan berjamaah, termasuk bermasyarakat, menuntut adanya musyawarah yang melibatkan pihak-pihak berhak. Di sebuah yayasan misalnya, sekalipun ada pengurus yang kritis atau sering menjengkelkan, ia tetap harus diundang dalam musyawarah, karena haknya tidak boleh diabaikan.

Ustadz Dr. AQM menegaskan bahwa di lingkungan Hidayatullah, syariat musyawarah ini menjadi nikmat besar yang tidak semua orang dapat rasakan. Banyak tokoh dan aktivis pergerakan di luar sana yang berjuang tanpa berada dalam sebuah sistem imamah jamaah, sehingga tidak merasakan keindahan syura.

Sejak amanah kepemimpinan di Hidayatullah diemban oleh Ustadz Abdurrahman Muhammad, dibentuklah Majelis Syura. Hal ini menandakan betapa pentingnya musyawarah dalam urusan perjuangan. Karena itu, jangan pernah menyepelekan satu pasal pun dalam PDO/PO organisasi, sebab setiap pasal lahir dari proses musyawarah panjang, dan keberadaannya adalah wujud dari perintah syura.

Insya Allah, pada Munas kali ini akan ada beberapa perubahan struktur organisasi, sebagai bagian dari dinamika menyesuaikan situasi dan kondisi. Sejak Munas pertama, struktur organisasi Hidayatullah memang selalu mengalami perubahan, namun ada dua hal yang tidak pernah hilang: kepemimpinan (imamah) dan sistem syura. Adapun formatnya bersifat mutaghayyir (fleksibel), tetapi kedua prinsip dasar itu bersifat mutlak.

Sebagai kader, penting untuk kita selalu bersikap optimis terhadap perkembangan lembaga. Kekuatan Hidayatullah terletak pada imamah, jamaah, dan sistem syura. Beliau mengutip ceramah Ustadz Sholeh Usman yang disampaikan malam sebelumnya: “Atas nama jamaah saya siap ditempatkan di mana saja. Meski sekarang saya di DPP, jika ada perintah turun ke wilayah, saya siap menunaikannya.”

Spirit pengabdian seperti inilah yang seharusnya dimiliki setiap kader Hidayatullah. Bukan sebaliknya, justru mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif dengan karakter seorang kader jika tidak diberikan amanah di posisi tertentu. Karena sesungguhnya perjuangan kita adalah untuk memenangkan Islam, dan kemenangan itu hanya bisa diraih dengan imamah dan jamaah.

(Jiho)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments