Acara #NgopiPanas tadi malam (7/9/2025) memberi banyak pandangan baru tentang rejuvinasi bagi saya. Pemantik dari Dr. AQM cukup menggugah diskusi, tetapi menariknya forum justru lebih banyak diwarnai oleh suara para senior.
Persentase tanggapan dari kalangan “orang tua” jauh lebih dominan dibanding anak muda, padahal sebenarnya merekalah yang diharapkan lebih menonjol.
Fenomena ini tidak datang tiba-tiba. Dalam banyak organisasi, terutama ormas keagamaan, generasi tua memang kerap mengambil porsi besar di forum-forum resmi.
Dan fenomena ini, sudah disinggung oleh seorang Sosiloog bernama Karl Mannheim sejak 1923. Dalam jurnalnya The Problems of Generations, dia menjelaskan fenomena munculnya dominasi generasi tua ini biasanya didorong oleh dua hal.
Pertama, pengalaman panjang yang membuat mereka merasa lebih otoritatif. Dan kedua, rasa khawatir terhadap kesiapan generasi muda jika dibiarkan berdiri sendiri.
Dari kacamata para senior, keterlibatan ini bukan sekadar intervensi. Ada semacam naluri untuk mengawasi dan mengarahkan, agar roda organisasi tidak mudah goyah.
Sikap itu bisa dianalogikan dengan seorang ayah yang mengajari anaknya mengendarai motor. Selama si anak masih kaku memegang setir, lupa menyalakan lampu, atau bahkan belum punya SIM, sang ayah tentu akan melarangnya pergi jauh seorang diri.
Di balik dominasi orang tua, tersimpan logika perlindungan. Mereka melihat risiko lebih besar daripada sekadar rasa percaya diri anak muda.
Inilah yang dinotice Mannheim bahwa generasi tua menjaga kesinambungan, sedangkan generasi muda mendorong perubahan. Keduanya memang sering bertubrukan, tetapi justru dari situlah ruang belajar tercipta.
Dalam konteks Hidayatullah, “SIM” bisa dibayangkan sebagai tanda kesiapan yang meliputi tiga hal penting.
Pertama, spiritualitas: kedisiplinan dalam ibadah, dari shalat berjamaah hingga qiyamul lail, menjadi fondasi utama.
Kedua, intelektualitas: kegemaran membaca, aktif berdiskusi, dan kemampuan merangkai gagasan menunjukkan keseriusan. Keaktifan berhalaqah juga tentu akan memiliki benang merah.
Ketiga, mentalitas: daya tahan menghadapi kritik, kematangan dalam menyikapi perbedaan, dan ketangguhan menerima tekanan adalah syarat mutlak.
Ketiganya ibarat surat kendaraan, helm, dan SIM itu sendiri. Tanpa perlengkapan ini, wajar jika orang tua menahan laju anak muda agar tidak “terjun bebas” di jalanan organisasi yang penuh tantangan.
Maka tantangan terbesar bagi pemuda sebenarnya bukan melawan dominasi orang tua, melainkan membuktikan kesiapan diri secara nyata. Pemuda yang matang akan dengan sendirinya mendapat ruang, bahkan sering kali didorong langsung oleh para senior.
Berbagai penelitian tentang organisasi sosial menunjukkan pola serupa: begitu indikator kesiapan tampak jelas, regenerasi berjalan lebih cepat. Artinya, ruang itu tidak sekadar diminta, tetapi perlu dibuktikan.
Akhirnya, hubungan generasi dalam sebuah organisasir sebetulnya bukan soal perebutan panggung, melainkan estafet. Tongkat hanya akan berpindah jika pelari berikutnya benar-benar siap menggenggam.
Orang tua dengan segala pengalaman dan kewaspadaannya akan selalu ada. Namun keputusan kapan tongkat itu berpindah, pada akhirnya ditentukan oleh pemuda. Dan jawabannya sederhana: saat “SIM organisasi” sudah di tangan, perjalanan akan terasa lebih jauh, lebih cepat, dan tentu lebih percaya diri.
*Cakdul, anak muda yang belum siap lepas dari dominasi orang tua.
Masjid Umar Al-Faruq, KU Makassar, 08/09/2025.