Saturday, August 16, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelBelasungkawaIn Memoriam Aswar Hasan, Ustadz AQM: Selamat Jalan Sahabat

In Memoriam Aswar Hasan, Ustadz AQM: Selamat Jalan Sahabat

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Telah wafat guru/kolega kita Aswar Hasan pada pukul 20.21 di RS Primaya Makassar”.

Info ini muncul hampir bersamaan di beberapa grup WA di HP saya beberapa saat setelah Aswar meninggal.

Sebelumnya pada siang hari beredar berita beliau masuk RS karena pendarahan otak, sudah dioperasi tapi belum sadar. Saya ikut menyebarkan info tersebut dengan niat supaya lebih banyak yang mendoakan. Saya juga hanya bisa mendoakan dari jauh, tidak bisa membesuk karena tidak sedang di Makassar.

Kepergian, atau kembalinya Aswar kepada Sang Khaliq, sungguh merupakan kehilangan besar bagi saya. Kehilangan sahabat seperjuangan.

Ketika masih sama-sama berstatus mahasiswa, kami hanya kenalan biasa saja. Tidak ada interaksi yang menyebabkan kedekatan. Walaupun sama-sama kuliah di Unhas, kami berbeda fakultas, bahkan berbeda kampus. Aswar di Fakultas Sospol, sedangkan saya di Fakultas Peternakan.

Rumpun fakultas ilmu-ilmu sosial ketika itu semuanya sudah pindah di kampus baru Tamalanrea. Sementara rumpun ilmu eksakta masih di kampus lama Baraya. Aswar senior satu tahun dari saya.

Demikian pula, untuk organisasi eksternal Aswar aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia), sedangkan saya di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tapi disini kami agak sering bertemu, terutama karena kesamaan perjuangan politik ketika rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan politik Asas Tunggal Pancasila, mengharuskan semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan berasas Pancasila dan menghapus asas lain.

HMI dan PII bereaksi keras menolak Asas Tunggal, dan tetap mempertahankan asas Islam. Seluruh kader dan jajaran pengurus PII kompak bersatu menolak Asas Tunggal Pancasila. Kosekwensinya PII dibubarkan, dicabut legalitasnya. Walaupun demikian aktifitas organisasi tetap berjalan “di bawah tanah”.

Sementara itu di HMI walaupun pada Kongres XV di Medan pada 1983 seluruh peserta dengan tegas dan gagah berani menolak Asas Tunggal Pancasila, tapi pasca kongres secara perlahan dan sistemik mulai tumbuh faksi yang ingin menerima Asas Tunggal.

Menjelang Kongres berikutnya terjadi gejolak internal yang sangat besar, dan puncaknya pada Kongres HMI XVI di Padang 1986, HMI menerima Asas Tunggal Pancasila. Akibatnya faksi yang menolak Asas Tunggal mengkonsolidasikan kekuatan dan melakukan ‘kongres tandingan” untuk mendirikan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).

Saya menjadi lebih dekat dengan Aswar pada pertengahan dekade 1990-an ketika berdiri FUI (Forum Ukhuwah Ismiyah) di Sulsel. Forum ini dipimpin oleh Prof. Abdurrahman Basalamah. Selain Prof Basalamah tokoh penting lainnya di FUI adalah KH Sanusi Baco (Ketua NU Sulsel) dan KH Jamaluddin Amin (Ketua Muhammadiyah Sulsel).

Hal ini karena memang semangat utama dari kehadiran forum ini adalah memperkuat ukhuwah dan persatuan untuk membangun kekuatan politik ummat. Selain menghimpun ulama dan cendikiawan muslim dari tokoh senior ormas Islam maupun independen, setiap pertemuan forum ini juga dihadiri kalangan aktivis muda. Aswar, Agus Dwikarna, saya dan beberapa yang lain selalu hadir. Tamsil Linrung jika sedang berkunjung ke Makassar juga biasa hadir.

Menjelang dan memasuki era Reformasi, FUI semakin aktif melakukan pertemuan untuk mengkaji dan merespon berbagai dinamika politik yang berkembang. Salah satu keputusan politik Pemerintah Pusat akibat gejolak reformasi adalah pemberian Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh dan Papua pada 1999. Untuk Aceh salah satu substansinya adalah hak Istimewa untuk penegakan syariat Islam.

Mengambil pelajaran hal ini, FUI membahas khusus tema ini. Terus terang, ide awal soal ini datang dari kami yang muda. Rapat FUI menyepakati untuk melaksanakan seminar demi membahas gagasan tersebut secara ilmiyah.

Seminar kemudian dilakukan dengan pembicara beberapa pakar dalam berbagai tema. Kami mengundang Hadi Awang, Presiden Partai PAS dan Menteri Besar negeri Terengganu Malaysia, sebagai pembicara utama yang membahas pelaksanaan syariat Islam di Malaysia, khususnya di dua negara bagian yang dimenangkan partai PAS, yaitu Klantan dan Terengganu.

Untuk pembicara lokal masing-masing adalah Prof Mattulada, membahas tentang Sejarah dan pelaksanaan syariat Islam pada Kerajaan-kerajaan di Sulsel pada masa lalu, Prof Ahmad Ali membahas peluang pelaksanaan syariat Islam di Indonesia dari perpektif ilmu hukum, dan Prof Basalamah membahas tentang ekonomi Islam.

Rekomondasi dari seminar ini adalah perlu segera diselenggarakan Kongres Ummat Islam Sulsel untuk perjuangan mendapatkan otonomi khusus penegakan syariat Islam seperti di Aceh.

Kongres Ummat Islam Sulsel kemudian diselenggarakan di Asrama Haji pada Oktober 2000. Kongres menyepakati mendirikan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam). KPPSI dideklarasikan oleh tiga tokoh utama FUI: Prof Abdurrahman Basalamah, KH Sanusi Baco dan KH Jamaluddin Amin.

Kongres juga menetapkan bahwa target penjuangan KPPSI adalah mendapatkan otonomi khusus penegakan syariat Islam untuk Sulsel. Saya terpilih secara aklamasi menjadi ketua Tanfidziyah KPPSI. Prof Basalamah sebagai ketua Dewan Pembina.

Dalam penyusunan kepengurusan, Aswar Hasan ditunjuk menjadi Sekjen. Disini saya menjadi semakin dekat dengan Aswar.

Perjuangan KPPSI penuh gejolak, sebagaimana gejolak reformasi. Bahkan pada Kongres kedua 2001 sempat terjadi “ledakan bom” di arena kongres. Rangkaian dinamika perjuangan KPPSI memerlukan kepandaian mengelola dan mengkomunikasikan kepada berbagai pihak. Disinilah saya merasakan kepiawaian Aswar sebagai jubir KPPSI.

Kedekatan saya dengan Aswar berlanjut secara lebih emosional ketika ia menjadikan Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai obyek penelitian untuk tesis magisternya. Saya dan keluarga berusaha seoptimal mungkin membantu mengakses data-data yang diperlukan.

Dengan penelitian ini, Aswar kemudian tidak hanya dekat dengan saya, tapi juga dengan hampir semua saudara saya. Sayang saya tidak pernah membaca tesis ini. Saya pernah mengusulkan supaya tesis itu diterbitkan menjadi buku. Tapi ketika itu Aswar menjawab bahwa untuk jadi buku masih perlu diedit. Setelah itu saya tidak pernah lagi menanyakan.

Sebagai teman seperjuangan yang cukup lama tentu sangat banyak kenangan pribadi dengan Aswar. Banyak pelajaran dan inspirasi yang bisa dipetik. Salah satu yang sangat menonjol dari Aswar adalah kesederhanaan.

Melihat kehidupan kesehariannya, seolah tidak ada sama sekali kapling orientasi materi di otak dan jiwanya. Ia mengorientasikan hidupnya sepenuhnya untuk mengabdikan diri kepada perjuangan dan idealisme intelektualitas.

Saya masih ingat ketika sudah beberapa bulan menjadi sekjen KPPSI ia belum memiliki handphone, padahal sangat diperlukan untuk kelancaraan informasi dan komunikasi, Prof Basalamah akhirnya membelikan handphone. Ketika itu HP memang masih agak mewah untuk masyarakat luas. Tapi untuk kelas dosen seperti Aswar sudah lumrah. Menariknya, setahu saya Aswar tidak pernah mengganti nomor HP tersebut sampai akhir hayat.

Setelah tidak aktif di KPPSI kami jarang berinterkasi secara intensif. Kami biasanya hanya bertemu di acara tertentu. Tapi komunikasi kami sangat lancar, terutama via WhatsApp. Sesekali ia mengirim tulisannya atau info tententu yang dianggap perlu saya baca.

Beberapa tahun terakhir ia sebenarnya kurang sehat, terutama sejak strok ringan. Tapi yang luar biasa ia tetap produktif menulis hingga akhir hayatnya. Sejak ia mulai kurang sehat kalau saya bertemu atau telponan ia selalu menasihati “jaga kesehatan ta’, perjuangan masih panjang”.

Selamat berpulang sahabatku. Engkau telah melakukan banyak amal shaleh dan jejak perjuangan sebagai bekal untuk menghadap Sang Khaliq.

Surabaya, 14 Agustus 2025

*) Dr. Abdul Aziz Qahhar Muzakkar, M.Si., Pembina Hidayatullah Sulsel.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments