PERNAHKAN Anda merasa seseorang yang tampak ramah di depan umum ternyata memiliki sisi lain yang tak pernah ia tunjukkan? Atau sebaliknya, ada orang yang terkesan kaku, tapi setelah akrab, ternyata berhati hangat?
Manusia memang unik, sebab kita semua memiliki lapisan-lapisan karakter yang tidak selalu mudah dibaca. Filosofi kuno Jepang bahkan menyebut, setiap orang memiliki tiga wajah yang berbeda. Menariknya, jika kita telaah lebih dalam, konsep ini sejalan dengan pandangan Islam tentang kepribadian dan hati manusia.
Setiap orang punya karakter, yang sering diukur secara instan dari tampilan wajahnya. Saat wajahnya suka tersenyum dan tampak santun, orang cenderung menilainya berhati baik. Sebaliknya, jika ekspresi wajah terlihat kaku atau kurang simpatik, sering kali ia dinilai kurang ramah, bahkan berwatak keras.
Padahal, wajah bisa saja menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan situasi, sedangkan karakter asli seseorang belum tentu tercermin dari penampilan luar. Wajah hanyalah “panggung depan” yang bisa diatur, sementara watak sejati tersembunyi jauh di dalam diri.
Karakter asli hanya satu, tetapi wajah bisa “bertopeng” menjadi tiga. Inilah yang dijelaskan dalam filosofi populer Jepang, yang menyebut bahwa setiap manusia memiliki tiga wajah.
Menurut Nishida Kitaro, wajah pertama adalah wajah citra diri. Wajah ini kita tunjukkan kepada dunia nyata dan lingkungan sosial. Inilah citra yang kita tampilkan kepada teman kerja, anggota organisasi, tetangga, bahkan di media sosial. Demi menjaga citra ini, kita berusaha mematuhi tata krama, norma sosial, berperilaku sopan, dan berpenampilan rapi demi harmoni kehidupan bersama.
Wajah kedua lebih dalam, yaitu wajah yang terlihat oleh orang-orang terdekat: keluarga, sahabat, atau pasangan. Wajah ini lebih jujur dan terbuka. Kita bisa marah, tertawa terbahak-bahak, atau menangis tanpa malu. Meski begitu, tetap ada hal-hal yang kita simpan rapat, sehingga keaslian diri baru terkuak sebagian. Tidak sepenuhnya tanpa pura-pura.
Wajah ketiga adalah yang paling rahasia dan misterius. Wajah ini tidak pernah kita tunjukkan pada siapa pun. Di sanalah tersimpan pikiran-pikiran terdalam, kekhawatiran yang tak terucap, hingga keinginan-keinginan yang mungkin tak pantas diketahui orang lain. Bagian diri ini hanya diketahui oleh kita sendiri dan Allah Ta’ala tentunya.
Jika ditarik ke dalam perspektif Islam, wajah menjadi simbol karakter manusia yang jauh lebih luas dan dalam. Kita bisa memahaminya dalam tiga bentuk.
Pertama, wajah nafsu yang menggambarkan wajah duniawi yang terbuka. Karena dikuasai nafsu, wajah ini cenderung mencari pengakuan, pujian, dan kepuasan duniawi. Ia suka tampil, menonjolkan citra diri, dan mengejar popularitas, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
Wajah ini memang terbuka untuk publik, tetapi sering terjebak di level nafsu; mempercantik penampilan luar namun melupakan kebersihan hati.
Kedua, wajah rasional. Yaitu wajah yang lebih banyak digerakkan akal sehat. Wajah ini bijak dalam menimbang, seimbang dalam mencari kebenaran, dan memahami bahwa wajah sejati terletak di dalam batin, pada niat dan amal.
Pendekatan rasional menuntun pemiliknya untuk menjaga kebersihan hati, meluruskan niat, dan menghindarkan diri dari penyakit riya’, ujub, dan sum’ah.
Ketiga, wajah ruh yang merupakan wajah paling rahasia, penuh cahaya keikhlasan kepada Allah. Ia tersembunyi dari gemerlap dunia, tetapi bersinar di hadapan-Nya.
Pemilik wajah ini hidup zuhud, meleburkan kehendaknya pada kehendak Allah, dan tidak mengharapkan pujian manusia. Dari hati yang bersih ini lahir amal-amal yang ikhlas, dilakukan diam-diam ataupun terang-terangan, hanya demi keridaan-Nya.
Sifat wajah ruh ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Orang yang memiliki wajah ruh mungkin tidak dikenal manusia, tetapi ia dicintai penduduk langit karena ketulusannya.
*) Ustadz Nasri Bohari, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel