Friday, August 8, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelRenungan dari Neraka Saqar: Siapa Sebenarnya Orang Jahat Itu?

Renungan dari Neraka Saqar: Siapa Sebenarnya Orang Jahat Itu?

Oleh: Ustadz M. Alimin Mukhtar*

ADA banyak kriteria kejahatan. Namun, sering kali semua itu hanya merupakan manifestasi luar dari kejahatan sejati, yakni apa yang tersembunyi dalam hati dan pikiran pelakunya.

Ketika membicarakan kejahatan manusia, Allah tidak hanya menunjuk perbuatan fisik, tetapi juga menyingkapkan sebab-sebab internal yang melatarinya.

Lantas, siapakah orang-orang jahat di mata Allah? Apa saja tanda-tandanya? Mari sejenak merenungkan pesan-pesan Allah tentang mereka, agar kita bisa menghindarinya.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Muddatsir ayat 43–47, Allah mengisahkan penyesalan orang-orang jahat saat mereka telah tercebur ke dalam neraka.

Ketika ditanya apa yang menyebabkan mereka masuk neraka, mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan kami biasa membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang melakukannya. Dan kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.”

Ayat-ayat ini merekam akar utama dari seluruh kejahatan yang mereka lakukan di dunia, yang berujung pada siksaan neraka.

Pertama, tidak mengerjakan shalat.

Dalam Islam, shalat adalah pilar utama agama (‘imadu ad-diin), fondasi eksistensi keislaman seseorang. Ia juga merupakan simpul terakhir (‘uro al-Islam); jika terurai, hilanglah identitas Islam dari diri seseorang.

Shalat mencerminkan kualitas hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Ketika para penghuni neraka Saqar mengakui bahwa mereka tidak mengerjakan shalat, itu menandakan buruknya relasi mereka dengan Allah.

Jika tidak termasuk golongan musuh Allah, mereka setidaknya adalah orang-orang yang tidak memperdulikan-Nya. Mereka hidup tanpa nilai-nilai agama. Tanpa relasi spiritual, akar-akar kebaikan pun tercerabut dari jiwa. Maka, merekalah sejahat-jahat makhluk.

Kedua, tidak memberi makan orang-orang miskin.

Pengakuan ini menunjukkan rusaknya hubungan mereka dengan sesama manusia. Mereka hidup egois, individualis, hanya peduli pada dirinya sendiri.

Jika memiliki harta, hanya digunakan untuk memenuhi kesenangan pribadi. Jika memiliki kekuasaan, diarahkan untuk ambisi pribadi. Jika memiliki ilmu, hanya dijadikan kebanggaan individual.

Sebaliknya, Al-Qur’an kerap menegaskan bahwa ciri keimanan adalah kepedulian terhadap kaum lemah dan tertindas, kesediaan berbagi, dan menentang kezaliman sosial.

Islam tidak mencela kepemilikan harta, tetapi mengutuk sikap egois yang tak mau berbagi. Bila keinginan untuk berbuat baik telah mati dalam hati, maka apa lagi yang tersisa selain rayuan setan?

Ketiga, mempermainkan ajaran Islam.

Mereka senang berkumpul membicarakan hal-hal yang sia-sia. Dalam menyikapi Al-Qur’an, mereka cenderung meremehkan dan memperolok. Terhadap Rasulullah, tidak tampak cinta dan penghormatan.

Ketika membahas agama, mereka tak memiliki niat untuk mengamalkan. Bahkan, tak jarang mereka merasa terganggu dengan bacaan Al-Qur’an atau sunnah Nabi.

Jika secara lahiriah mereka membenci ajaran agama, maka tidak mungkin hati mereka bersedia tunduk dan mengamalkannya. Na’udzubillah!

Keempat, mengingkari Hari Pembalasan.

Padahal, inti dari seluruh peringatan para Rasul adalah penegasan tentang keberadaan akhirat dan kewajiban manusia mempersiapkan diri menghadapinya, meskipun tanpa bukti empiris. Sebab urusan akhirat adalah wilayah iman, bukan logika atau pembuktian.

Jika akhirat dianggap tidak ada, maka agama pun tak lagi relevan. Inilah akar dari keyakinan orang-orang jahat: tidak percaya adanya kehidupan setelah mati — bahkan kalau bisa, Tuhan pun dianggap tidak perlu ada. Agar mereka bebas hidup semaunya!

Inilah empat induk kejahatan manusia. Perhatikan karakteristik orang-orang jahat tersebut: mereka buruk dalam hubungan dengan Allah, egois terhadap sesama, meremehkan agama, dan mengingkari Hari Pembalasan. Entah mana dari empat penyakit ini yang muncul lebih dulu. Yang jelas, semuanya membawa kebinasaan.

Menafsirkan ayat ini, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Adakah Anda melihat dalam diri orang-orang ini suatu kebaikan pun? Ingatlah, tidak tersisa kebaikan sedikit pun bagi orang yang di dalam dirinya ada (empat perkara) ini.”

Benar. Jika seseorang tak lagi peduli kepada Tuhannya, maka ia hanya akan menuruti hawa nafsunya. Apa yang bisa diharapkan dari hidup yang dikendalikan nafsu belaka?

Jika ia enggan berbuat baik kepada orang lain, mungkin jiwanya telah kehilangan nurani. Terlebih jika ia tak memiliki penghormatan terhadap Al-Qur’an dan Rasulullah, lalu mengingkari Hari Pembalasan. Hidupnya hanya untuk dunia… dan dunia semata!

Dapat diasumsikan, jika seseorang cacat dalam salah satu dari keempat aspek ini, maka kemungkinan besar aspek lainnya pun tidak sempurna.

Empat aspek itu adalah: ibadah (shalat), kepekaan sosial (kepedulian terhadap orang miskin), penghormatan terhadap agama, dan keyakinan kepada Hari Kebangkitan. Wallahu a’lam.

*) Direksi LPIH Ar-Rohmah Putri Malang

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Terbaru lainnya

Recent Comments