Oleh: Dr. Muhammad Shaleh Utsman S.S, M.I.Kom.
DI tengah kelesuan integritas dan krisis keteladanan dalam dunia kepemimpinan hari ini, Islam menawarkan model abadi yang tak pernah kehilangan relevansinya, yaitu kepemimpinan profetik. Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar jabatan atau kekuasaan struktural, melainkan amanah agung yang sarat dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Pendekatan ini dapat dikaji lebih dalam melalui bingkai komunikasi profetik, yaitu cara memimpin yang meneladani gaya komunikasi Rasulullah shallallahu alayhi wasallam.
Komunikasi profetik memosisikan kepemimpinan sebagai sarana mendidik, menginspirasi, dan mengubah secara positif. Tiga pilar utamanya adalah: keteladanan (uswah), penyampaian yang menggugah dan membawa kabar baik (tabsyir), serta kebijaksanaan dalam bertindak (hikmah). Dengan ketiga unsur ini, kepemimpinan tidak hanya menyentuh akal, tapi juga menembus hati dan menggerakkan tindakan.
Melihat dengan Mata Hati, Menemukan Potensi Tersembunyi
Seorang pemimpin visioner dalam Islam digambarkan sebagai ulul albab, yakni pribadi dengan akal yang tajam dan wawasan jauh ke depan. Mereka tidak sekadar menilai dari aspek fisik atau kemampuan teknis, tetapi mampu menangkap potensi spiritual (fitrah) dalam diri setiap individu.
Rasulullah shallallahu alayhi wasallam adalah sosok utama dalam hal ini. Beliau melihat kejujuran dan kesetiaan dalam diri Abu Bakar, ketegasan dan keadilan pada Umar bin Khattab, serta keberanian luar biasa dalam diri Khalid bin Walid. Ketiganya dipercaya dan diberi peran strategis yang sesuai dengan karakternya.
Lebih dari itu, Rasulullah shallallahu alayhi wasallam tidak pernah memvonis masa lalu seseorang. Bahkan mereka yang dahulu menentang Islam diberi kesempatan berubah karena beliau yakin bahwa setiap hati menyimpan kemungkinan untuk tersentuh oleh cahaya iman.
Pemimpin profetik senantiasa berprasangka baik kepada orang lain (husnuzan), memandang setiap manusia sebagai ladang potensi. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…” (QS. Al-Hujurat: 12)
Pandangan positif ini bukan hanya mencegah dosa prasangka, tetapi juga membuka ruang bagi kepercayaan dan kolaborasi. Dengan sikap ini, pemimpin akan melihat setiap tantangan bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai peluang untuk bertumbuh dan memperkuat kualitas kepemimpinan.
Memetakan Ujian dan Peluang, Strategi dengan Nurani
Kepemimpinan profetik tidak berjalan di atas naluri semata. Ia berdiri kokoh di atas fondasi ilmu dan kebijaksanaan. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam selalu mengedepankan musyawarah (syura) bersama para sahabat dalam menghadapi tantangan, termasuk saat Perang Khandaq. Strategi menggali parit yang diusulkan Salman Al-Farisi adalah hasil dari proses kolektif yang cermat dan penuh pertimbangan.
Seorang pemimpin dituntut untuk merancang strategi yang tangguh dan adaptif, tanpa kehilangan dimensi nurani. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu alayhi wasallam:
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلَا تَعْجَزْ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.” (HR. Muslim)
Hadits ini mendorong setiap pemimpin untuk tetap proaktif, penuh semangat, dan tidak mudah menyerah. Strategi yang matang dan kemampuan menganalisis realitas adalah bagian dari ikhtiar yang diperintahkan dalam Islam sebagai bentuk kesungguhan dalam menunaikan amanah.
Kepemimpinan yang Bertumpu pada Bimbingan Ilahi
Puncak dari kepemimpinan profetik adalah kesadaran mendalam bahwa seluruh kekuatan dan keberhasilan bersumber dari petunjuk serta ridha Allah Ta’ala. Kepemimpinan yang sejati berpijak pada prinsip tauhid; sebuah keyakinan bahwa manusia hanyalah pelaksana kehendak Ilahi.
Tanpa bimbingan dari-Nya, sebaik apa pun strategi dan perencanaan manusia tetap rapuh. Karena itu, pemimpin profetik selalu menjaga spiritualitasnya dengan memperbanyak dzikir, mengokohkan tawakal, dan memperbanyak doa sebagai bentuk pengakuan akan keterbatasan dirinya.
Ia sadar bahwa kekuasaan bukanlah milik pribadi, tetapi titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban—bukan hanya oleh rakyatnya, tetapi oleh Rabb-nya. Hal ini menciptakan kepemimpinan yang bersifat adil, rendah hati, dan dapat dipercaya (amanah).
Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍۢ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍۢ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah akibat dari perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap kegagalan adalah pelajaran dari proses manusiawi, sedangkan keberhasilan adalah bentuk kemurahan Allah. Kesadaran ini membentuk pemimpin yang tidak sombong saat menang dan tidak putus asa saat gagal, karena kompas utamanya adalah spiritualitas, bukan sekadar hasil duniawi.
Menjadi Pemimpin Profetik, Mengharmonikan Akal, Hati, dan Ruh
Kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan utuh yang memadukan kecerdasan emosional, ketajaman intelektual, dan kedalaman spiritual dalam satu kesatuan yang harmonis.
Seorang pemimpin yang mengikuti jejak kenabian akan senantiasa memandang potensi dalam diri orang lain dengan prasangka baik, menyusun strategi melalui musyawarah dan analisis, serta mengakar kuat dalam ketauhidan.
Seluruh langkah kepemimpinannya ia jalani sebagai bentuk ibadah, bukan sekadar pengelolaan kekuasaan. Tujuan akhirnya adalah menghadirkan maslahat bagi umat manusia, dunia, dan kehidupan akhirat.
Kini, saatnya umat Islam kembali menapaki jejak kepemimpinan profetik. Bukan sekadar menjadikannya wacana, tetapi menghidupkannya dalam tindakan nyata sebagai jalan dakwah, sebagai bentuk pengabdian, dan sebagai warisan agung dari Sang Nabi.[]
Dr. Muhammad Shaleh Utsman S.S, M.I.Kom., penulis adalah Ketua Departemen Perkaderan Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah