Saturday, July 5, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeKolom KhususFormalitas adalah Kesaksian Sebuah Kualitas

Formalitas adalah Kesaksian Sebuah Kualitas

Formalitas menunjukkan kualitas.

Kalimat ini disampaikan Ustaz Dr. Abdul Aziz Qahhar Muzakkar, M.Si. dalam orasi ilmiahnya pada Wisuda STAI Al-Bayan, pagi tadi, Sabtu (10/5/2025. Beliau, selaku Ketua Dewan Senat, menyampaikan pesan tegas tentang pentingnya legalitas dan keabsahan akademik dalam membentuk kredibilitas seorang sarjana.

Dengan lantang beliau menegaskan, “Saya adalah sarjana sejati. Secara formalitas, saya memang sarjana. Saya menempuh pendidikan resmi mulai dari S-1, S-2, hingga S-3. Semua proses perkuliahan saya jalani dengan baik dan bisa saya pertanggungjawabkan.”

“Jadi, “sambung Doktor alumnus UIKA tersebut, “jika ada yang ingin mempertanyakan legalitas kesarjanaan saya, silakan. Perguruan tinggi tempat saya belajar siap memberikan bukti. Saya tidak perlu membela diri dengan emosi.”

Pernyataan tersebut bukan sekadar pembelaan diri pribadi. Ia mencerminkan prinsip penting yang semakin krusial di tengah arus zaman yang cepat, instan, dan kadang mengabaikan proses.

Di era ini, kita dihadapkan pada godaan untuk menempuh jalan pintas—mendapatkan gelar tanpa belajar, memperoleh pengakuan tanpa upaya. Maka, formalitas hadir sebagai penyeimbang moral dan etika dalam dunia pendidikan.

Formalitas bukan sekadar selembar ijazah atau angka-angka pada transkrip nilai. Ia adalah representasi dari sebuah proses intelektual dan integritas akademik yang panjang dan melelahkan.

Ketika seseorang meraih gelar sarjana, ia seharusnya juga menyandang kapasitas intelektual dan keilmuan yang sepadan. Gelar bukan hanya identitas administratif, tetapi juga janji kepada masyarakat bahwa ia layak dipercaya sebagai penyampai pengetahuan.

Dalam perspektif Al-Qur’an, sosok sarjana ideal tergambar dalam istilah Ulil Albab—mereka yang memiliki akal sehat, pemahaman mendalam, dan kemampuan untuk menautkan ilmu dengan hikmah.

Ulil Albab bukan hanya tahu, tetapi juga mampu mengamalkan. Mereka tidak hanya cerdas dalam berpikir, tapi juga bijak dalam bertindak. Ilmu yang dimiliki bukan untuk dipamerkan, melainkan digunakan untuk membawa manfaat bagi sesama.

Oleh karena itu, mengabaikan formalitas dalam pendidikan berarti mengabaikan fondasi kredibilitas. Di tengah zaman yang serba cepat dan penuh manipulasi, formalitas menjadi filter—pembatas antara yang sah dan yang palsu. Ia adalah cara kita menjaga mutu dan mencegah terjadinya pembajakan intelektual.

Dalam konteks ini, formalitas adalah saksi bisu atas kualitas yang melekat pada pemiliknya. Ia menjamin bahwa kualitas itu bukan fiktif, bukan hasil manipulasi, dan bukan produk instan.

Ketika sebuah perguruan tinggi memberikan gelar kepada seseorang, maka di sana ada bukti administratif yang sah, ada proses akademik yang telah dilalui, dan ada tanggung jawab moral yang menyertainya.

Wisuda bukan sekadar seremoni, melainkan pengukuhan bahwa seseorang telah melewati tahapan pembelajaran yang terstruktur, terukur, dan dapat diuji kebenarannya.

Ijazah, nilai formal, dan dokumen akademik lainnya adalah bagian dari kontrak sosial antara seorang sarjana dan masyarakat. Nilai-nilai itu menjadi pengingat bahwa ilmu bukan hanya harus dimiliki, tapi juga harus dibagikan dan dipertanggungjawabkan. Ia menjadi cimeti—cambuk yang senantiasa mengingatkan seorang sarjana untuk menjunjung tinggi integritas dan terus menebar kebermanfaatan di mana pun berada.

Dalam dunia yang makin penuh tipu daya, mari kita tegakkan kembali pentingnya formalitas sebagai penjaga kualitas. Karena hanya dengan menghargai proses, kita bisa menghasilkan lulusan yang bukan hanya bergelar, tapi benar-benar berilmu dan beradab.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments