Oleh : Ibnu Basyier, Guru Qur’an di Tana Toraja
HidayatullahSulsel.com — Dulunya, saya termasuk orang yang merasa puas dengan bacaan quran. Bahwa bacaan saya sudah baik, benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya di awal-awal lulus kuliah di Kota Madinah pada 2012 lalu.
Dan menurut saya, itu “wajar”. Sebab guru ngaji saya hafizhahullahu ketika kuliah di sana, adalah imam besar di sebuah masjid teraktif dan termakmur di sana. Dan merupakan sebuah fakta yang tidak kebetulan, bahwa sang guru juga alumni Universitas Islam Madinah.
Mengingat bagaimana proses pembelajaran kami ketika bertalaqqi bersama beliau dengan kawan-kawan lainnya, saya memang bisa merasa demikian. Oleh sang guru, perbaikan saya tidak sebanyak dengan perbaikan kawan-kawan lainnya. Apalagi nilai mata kuliah Tahsin di Lembar KHS juga membuktikan itu.
Saya juga tentu sangat berterima kasih kepada Abah yang telah begitu telaten mengajar cara membaca al-Qur’an dari Iqro’ hingga masuk ke juz-juz awal, sebelum akhirnya ke BTP melanjutkan SMP. Ya, meskipun begitu banyak bekas-bekas rotan di paha kanan maupun kiri karena tegasnya didikan beliau soal mengaji.
Bagi saya, deraan rotan ketika salah membaca itu adalah motivasi tersendiri untuk lebih memperbaiki kualitas bacaan. Walaupun sebagian lembaran mushaf itu telah lecek dan lusuh, karena basah ditetesi cucuran air mata.
Mungkin karena itulah, ketika akhirnya melanjutkan sekolah di SMP Al Bayan Makassar, halaqah saya langsung standar. Oleh Ustadz Raka’atain hafizhahullahu yang mengetes ketika itu, saya dimasukkan list santri halaqah mustawa awwal. Tidak di mustawa tamhidi, sebagaimana banyak yang lainnya.
Pun ketika setoran hafalan dengan Ustadz Munir Sholahuddin hafizhahullahu, bacaan saya juga tidak banyak dikoreksi oleh beliau.
TETAPI, semua berubah ketika saya mengikuti Daurah Syarah Matan Al-Jazariyah pada bulan Syawal 2019. Kegiatan yang diikuti 20-an peserta se-Sulsel (dan Sulbar) itu digagas DPW Hidayatullah Sulsel di Taman Quran dan Pustaka Parengki, Suppa, Pinrang. Di sebuah lokasi di garis Pantai Lowita yang fenomenal.
Pemateri ketika itu anak-anak muda, dua orang. Yang pertama ustadz Rifai Mujahidin Al-Haq bin Abidin Abbas. Menantu Bapak Pemimpin Umum ini memiliki 7 sanad hafalan matan Al-Jazariyah.
Yang kedua, Ustadz Muhammad Yusri Romadhan Alzami bin Hasan Rofidi rahimahullahu. Menantu Ketua Umum DPP Hidayatullah Ustadz KH. Dr. Nashirul Haq ini lebih dikenal dengan sapaan Ustadz Azzam. Beliau memiliki sanad hafalan al-Qur’an yang tersambung kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam. Selain itu juga punya sanad matan al-Jazariyah.
Dari daurah itu, saya kemudian mendapati bahwa bacaan saya masih terlalu banyak salahnya. Bahkan dalam sebuah kesempatan talaqqi ke ustadz Azzam di kesempitan waktu yang ada, setoran bacaan surat Al-Fatihah saya dinilai belum benar. Subhanallah.
Padahal para ulama mempertanyakan status imam yang bacaan surat al-fatihahnya masih mengandung lahn (kesalahan bacaan), khususnya lahn jaliy. Cukuplah bahwa ketika statusnya dipertanyakan, membuat saya harus khawatir ketika didaulat menjadi imam.
Perjalanan panjang dari lulus tahun 2012 hingga bertemu guru muda yang berani menyalahkan bacaan saya pada 2019, membuat saya memacu diri untuk terus belajar. Sayangnya, semangat itu tidak berbanding lurus dengan kehadiran guru yang kapabel dan kompeten.
Akhirnya yang ada hanyalah belajar otodidak. Dirasah ‘an bu’d tetap jadi pilihan terbaik. Demi menyelamatkan semangat belajar mengaji agar tidak pudar. Walaupun rasanya tidak memuaskan jika hanya belajar daring dan online dari kejauhan. Sebagaimana hubungan long distance relationship juga tidak nyaman, bahkan rasanya penyiksaan, kan?
Hingga pada Ramadhan 2021, saya beranikan diri setoran kembali surat al-Fatihah. Belum ada guru offline. Apalagi di Enrekang ketika itu, saya terbilang baru. Belum banyak link dan kenalan. Lagi-lagi pilihannya menyetor lewat online. Alhamdulillah, ustadz Abdul Qohhar, putra ustadz Ihsan siap menerima talaqqi online saya pada bacaan Al-Fatihah.
Sudah benar? Wah, jadi malu harus jawab apa. Syawal 2019 ketika pertama kali ada dinyatakan Al-Fatihah saya masih salah, hingga Ramadhan 2021 harusnya menjadi waktu yang cukup untuk belajar. Ternyata, subhanallah. Belajar online mungkin memang tidak cocok untuk belajar mengaji.
Saya ingat komentarnya beliau, yang terkesan ada disembunyikan, “Alhamdulillah, secara umum semua huruf sudah keluar dari makhraj. Tinggal menyempurnakan saja.”
Setelah saya desak untuk memberikan rincian koreksi, akhirnya beliau jawab, “Bingung ka jawabki. Hehe.” Allah-ul-mus’taan.
Akhirnya dia sebutkan sebuah huruf, di antara banyak huruf lainnya untuk dikoreksi. “Huruf ‘ain ta’, kalau bisa dilatih lebih banyak lagi, agar tidak keluar dari hidung!”
Beliau kemudian memberi resep. Jika membaca baca huruf ‘ain sambil menutup hidung, dan masih ada sengau di hidung, berarti makhrajnya belum benar. Sebab huruf ‘ain adalah huruf tenggorokan, bukan huruf hidung.
ALHAMDULILLAH, menjadi sebuah kesyukuran tersendiri bagi saya pada Ramadhan tahun 2023 ini. Teman-teman di Hidayatullah Sudu menghadirkan seorang mahasiswa tahun terakhir dari PUZ-STIS Balikpapan berstandar Imam dan Muallim Al-Qur’an. Walaupun sama-sama pernah belajar di Madinah al-Iman, tetapi kualitas kami tentu jauh berbeda.
Kehadirannya benar-benar dimanfaatkan untuk perbaikan bacaan warga dan santri. Untuk warga, pengurus menetapkan halaqah tahsin setiap bada subuh. Mengurai huruf demi huruf, dan mengajarkan kepada warga secara mutasyaddid.
Bagi saya, ini merupakan kesempatan emas untuk belajar al-Qur’an dari orang yang telah belajar dari orang yang memiliki bacaan yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alayhi wasallam. Tentu lebih bisa dipertanggungjawabkan ketika kita belajar dari orang yang memiliki sanad, atau setidaknya pernah belajar dari orang yang memiliki sanad.
Ternyata kita memang harus selalu mengosongkan gelas, sebab ilmu itu luas dan belajar itu tak kenal batas. Ternyata kita harus membuka ruang hati terdalam untuk masuknya ilmu, dan tidak mencukupkan diri dengan sedikit yang sudah ada. Dan ternyata, kita butuh orang lain untuk mengetahui kebodohan kita. Kita memohon kepada Allah taufik dan kemudahan.(*)
*) 3 Ramadhan 1444 H, ruang bawah Masjid Toriq bin Ziyad